Ibn Hazm dan Teori Hukum Tanpa ‘Illat

Ibn Hazm dan Teori Hukum Tanpa ‘Illat

Oleh: Moh. Badawi Yusuf
(Santri Marhalah Tsaniyah Semester 6)

Penolakan terhadap eksistensi ‘illat (alasan) pada hukum sejatinya merupakan konsekuensi dari penolakan terhadap qiyas. ‘Illat yang dimaksudkan di sini merupakan salah satu rukun qiyas yang digunakan sebagai acuan untuk menyamakan antara ashlun dengan far’un. Artinya, bagi kelompok Zahiriah sendiri, hukum dan ‘illat tidak memiliki hubungan keterkaitan sama sekali. Atau lebih tepatnya, menurut mereka, tindakan memberi ‘illat (ta’lil) pada hukum syariat merupakan kemaksiatan.

Kelompok Zahiriah menolak terhadap keberadaan ‘illat dalam hukum syariat. Ini diungkapkan sendiri oleh Ibn Hazm secara tegas. Penolakan ini didasarkan atas penafsiran mereka terhadap beberapa ayat yang diyakini sebagai larangan untuk mencari ‘illat dibalik hukum Allah (ta’lil). Secara tidak langsung, Zahiriah menolak statement bahwa Allah menciptakan segala sesuatu di dunia ini adalah untuk kemaslahatan hamba-hambanya.

Salah satu yang menjadi dasar argumen penolakan mereka terhadap ta’lil adalah penafsiran mereka terhadap kisah Nabi Adam. Menurut mereka, atau Ibn Hazm secara khusus, Nabi Adam telah melakukan kesalahan tepatnya pada dua hal: pertama adalah karena mengabaikan larangan tuhan serta kedua adalah karena Nabi Adam mengikuti rayuan iblis. Yang menjadi poinnya adalah cara iblis dalam merayu Nabi Adam, di mana iblis melakukan ta’lil pada perintah tuhan.

وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِين [الأعراف: 20]

Artinya: “Ia (setan) berkata, Tuhanmu tidak melarang kamu berdua untuk mendekati pohon ini, kecuali (karena Dia tidak senang) kamu berdua menjadi malaikat atau kamu berdua termasuk orang-orang yang kekal (dalam surga).”

Selain kisah di atas, al-Quran surah Hud; 107 dan Al-Anbiya’; 23 juga menjadi landasan argumen mereka. Dalam dua ayat tersebut seakan memberikan isyarat bahwa manusia dilarang untuk menanyakan perihal apa yang dilakukan oleh Allah.

Kendati demikian dari kalangan mereka sendiri, meski tidak diakui oleh Ibn Hazm, ada pula yang menerima keberadaan ‘illat dalam hukum. Yaitu ketika syari’ sendirilah yang mengaitkan hukumnya dengan sebab tertentu, atau dengan kata lain ‘illat-nya manshushah. Menurut kelompok satu ini ta’lil yang dilarang adalah tertentu pada ‘illat yang mustanbathoh.

Sebab dan ‘Illat

Sebab dan ‘illat, dalam istilah ushul fikih, memiliki makna yang sama yaitu mu’arrif li al-hukm (menjadi tanda keberadaan hukum). Dengan demikian, “sebab” yang disebutkan dalam kita ushul fikih merupakan “‘illat” yang dimaksudkan dalam bab qiyas. Ini berbeda dengan kalangan Zahiriah sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Hazm.

Ibn Hazm membedakan antara sebab dan ‘illat. “Sebab”, menurut beliau, tidaklah bersifat niscaya sebagaimana ‘illat. Artinya sebab tidak berkonsekuensi terhadap adanya hukum secara pasti. Beda halnya dengan ‘illat. Menurutnya hukum kausalitas ada pada ‘illat. Misalnya, amarah merupakan “sebab” atas kemenangan seseorang akan tetapi meskipun marah orang itu masih punya pilihan untuk menang atau tidak. Berbeda halnya dengan ‘illat, seperti contoh api sebagai ‘illat dari terbakar.

Meskipun kalangan Zahiriah menolak dengan tegas tindakan memberi ‘illat pada hukum, mereka tidak menutup mata terhadap adanya sebab yang melahirkan hukum. Pandangan ini mengacu pada pandangan Ibn Hazm yang membedakan antara sebab dan ‘illat. Menurut beliau “sebab” hukum tidak bisa diberlakukan kepada hukum lain. Ini didasarkan pada pandangan pertama di atas, bahwa ta’lil al-ahkam merupakan perbuatan maksiat dan keluar dari syariat. Dengan demikian jika syari’ menyebutkan sebuah hukum berserta sebabnya maka itu hanya berlaku pada hukum itu saja.

Misal dalam sebuah hadis, Nabi bersabda:

واما السن فانه عظم

Artinya: “Adapun gigi, maka itu adalah tulang.”

Hadis di atas berbicara mengenai boleh tidaknya menyembelih hewan dengan gigi. Dalam hadis ini, Nabi mengaitkan hukum larangan menyembelih dengan gigi karena statusnya sebagai tulang. Berdasarkan teori yang mereka sampaikan, mereka secara tegas melarang menyembelih itu hanya berlaku pada gigi dengan sebab tulang dan tidak berlaku pada tulang lain. Tentu pandangan ini berbeda dengan mereka yang berpijak pada teori qiyas.

Ibn Hazm, secara khusus, memberikan tiga pertanyaan mendasar seputar keberadaan ‘illat pada setiap hukum syariat. Pertama, apakah itu dari Allah? Kedua, apakah itu dari selain Allah? Ketiga, apakah itu bukan dari keduanya. Ketiga pertanyaan ini mengarah pada keberadaan ‘illat yang tidak disebutkan secara tegas oleh syari’. Dari ketiga pertanyaan ini lahirlah kesimpulan bahwa ta’lil bukanlah bagian dari syariat.

Dan lagi, menurut Ibn Hazm, kelompok yang berpegang dengan qiyas tidak konsisten dengan pendapat mereka, alias plin-plan. Misalnya pada persoalan istihadloh Nabi bersabda bahwa istihadloh adalah “keringat”. Akan tetapi ulama penganut qiyas tidak menyamakan setiap hukum keringat yang keluar dari badan. Padahal di satu sisi mereka menyamakan hukum minyak yang kejatuhan tikus mati dengan bubur samin: karena keduanya sama-sama benda cair.

Menurut beliau, pernyataan, bahwa Allah melakukan segala sesuatu adalah untuk kemaslahatan hambanya, merupakan pernyataan yang menjadi pangkal segala perkataan kufur lainnya. Misalnya, perkataan golongan Mananisme (salah satu golongan yang meyakini alam punya dua pencipta):

Allah pastilah menciptakan segala sesuatu karena ada hikmah di baliknya atau karena kemaslahatan hambanya. Mustahil baginya menciptakan kejahatan dan keburukan di muka bumi. Sehingga pastilah yang menciptakan kejatahan itu adalah pencipta yang lain.”

Melihat dari uraian di atas, sanggahan kelompok Zahiriah terhadap keberadaan ‘illat dalam hukum syariat atau ta’lil al-ahkam, dapat dikelompokkan sebagai berikut:

Pertama, ta’lil merupakan perbuatan iblis pertama kali saat menghasut Nabi Adam. Sehingga dengan demikian ta’lil merupakan tindakan maksiat.

Kedua, ta’lil bukan bagian dari syariat.

Ketiga, penyebutan “sebab” dalam sebuah nash tidak berarti sebab tersebut bisa diberlakukan pada hukum yang lain.

Keempat, teori ta’lil tidak digunakan secara konsisten, plin-plan.

Wallahu’alam

Referensi: Kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam karya Ibn Hazm

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest

Exit mobile version