Kriteria “Busana” dalam Shalat

Kriteria “Busana” dalam Shalat

Berhias artinya berdandan atau merapikan diri. Berhias dalam pandangan Islam sejatinya adalah suatu hal yang baik sepanjang tidak berlebih-lebihan. Bahkan, hukumnya disunnahkan selama itu untuk kebaikan. Misalnya, berhias dengan tujuan agar orang yang ada di sekitar kita merasa senang dan tidak terganggu dengan penampilan kita, termasuk juga seorang istri yang bertujuan untuk menyenangkan suami, dan sebaliknya (suami untuk menyenangkan istri).

Secara manusiawi wajar bila kita selalu ingin tampil prima di mata orang lain. Tidak hanya dihadapan makhluk-Nya kita sibuk berhias diri, ketika menghadap khaliq-pun kita juga dianjurkan untuk memperindah penampilan. Dalam sebuah hadis, Nabi bersabda:

“Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan” (H.R Ahmad)

Coba bayangkan, ketika kita pergi ke pesta atau ke acara-acara penting, namun pakaian yang digunakan sangat kumal dan bau. Tentu itu merupakan aib di hadapan manusia lainnya. Nah, di hadapan Tuhan pun kita juga harus berpenampilan bagus, indah dan bersih.

Loh, ketika kita salat menggunakan pakaian bau atau mukenah yang sudah sebulan tidak dicuci, salat kita kan tetap sah? Memang, hal tersebut tidak masalah menurut kaca mata fikih, namun bila dibandingkan antara perlakuan kita untuk manusia dan perlakuan kita ketika menghadap sang pencipta rasanya tidak berimbang. Sebagaimana ketika kalian diundang ke pesta pernikahan, lalu menggunakan pakaian rumahan atau pakaian yang tak layak dan terkesan kumuh, apakah lantas akan diusir dari tempat pernikahan itu? Tentu saja tidak.

Tapi hal tersebut tentu tak baik dan tak sopan, lebih-lebih dihadapan shahibul hajat yang telah mengundang kita. Begitu juga ketika salat, yang tentu nilainya lebih dari sekadar pesta pernikahan. Kita bertamu ke rumah Allah, untuk bermunajat, meminta, dan bersujud pada sang Khaliq tentu selayaknya menggunakan pakaian yang bagus dan sesuai dengan kriteria yang telah diajarkan Nabi Muhammad SAW.

Perintah untuk berhias dalam salat sudah tertera dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 31:

“Wahai anak Adam, pakailah pakainmu yang bagus setiap kali memasuki masjid, makan dan minumlah tapi jangnlah berlebih-lebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihlebihan (Q.S al A’raf:31)

Lalu, bagaimana kriteria pakaian yang bagus di dalam beribadah berdasarkan ayat tersebut?

Anjuran berhias dengan pakaian yang bagus pada ayat di atas diungkapkan dengan lafal “Zinatakum”. Sedangkan penafsiran lafal “Zinatakum” sendiri masih menuai beberapa pendapat. Ada yang berpendapat bahwa hal tersebut menjelaskan tentang kewajiban menutup aurat ketika shalat. Hal ini, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Zujaj.

Pendapat yang lain, mengungkapkan bahwa lafal tersebut merupakan anjuran untuk berhias dengan memakai pakaian yang bagus ketika melaksanakan shalat jumat dan shalat id. Pendapat yang kedua ini juga didukung oleh Imam Al-Zamakhsyari, beliau mengatakan bahwa lafal tersebut mengarah pada memperindah dan menghias diri ketika shalat”.

Jadi, menutup aurat tidak termasuk dalam penafsiran tersebut karena menutup aurat sudah merupakan perintah secara mutlak. Sedangkan perintah untuk menggunakan pakaian yang indah dan layak ketika shalat, hukumnya hanya sunnah, tidak sampai pada tingkatan perintah yang wajib dilaksanakan.

Dalam tafsir As-Sa’di disebutkan bahwa lafal tersebut mencakup pakaian yang bersih dan bagus. Nah, pakaian yang bagus itu haruslah pakaian yang bisa menutupi aurat ketika shalat. Sedangkan bersih yang dimaksud adalah bersih dari berbagai kotoran dan najis. Berdasarkan penafsiran-penafsiran tersebut, pakaian dalam salat dikelompokkan menjadi dua kriteria. Pertama, Pakaian yang mencukupi terhadap keabsahan shalat (kalau tidak memenuhi sifat ini, maka shalatnya tidak sah). Kedua, Pakaian yang bersifat penyempurna (sekalipun tidak digunakan, shalat tetap sah).

Lebih lengkapnya berikut kami sajikan kriteria busana dalam salat:

  1. Pakaian yang sifatnya wajib
    • Yakni pakaian yang dapat menutupi aurat. Batasan aurat laki-laki adalah anggota badan antara pusar dan lutut, sedangkan aurat perempuan adalah seluruh badannya kecuali wajah dan telapak tangan. Pakaian yang tipis dan tembus pandang yang tidak bisa mencegah terlihatnya aurat, tidak termasuk kriteria menutupi aurat.
    • Pakaian yang bersih dari najis. Bukan pakaian yang haram dipakai, seperti pakaian hasil gasab. Hukum keabsahan shalat dengan menggunakan menggunakan pakaian yang digasab masih diperselisihkan. Namun ulama’ sepakat hukumnya haram.
  2. Pakaian yang bersifat penyempurna.
    • Menggunakan pakaian yang berwarna putih. Berdasarkan hadis dari Imam Ahmad, bahwa Rasulullah bersabda: “Pakailah pakaian yang berwarna putih, karena ia lebih suci, lebih baik dan kalian akan dikafani dengan kafan putih ketika mati” ( HR. Thabrani dengan sanad yang sahih). Pakaian putih tidak hanya dianjurkan dalam salat, ketika membaca al-Quran dan menuntut ilmu juga disunnahkan untuk berpakaian putih.
    • Tidak menggunakan pakaian yang berwarna kuning atau merah
    • Menggunakan surban/serempang (khusus untuk laki-laki). Karena di dalam shalat disunnahkan untuk tampil berwibawa, dan serempang merupakan pakaian yang menunjukkan kewibawaan seseorang.
    • Menghindari pakaian yang dapat mengganggu kekhusyukan shalat
    • Menggunakan sarung.
    • Menghindari penggunaan celana dalam salat. Karena mayoritas bentuk celana itu ketat, dan hal tersebut bukanlah budaya berpakaian ulama’-ulama’ salaf. Jadi lebih baik menggunakan sarung, atau kalau memang sudah terlanjur menggunakan celana, silahkan melapisinya dengan gamis.
    • Menggunakan pakaian yang mudah (tidak ribet).

Lalu bagaimana hukum salat menggunakan baju tidur? Bukankah baju tidaur merupakan pakaian yang mudah (tidak ribet)? Jika baju tidur itu suci, hukum salatnya tentu tetap sah. Tapi baju tidur tidak termasuk kriteria pakaian yang sempurna digunakan saat salat. Jadi, sebagai umat Islam sudah seyogyanya kita mulai memperhatikan penampilan ketika menghadap sang pencipta. Sekalipun tidak banyak memiliki mukena atau sarung, setidaknya kita menjaga kerapian dan kebersihan pakaian, mukena atau sarung yang digunakan untuk menghadap Sang Pencipta. Dengan begitu, semoga kita termasuk orang-orang yang dicintai Allah, serta termasuk orang-orang yang mengamalkan sunah-sunah Nabi-nya.[SS]

Referensi:

[1] Tafsir Al-Mawardi, Juz 2 hal. 217 [2] Bahrul Muhith fit Tafsir, juz 5 hal. 41 [3] Tafsir Manar, juz 8, hal 339 [4] Bahrul Muhith fit Tafsir, juz 5 hal. 41 [5] Manar AlQori Syarah Muhtasor Sohih Bukhori, Juz 5 hal. 231 [6] Tafsir Ibnu Katsir, juz 3 hal. 365 [7] Al-Muntaqa Syarah Muwaththa’, juz 7 hal. 219 [8] Mustakhraj Abi Uwanah, Juz 1 hal. 401 [9] Faidhul Qodir, Juz 1 hal. 394 [10] Al-Muntaqa Syarah Muwaththa’, juz 1 hal. 250 [11] Al-Muntaqa Syarah Muwaththa’, juz 1 hal. 251 [12] Faidhul Qodir, Juz 1 hal. 394 [13] Fatwa IbnuBaz, Juz 10 hal. 414 [14] Syarah Al-Kabir, Juz 1 hal. 217 [15] Ashlu Sifati Sholatin Nabi, Juz 1 hal.145 [16] Syarah Sunan Abi Daud, Juz 12 hal. 268

Oleh : Muchoyyaroh
(Alumni Ma’had Aly)

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest