Mengikuti Sunah Nabi dengan Memakai Batik

Mengikuti Sunah Nabi dengan Memakai Batik

Pakaian merupakan kebutuhan primer bagi manusia. Tujuannya adalah untuk melindungi badan dari sengatan matahari atau dari dinginnya malam. Selain itu, pakaian juga sebagai penutup aurat bagi umat beragama, walaupun menutup aurat tidak harus menggunakan pakaian.

Pada perkembangan selanjutnya, pakaian tidak hanya berguna sebagaimana di atas. Namun lebih dari itu, ia sebagai identitas atau sebagai budaya suatu daerah. Misalnya, adat Madura menggunakan pakaian Sakera. Lebih luas lagi, negara tercinta kita pakaian adatnya menggunakan baju batik dan songkok hitam. Baju batik pun setiap daerah berbeda-beda. Batik madura berbeda dengan batik jawa. Batik jawa dengan batik sumatera juga berbeda, begitu seterusnya.

Di negara Arab sana, baju yang menjadi kebanggaan mereka adalah jubah atau gamis dengan pasangan imamah. Hal tersebut sudah turun-temurun dari nenek moyang mereka. Bahkan, dilestarikan hingga sekarang. Tak terkecualikan, Nabi Muhammad pun bangga dengan budaya itu. Terbukti, beliau sangat suka memakai jubah atau gamis sesetel dengan serban. Begitu juga umatnya, mereka senang meniru-niru segala hal yang dilakukan Nabi.

Hal tersebut baik. Namun, terkadang ada beberapa orang beranggapan bahwa orang yang menggunakan jubah atau imamah merupakan orang yang paling mengikuti sunah Nabi dan orang yang tidak mengenakannya dianggap setengah-setengah mengikuti sunahnya Saw. Nah, ini menurut penulis yang kurang tepat. Sebab, tidak semua yang dikerjakan Nabi merupakan sunah. Umpama makan dan minum Beliau.

Sekarang yang menjadi pertanyaannya adalah apakah jubah atau imamah yang menjadi pakaian adat Nabi merupakan kesunahan bagi umatnya? Sebelum menjawab pertanyaan ini, penulis terlebih dahulu akan menuliskan klasifikasi perbuatan Nabi Muhammad Saw.

Para ahli Usul Fikih berbeda-beda dalam mengklasifikasi perbuatan Nabi, ada yang mengklasifikasikannya menjadi tiga, ada juga yang lebih. Namun, pada pokok maksudnya tidak jauh berbeda. Saya akan mengikuti klasifikasi yang dituliskan oleh Syekh Abi Yahya Zakaria al-Anshari di dalam kitab monumentalnya Ghayah al-Wushul. Beliau mengklasifikasikannya menjadi lima.

Pertama, perbuatan Nabi berupa jibilli (tabiaat atau watak Nabi sebagai manusia biasa) seperti makan, minum, duduk dan berdirinya beliau Saw. Hal ini, menurut pendapat yang shahih, boleh dikerjakan oleh umatnya. Tetapi, ada yang berpendapat hukumnya sunah sebagaimana yang dikatakan oleh Imam al-Qarafi.

Kedua, perbuatan Nabi yang sama-sama berkemungkinan antara perbuatannya sebagai manusia dan sebagai pembuat syariat bagi umatnya. Misalnya, Nabi naik kendaraan ketika melakukan haji, duduk istirahat di dalam shalat, dll. Hal ini, menurut pendapat yang shahih, sunah diikuti oleh umatnya. Namun, pendapat lain mengatakan boleh-boleh saja mengikutinya.

Ketiga, perbuatan Nabi sebagai penjelasan atas ke-mujmal-an ayat al-Qur’an. Seperti, Nabi memotong pergelangan tangannya pencuri sebagai penjelasan terhadap keumuman topik ayat pencurian. Hal ini hukumnya tergantung penjelasan dari Nabi Muhammad Saw., bisa mubah, sunah, atau bahkan wajib.

Keempat, perbuatan yang khusus bagi Nabi Saw., seperti Nabi menikah lebih dari empat permpuan. Hal ini, sudah jelas tidak boleh diikuti oleh umatnya karena perkara tersebut hanya khusus untuk beliau. Dan masih banyak lagi hal-hal yang khusus bagi Nabi Muhammad Saw.

Terakhir, perbuatan Nabi selain yang empat. Hal ini, masih dirinci lagi. Kalau diketahui sifatnya: wajib, sunah atau mubah maka menurut pendapat ashah (yang paling shahih) hukum mengikutinya juga seperti itu, baik pekerjaan tersebut berupa ibadah, seperti shalat, atau bukan ibadah seperti muamalah Nabi. Kalau tidak diketahui sifatnya apakah wajib, sunah atau mubah maka menurut pendapat ashah wajib hukumnya bagi Nabi dan umatnya. Untuk mengetahui sifat tersebut bisa dengan penegasan langsung dari Nabi Saw. atau dengan lainnya.

Dari klasifikasi di atas, kira-kira pekerjaan Nabi memakai jubah serta imamah termasuk klasifikasi perbuatan Nabi yang mana? Salah memosisikan perbuatan Nabi maka akan menimbulkan konsekuensi hukum yang berbeda.

Kalau menurut penulis, perbuatan tersebut masuk ke dalam kategori yang pertama yaitu, perbuatan manusiawi Nabi karena perbuatan tersebut merupakan bentuk kecintaan Nabi Muhammad Saw. terhadap budaya setempat yaitu budaya Arab. Lalu bagaimana hukumnya bagi umat beliau? Kalau mau mengikuti pendapat yang shahih maka hukumnya hanya boleh diikuti dan tidak sampai ke taraf sunah. Kalau mau mengikuti pendapat yang lemah (qiil) maka hukumnya sunah.

Nah, sunah di sini masih perlu direnungkan lagi. Sebenarnya yang sunah itu menggunakan jubah atau sunah dari segi bahwa beliau cinta terhadap budaya negaranya? Kalau yang disunahkan adalah kecintaan terhadap budaya negara sendiri maka kita sebagai umatnya juga sunah mencintai produk dalam negeri, semisal mengenakan baju batik bagi masyarakat Indonesia. Faktanya, selain banyak pengakuan dari sahabat Nabi ternyata juga tidak sedikit penunjukan lafal al-Quran dan as-Sunah akan kecintaan Nabi terhadap tanah kelahirannya.

Namun, yang perlu ditegaskan, jangan sampai menganggap orang yang menggunakan jubah serta serban termasuk orang yang paling mengikuti sunah Nabi dan yang tidak mengenakannya termasuk orang yang setengah-setengah mengikuti sunahnya. Apalagi sampai dijadikan sebagai standarisasi ketakwaan seseorang kepada Allah Swt. Tentunya, sama sekali tidak. Karena kalau begitu, Abu Jahal termasuk orang yang paling bertakwa. Mengingat dia juga menggunakan jubah serta ber-imamah? Takwa itu urusan hati bukan urusan pakaian. Bedakanlah mana fakta dan mana nilai. Menggunakan jubah itu fakta, sementara ketakwaan itu nilai. Kedua-duanya merupakan hal yang berbeda. Wallahu a’lam

Oleh:
Abdul Gani, S. Ag.
(Mahasantri Ma’had Aly Marhalah Tsaniyah)

One thought on “Mengikuti Sunah Nabi dengan Memakai Batik”

  1. terima kasih

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest