Oleh: As’ad Humam
(Mahasantri Ma’had Aly Situbondo)

Selama berabad-abad peradaban telah membuat gambaran tentang perempuan dengan cara pandang ambigu dan paradoks. Perempuan dipuja sekaligus direndahkan. Ia dianggap sebagai tubuh yang indah bagaikan bunga ketika mekar, tetapi kemudian dicampakkan begitu saja begitu ia layu. Tubuh perempuan identik dengan pesona dan kesenangan seksual. Namun, dalam waktu yang sama, ia dieksploitasi demi hasrat diri dan keuntungan materi. Perempuan dipuji sebagai “tiang negara” dan ketika menjadi seorang ibu, ia dipandang dengan penuh kekaguman “surga di telapak kaki ibu”. Namun, pada saat yang lain, ia dijadikan makhluk Tuhan kelas dua.  Ia dilarang tampil di panggung politik yang ingar bingar.

Pendeknya, dalam banyak bahkan semua peradaban, perempuan tidak pernah menjadi manusia yang utuh dan otonom. Mereka tidak dianggap sebagai manusia yang memiliki hak dan kewajiban yang setara dalam memenuhi hak-hak sosial, ekonomi, dan politik, bahkan hak-hak Tuhan. Perempuan sekan-akan tidak boleh memiliki dunia.

Pandangan-pandangan tersebut menunjukkan bahwa perempuan hanya dilihat semata-mata dari aspek tubuh, seks dan biologis yang menjadi sumber kenikmatan hidup laki-laki. Pandangan penguasaan atas tubuh perempuan ini populer disebut sebagai pandangan patriarkisme. Ia adalah sebuah ideologi yang memberikan kepada laki-laki legitimasi superioritas, menguasai, dan mendefinisikan struktur sosial, ekonomi, kebudayaan dan politik dengan perspektif laki-laki. Idelogi ini terus dihidupkan dalam kurun waktu yang sangat panjang merasuki segala ruang hidup dan kehidupan manusia. Sementara, perempuan dipandang sebaliknya: ia adalah eksistensi the second class, yang rendah, diatur, dikendalikan, bahkan dalam banyak kasus sekan-akan sah pula untuk dieksploitasi dan dikriminalisasi hanya karena mereka hadir dengan tubuh perempuan. Selain itu, pandangan semacam ini seolah-olah dilegitimasi oleh agama.

Sekurang-kurangnya ada empat sumber keagamaan yang perlu dianalisis ulang. Pertama, ayat kepemimpinan laki-laki (QS. an-Nisa’ [4]: 34). Kedua, teks hadis nabi SAW “lan yufliha qawm wallaw amrahum imra’ah” (Tidaklah akan beruntung suatu bangsa yang menyerahkan kekuasaannya kepada seorang perempuan). Ketiga, hadis nabi yang berbunyi: “Ma taraktu ba’di fitnah adharra ‘ala al-rijal min an-nisa’” (Tidaklah aku tinggalkan suatu fitnah yang lebih membahayakan laki-laki selain perempuan). Keempat, perkataan nabi yang menegaskan bahwa perempuan ialah “Naqishat ‘aql wa din” (Perempuan adalah entitas yang kurang akal dan agamanya).

Nah, seiring berkembangnya zaman dan majunya peradaban, kesadaran kemanusiaan perempuan mulai semakin berembus ke udara, tercium indra, merasuk dalam pikiran dan jiwa. Namun, perkembangan kesadaran bahwa perempuan itu manusia seutuhnya ternyata berjalan sangat lambat. Hal ini berevolusi memalui beberapa urutan level berikut:

Pertama, level terendah, manusia hanyalah laki-laki. Perempuan bukan manusia, sehingga diperlakukan tidak manusiawi, bagai hewan atau benda mati hanya karena menjadi perempuan.

Kedua, level menengah, perempuan adalah manusia tetapi laki-laki menjadi standar kemanusiaan mereka. Kemanusiaan perempuan hanya diakui sebagian, yakni pada hal-hal yang sama dengan laki-laki. Kondisi dan pengalaman khas perempuan belum dianggap bagian dari kemanusiaan perempuan.

Ketiga, level tertinggi, perempuan adalah manusia seutuhnya seperti laki-laki. Standar kemanusiaan keduanya adalah sama, sambil memperhatikan dua kondisi dan pengalaman khas perempuan. Pertama, secara biologis, organ reproduksi yang berbeda dengan laki-laki sehingga perempuan mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan memproduksi asi. Kedua, secara sosial karena relasi timpang yang menyejarah sehingga perempuan mengalami marginalisasi, subordinasi, stigmatisasi, kekerasan dan beban ganda semata-mata karena menjadi perempuan.

Lihatlah ajaran islam terkait kesadaran kemanusiaan perempuan dalam hal poligami, awalnya laki-laki bisa menikahi perempuan dengan jumlah tak terbatas di waktu yang sama, kemudian dibatasi maksimal empat dengan syarat adil sambil diingatkan bahwa adil itu sangat sulit, juga diperintahkan monogami (QS. An-Nisa [4]: 3). Begitu pula dalam kasus waris, awalnya perempuan tidak dapat warisan, bahkan diwariskan (layaknya properti) dapat warisan separuh dari laki-laki tapi juga bisa dapat sama persis ketika menjadi ayah-ibu dari anak yang wafat, yaitu sama-sama 1/6 (QS. An-Nisa [4]: 11). Dan masih banyak terobosan yang lain dari ajaran islam.

Sehubungan dengan itu, menurut teori Paulo Freire kesadaran kemanusiaan itu ada tiga level. Pertama, kesadaran magis, yaitu memandang nasib manusia ditentukan oleh faktor natural (alam) atau supranatural (melampaui alam). Kedua, kesadaran naif, yaitu memandang nasib manusia ditentukan oleh tindakannya sendiri. Ketiga, kesadaran kritis, yaitu memandang nasib manusia ditentukan oleh struktur atau sistem yang ada.

Dewasa ini, kesadaran perempuan sudah mencapai level tertinggi. Ia mulai beranjak dari the problem that has no name menuju perlawanan cara pandang yang mainstream, bentukan sendiri dan konstruksi sosial dengan cara menyuarakan hak dan keadilan baginya. Ia juga bisa membantah isu keagamaan di atas dengan nalar argumen yang kritis: Dalam pandangan Abu Syuqqah, nabi Muhammad justru sedang memuji, atau setidaknya bergurau dengan para perempuan. Sebab teks penuhnya bisa diartikan “saya kagum dengan perempuan ini, (dianggap) hanya punya separuh akal dan agama, tetapi sanggup mengalahkan laki-laki yang paling pintar dan teguh pendirian sekalipun”. Dan juga sebenarnya bukan “kurang akal” melainkan “kurang berpikir atau bernalar”. Kekurangan ini terjadi karena struktur sosial dahulu kala yang tidak memberi kesempatan kepada perempuan untuk belajar dan berlatih berpikir. “kurang beragama” juga bukan berarti secara esensi perempuan adalah kurang agama. Ini hanya pernyataan simbolik dari kurangnya aktifitas perempuan terkait solat dan puasa, yang sering ditinggalkan saat menstruasi. Adalah aneh, seseorang yang diperintah islam untuk meninggalkan solat dan puasa, pada saat yang sama dianggap kurang agama karena melaksanakan sesuatu yang diperintahkannya.

Kemudian stigma fitnah yang hanya dilabelkan pada perempuan adalah salah dan tidak sesuai dengan ungkapan “fitnah” dalam al-qur’an yang bersifat resiprokal. Karena potensi fitnah yang ada pada perempuan itu juga ada pada laki-laki, yang tentu saja tidak membuat mereka lebih jahat dari perempuan. Oleh karena itu, fitnah perempuan bukan sedang membangun keburukan perempuan. Sebagaimana fitnah laki-laki bukan sedang menegaskan kebejatan laki-laki. Tetapi, itu tentang pentingnya kewaspadaan masing-masing orang agar tidak saling tergoda pada tindakan-tindakan nista, salah dan buruk.   

Konsep qiwamah dalam QS. an-Nisa’ [4]: 34 juga tidak bisa dijadikan landasan untuk melarang kepemimpinan sosial dan politik perempuan. Sebab ayat ini tidak berbicara mengenai norma kepemimpinan laki-laki, tetapi mengenai norma tanggung jawab yang harus diemban oleh mereka yang memiliki kapasitas, kemampuan dan harta yang cukup. Laki-laki disebut di dalam ayat dan diminta bertanggung jawab menopang perempuan karena biasanya, secara sosial, merekalah yang memiliki kapasitas dan kemampuan. Atau, setidaknya, merekalah yang lebih awal memiliki harta karena faktor-faktor sosial tertentu. Jadi, ayat ini sama sekali tidak melarang perempuan untuk menjadi pemimpin sosial maupun politik jika mereka memiliki kapasitas, kemampuan dan rekam jejak yang positif.

Image by rawpixel.com on Freepik

Pin It on Pinterest

Exit mobile version