al-Sābiqūna al-Awwalūn: Benarkah Memeluk Islam sebab Faktor Sosiologis?

al-Sābiqūna al-Awwalūn: Benarkah Memeluk Islam sebab Faktor Sosiologis?

Sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab tarikh, pada saat Islam diproklamirkan sebagai agama, Nabi membuat perkumpulan di rumah Arqam bin Abi al-Arqam untuk mewadahi umat islam al-sābiqūna al-awwalūna (fase awal) hingga mencapai sekitar tiga puluh orang . Mayoritas dari mereka yang memeluk agama baru ini adalah kaum proletariat, miskin, para budak dan orang-orang lemah. Sebut saja, Bilal bin Abi Rabah, Zaid bin Haritsah, keduanya berlatar belakang sebagai budak. Selain itu, Ammar bin Yasir dan kedua orang tuanya, mereka berlatar belakang orang-orang yang lemah dan tidak memiliki prestise di tengah bangsanya sebagaimana dipaparkan oleh Syeh Sa’id Ramadhan Al-Buti mengutip dari Syirah Ibnu Hisyam.

Fenomena ini, tidak hanya terjadi pada agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, namun hampir seluruh pengikut awal para utusan Tuhan kebanyakan dari kaum yang lemah. Misalnya, kaum Nabi Sholeh as, Nabi Musa as dan Nabi Isa as. Pertanyaannya, mengapa deretan orang-orang yang masuk Islam pada fase awal kebanyakan adalah mereka yang termarginalkan?

Nyatanya, selain faktor teologis (berdasarkan keimanan), orang-orang proletariat dan tertindas yang masuk Islam juga didorong oleh faktor sosiologis untuk menerima Islam. Secara sosiologis, mereka sudah tidak tahan menghadapi sistem sosial, poltik, mauun ekonomi yang selalu menempatkan mereka sebagai bagian yang tertindas dan termarginalkan. Mereka muak dengan sistem perbudakan yang menjadikan mereka harus menghamba kepada kepentingan segelintir pihak yang berkuasa. Demikian juga dengan perempuan, mereka sudah muak hidup layaknya komoditi yang bisa diperdagangkan, Bahkan kehadirannya dianggap aib keluarga dan pembawa kesialan.

Dalam kondisi mendambakan sistem yang berkeadilan dan memihak pada kemanusiaan, Islam datang menawarkan sistem yang membebaskan mereka dari segala bentuk tirani dan penghambaan kepada selain Tuhan. Islam bak angin segar datang membawa sistem yang berkeadilan dan menunjung tinggi nila-nilai kemanusiaan. Kemuliaan seseorang dalam Islam, tidak dipandang dari segi kelamin, kekayaan, atau nasab melainkan kualitas ketakawaan.

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13)…

“…sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian adalah yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha mengetahui dan Maha teliti” [QS. Al-Hujarat: 13]

Di sinilah titik perjumpaan antara cita-cita masyarakat kala itu dengan misi Islam sebagai agama rahmat bagi semesta. Sehingga wajar mereka cenderung mudah menerima Islam.

Dari sisi lain, status mereka sebagai kaum proletariat memungkinkan mereka untuk tidak gengsi menerima suatu sistem atau ajaran baru. Dengan kalimat lain, mereka tidak memiliki prestise untuk dipertahankan. Sehingga tidak ada beban apapun untuk menerima Islam. Berbeda dengan mereka para elit kapitalis klasik semisal Abu Sufyan, Abu Lahab, Abu Jahal termasuk Abu Thalib. Mereka sedang berada di fase kejayaan untuk mendominasi bangsa Arab dalam pelbagai lini kehidupan, roda ekonomi, politik kesukuan dan semacamnya. Sehingga ada semacam ego dan gengsi yang menghalangi mereka menerima Ajaran Nabi Muhammad. karena dengan menerima Islam secara otomatis mereka disamakan dengan kaum proletariat dan budak karena Islam memiliki konsep kesetaraan.

Meskipun secara fakta, orang-orang yang menerima Islam fase awal adalah kaum marginal tetapi bukan berarti mereka yang tertindas secara sosial, politik, dan ekonomi itu masuk Islam lantaran ingin segera bebas dari belenggu tirani yang bersifat duniawi semata. Sebab sesungguhnya sudah sedari awal benih-benih keimanan itu sudah menancap di lubuk hati mereka sebgaimana dipaparkan oleh Syeh Muhammad Said Ramadhan Al-Buti. Hanya saja, ada dukungan secara sosiologis untuk merombak tatanan yang sebelumnya mementingkan kaum kapitalis klasik dengan konsep kemanusiaan dan keadilan yang dibawa Islam.

Lihat kitab Fikih Sirah Nabawi dan Al-Kamil Fi Al-Tarikh.

Moh. Sholeh Shofier
(Mahasantri Mahad Aly Marhalah Tsaniyah)

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest