Rekonstruksi Ḥifẓu al-Dīn untuk Moderasi Agama Bebasis Sosio-kultural

Rekonstruksi Ḥifẓu al-Dīn untuk Moderasi Agama Bebasis Sosio-kultural

Pada pembahasan maqāid al-syarī’ah (cita-cita luhur syariat) terdapat klasifikasi primer, skunder dan tersier. Tiga klasifikasi ini meliputi lima bagian komponen utama maqāid al-syarī’ah yakni, ifu al-dīn (menjaga agama),ifu al-nafs (menjaga jiwa dan raga),ifu al-‘aql (menjaga akal),ifu al-nasl (menjaga keturunan)dan ifu al-māl (menjaga harta) (al-Syāṭibiy, 1988: 8). Ada yang menambahkan satu komponen lagi: ifu al-‘ir (menjaga kehormatan) (al-Anṣāriy, 2016: 138). Tulisan ini hanya akan berkisar pada salah satu komponen maqāid al-syarī’ah yakni, ifu al-dīn (menjaga agama).

Dalam menginterpretasikan ifu al-dīn, pemikir-pemikir klasik cenderung memberikan nilai eksklusif. Hal ini dibaca dari beberapa contoh bentuk aplikasi ifu al-dīn pada berbagai kitab (klasik) –yang terkesan (eksklusif) menjaga kesakralan agama (Islam)– semisal, memberi hukuman pada penyeru bid’ah, menghukum mati orang murtad, memerangi orang kafir, dll. (al-Syāṭibiy, 1988: 8-10).

Beberapa pemikir kontemporer melakukan reinterpretasi makna ifu al-dīn, dari yang semula oleh pemikir klasik dimaknai eksklusif lalu dimaknai inklusif. Jasser Auda dan Mahmud Hamdi Zaqzuq memaknai ifu al-dīn (menjaga agama) sebagai menjaga, melindungi dan menghormati kebebasan beragama dan berkepercayaan (makna inklusif). Reinterpretasi ini dibentuk atas dasar pemikiran yang lebih mengarahkan maqāid al-syarī’ah pada development (pembangunan; pengembangan) dan human right (hak kemanusiaan). (Auda, 2008: 21-23 dan Masduqi: 2011: 38)

Melanjutkan gagasan Jasser Auda dan Mahmud Hamdi Zaqzuq di atas, makna ifu al-dīn (menjaga agama) secara inklusif adalah menjaga agama agar tidak mendapatkan stigma atau penilaian negatif dari orang lain (sosial) guna membentuk moderasi agama berbasis sosio-kultular;

Di tengah sosial tidak boleh melakukan tindak kekerasan atas nama agama, karena hal ini akan memicu penilaian negatif dari masyarakat (sosial) terhadap agama;

Di tengah sosial tidak boleh berfatwa (menyerukan agama tentang) hukum yang merugikan atau meresahkan masyarakat (ataupun personal), karena hal ini akan memicu penilaian negatif dari masyarakat (sosial) terhadap agama;

Di tengah sosial tidak boleh memaksakan kehendak atas nama agama yang dapat menimbulkan perpecahan, karena hal ini akan memicu penilaian negatif dari masyarakat (sosial) terhadap agama; Inilah nilai ifu al-dīn (yang) secara inklusif pro-aktif terhadap sosio-kultural; demi menjaga agama agar tidak mendapatkan stigma atau penilaian negatif dari orang lain (sosial).

Pemaknaan inklusif ifu al-dīn di atas, bisa dikaji melalui pemahaman asāsu al-syarī’ah (prinsip-prinsip dasar Islam). Menurut Muhamaad Ḥudlariy Bik, terdapat tiga prinsip dasar Islam: 1. ‘Adamu al-araj (tidak ada ketidak-nyamanan). 2. Taqlīl al-Takālif (tidak memperbanyak beban hukum). 3. Al-Tadrīj (gradualisasi). (Khuḍariy Bik, 2018: 13-16)

Islam menginginkan tidak ada ketidak-nyamanan. Hal ini bisa dilihat dari spirit beberapa ayat, antara lain: wa yaa’u ‘anhum irahum wa al-aglāla al-latī kānat ‘alayhim “Rasulullah SAW. bertugas menyingkirkan beban dan belenggu yang dirasakan umat” (QS. al-A’rāf: 157), yurīdu al-lāhu bikumu al-yusra wa lā yurīdu bikumu al-‘usra “Allah menginginkan kemudahan untuk kalian, bukan menginginkan kesulitan” (QS. al-Baqarah: 185), wa mā ja’ala ‘alaykum fī al-dīni min araj “Allah tidak membuat sebuah ketidak-nyamanan dalam agama untuk kalian” (QS. al-Ḥajj: 78). Dan Rasulullah SAW. juga pernah bersabda “Bu’itu bi al-anīfiyyah wa al-samati “Aku diutus dengan membawa apa-apa yang benar dan apa-apa yang mudah”. (Khuḍariy Bik, 2018: 13-14 dan al-Syaybāniy, 2001: 623)

Prinsip menginginkan tidak ada ketidak-nyamanan, selaras dengan upaya menjaga agama agar tidak mendapatkan stigma atau penilaian negatif. Sebab bilamana ada ketidak-nyamanan sebab agama, terbuka peluang sangat besar agama dinilai negatif oleh masyarakat (sosial).

Islam juga memiliki prinsip untuk tidak memperbanyak beban hukum. Hal ini bisa ditinjau dari beberapa ayat, semisal: yā ayyuhā al-lażīna āmanū lā tas’alū ‘an asyyā’a in tubda lakum tasu’kum wa in tas’alū ḥīna yunazzalu al-qur’ānu tubda lakum ‘afā al-lāhu ‘anhā wa al-lāhu gafūrun alīmun qad sa’alahā qaumun min qablikum umma abaḥū bihā kāfirīn “Wahai orang-orang beriman jangan kalian bertanya tentang hukum yang kalian tahu jika dijawab akan memberatkan kalian. Jika kalian menanyakan hal demikian ketika Quran diwahyukan maka akan dijawab oleh wahyu dan itu akan memberatkan kalian, padahal Allah mentolelir hukum tersebut jika tidak kalian tanyakan. Allah Maha Pengampun dan Maha Lemah-lembut. Sungguh para kaum sebelum kalian telah berbuat seperti itu (menanyakan hukum yang mereka tahu jika dijawab akan memberatkan mereka, lalu wahyu menjawabnya) kemudian mereka menjadi kafir” (QS. al-Māidah: 101-102). (Khuḍariy Bik, 2018: 14-15)

Prinsip untuk tidak memperbanyak beban hukum juga bisa ditinjau melalui beberapa hadis, semisal: rasulullah pernah ditanya “Rasul, apakah haji itu wajib setiap tahun?” lalu rasulullah berkomentar “Jika aku menjawab ‘iya’ maka niscaya haji menjadi wajib setiap tahun. Sudahlah, jangan bertanya-tanya tentang hukum yang olehku tidak dibicarakan. Kaum sebelum kalian menjadi binasa karena sering berselisih dengan para utusan Allah dan menanyakan hal-hal yang tidak dibicarakan oleh utusan Allah”. (al-Bagdādiy, 1990: 176)

Seseorang yang sering memaksakan hukum-hukum secara radikal kepada masyarakat padahal hukum-hukum yang dipaksakan banyak merupakan hukum yang tidak urgen untuk dilakukan oleh semua indivudu (semisal memelihara jenggot, bercadar dll), maka tentu hal ini akan memicu penilaian atau stigma negatif untuk agama (Islam) dari masyarakat (sosial).

Memaksakan hukum-hukum secara radikal seperti di atas berarti: memaksakan (memperbanyak beban) hukum. Hal ini bersebrangan dengan prinsip dasar Islam untuk tidak memperbanyak beban hukum.

Prinsip dasar Islam yang ketiga menurut Muhammad Khuḍariy Bik di atas, adalah gradualisasi. Contoh dari keberadaan prinsip ini dalam Islam adalah tentang hukum keharaman meminum khamr. Meminum khamr tidak serta-merta langsung diharamkan, karena mempertimbangkan kondisi masyarakat di zaman rasulullah yang banyak kecanduan khamr. Tercatat bahwa, turun wahyu tentang khamr sebanyak dua kali di waktu berbeda hingga (setelah dua wahyu tersebut) turun wahyu ketiga-kalinya tentang khamr yang tegas mengharamkan ‘meminum khamr’. (Khuḍariy Bik, 2018: 15-16)

Keberadaan wahyu pertama dan kedua tentang khamr dibaca sebagai sosialisasi kepada masyarakat waktu itu (di zaman rasulullah) agar mereka tidak “kaget” ketika meminum khamr diharamkan secara tegas melalui turunnya wahyu (selanjutnya) ketiga. Inilah sosialisasi hukum yang diajarkan Islam; secara gradual meminum khamr diharamkan oleh Islam (on process; bertahap; sosialisasi).

Nilai sosialisasi yang bisa dibaca pada prinsip al-tadrīj (gradualisasi), sangat selaras dengan kepentingan untuk menjaga Islam agar tidak mendapatkan stigma atau penilaian negatif dari orang lain (sosial). Maka untuk bersikap atau bertindak dalam sosial sejauh memiliki keterkaitan dengan Islam harus disosialisasikan terlebih dahulu, guna mengantisipasi adanya stigma atau penilaian negatif dari orang lain (sosial) terhadap Islam –tidak boleh bersikap atau bertindak sewenang-wenang atas nama Islam di tengah-tengah masyarakat.

Sosialisasi untuk apapun sejauh berkaitan dengan agama (Islam) di tengah sosial menuntut adanya komunikasi antara pihak yang bersosialisasi dengan pihak masyarakat lain di dalam suatu komunitas sosial yang dimaksud. Komunikasi antara “agama” dan sosial ini perlu dilakukan, mengingat bahwa komunikasi baik adalah bersifat terbuka dan siap menerima kritik sekaligus bertujuan untuk memperoleh saling suka-rela antara dua pihak yang terlibat (agama-sosial) (Bertens, 2002: 245-247).

Prinsip dasar Islam al-tadrīj (gradualisasi) yang mengandung spirit nilai sosialisasi, tidak lain adalah wacana untuk mengoptimalkan komunikasi di tengah masyarakat guna menjaga agama (ḥifẓu al-dīn) agar tidak mendapatkan stigma atau penilaian negatif dari orang lain (sosial). (fQh)

Oleh:
A. Faiqil Faqih
(Mahasantri Mahad Aly Marhalah Tsaniyah)

אהבת החבר הכי טוב

Daftar Pustaka

Khuḍariy Bik, Muḥammad. (2018). Tārīkh al-Tasyrī’ al-Islāmiy. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

al-Anṣāriy, Abī Yaḥyā Zakariyyā. (2016). Ghāyah al-Wuṣūl Syarḥ Lubb al-Uṣūl. Surabaya: Haramayn.

al-Bagdādiy, ‘Aliy bin al-Ja’di bin ‘Ubayd al-Jauhariy. (1990). Musnadu Ibn al-Ja’di. Beirut: Muassasah Nādir.Qarḍāwi, Yūsuf. (1999). al-Fiqh al-Islāmiy Bayna al-Iṣlāḥ wa al-Tajdīd. Kairo: Maktabah Wahbah.

Auda, Jasser. (2008). Maqāṣid al-Syarī’ah as Philosophy of Islamic Law: A System Approach. London: The International Institute of islamic Thought.

Al-Syāṭibiy. (1988). al-Muwāfaqāt fī Uṣuli al-Syarī’ah.Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Bertens, K. (2002). Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Masduqi, Irwan. (2011). Berislam Secara Toleran, Teologi Kerukunan Umat Beragama. Bandung: Mizan.

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest

Exit mobile version