Usul Fikih dan Kekhasan-nya

Usul Fikih dan Kekhasan-nya

Kalau diibaratkan pohon, ia tidak akan menjulang tinggi ke langit tanpa akar kokoh yang menghunjam ke bumi. Umpama rumah, ia tak mungkin tegak berdiri tanpa adanya lapisan fondasi yang kuat. Fikih pun demikian. Sebagai kajian keagamaan yang banyak sekali peminatnya, ia juga memiliki akar atau fondasi kuat yang dikenal dengan ilmu usul fikih. Kalau fikih diibaratkan batang pohonnya, maka usul fikih sebagai akarnya. Jika fikih dikatakan cabang, maka usul fikih adalah asalnya. Cabang dalam hal ini adalah fikih tidak akan lahir tanpa ada asal yakni usul fikih. Diungkapkan dalam sebuah statement “Orang yang tidak mengetahui asal (أصل), tidak akan sempurna memahami cabang (فرع)”.

Begitu sekilas pengantar kitab Mabādi’ Awwaliyah dalam memberi stimulan kepada kita untuk mendaras ilmu usul fikih. Kitab ini merupakan satu dari trilogi kitab usul fikih karya Syekh Abdul Hamid Hakim (w 1959 M/1379 H). Seorang ulama asal Minangkabau yang terkenal dengan gelar kehormatan “Angku Mudo Hamid”.

Sebagai buku trilogi usul fikih, karya Syekh Abdul Hamid ini memiliki beberapa tahapan. Tiga kitab usul fikih tersebut bermula dari kitab “Mabādi’ Awwaliyah” dengan dua isi pembahasan di dalamnya. Yaitu perihal dasar-dasar usul fikih dan kaidah fikih. Setelah selesai dalam tingkatan ini maka berlanjut pada tahapan kedua, yakni kitab “al-Sullam“. Dan sebagai tahap terakhir, Syekh Abdul Hamid menyusun kitab yang bertajuk “al-Bayān”.

Secara historis penyusunan, kitab al-Bayān memang lebih dahulu daripada kitab al-Sullam. Karena satu alasan, jika tuntas mengaji kitab “Mabādi Awwaliyah” langsung naik mengkaji kitab al-Bayān, dan ini seakan-akan ada loncatan dalam mengkaji tahapan ilmu usul fikih. Oleh karena itu, perlu ada “tangga ilmu” terlebih dahulu. Maka, sesuai dengan judul kitabnya, terciptalah kitab al-Sullam yang bermakna tangga. Demikianlah penuturan dari sang pengarang sendiri.

Untuk isi kandungan kitabnya. Penulis tertarik pada ulasan pengarang saat membahas objek kajian usul fikih. Dalam kitab al-Sullam, beliau menjelaskan:

وموضوعه راجع إلى إثبات الأدلة للأحكام وثبوت الأحكام بالأدلة.

“Objek kajian usul fikih kaitannya dengan menetapkan dalil hukum. Serta menetapkan hukum dengan dalil.”

Dari ungkapan tersebut, Usul fikih tidak sekadar menetapkan Alquran sebagai dalil hukum sebagaimana penjelasan dalam ilmu Alquran. Usul fikih pula tidak secara unsich mengabarkan Hadis adalah sumber hukum seperti yang dikatakan dalam ilmu Hadis. Lebih dari hal itu semua, ia juga mengkaji bagaimana cara penalaran hukum lewat kedua dalil tersebut yakni Alquran dan Hadis.

Ilmu yang mengawinkan antara naql (teks) dan ‘aql (logika) ini, tidak hanya menetapkan bahwa penggalan ayat (وَءَاتُوا الزَّكاَةَ) menjadi dalil kewajiban zakat. Namun ia juga mengkaji bagaimana cara sehingga muncul hukum kewajiban zakat lewat redaksi ayat tersebut. Nalarnya begini, redaksi (وَءَاتُوا الزَّكاَةَ) berwujud perintah. Setiap perintah pada asalnya menunjukkan terhadap makna wajib. Maka kita bisa mengambil konklusi bahwa lafal (وَءَاتُوا الزَّكاَةَ) menunjukkan wajibnya zakat, dan masih banyak lagi contoh lainnya.

Dari paparan di atas, tentu tidak benar jika usul fikih dikatakan ilmu yang tidak mandiri. Ia hanyalah himpunan dari aneka macam ilmu, berupa ulūm al-qur`ān, ulūm al-hadi dan yang lainnya’.

Imam al-Zarkasyi (w 794 H) mengandaikan, jika seseorang bertanya, “benarkah usul fikih hanyalah kumpulan dari potongan berbagai ilmu saja? Ia sekelumit dari ilmu nahwu (seperti pembahasan makna-makna huruf, istinā, `aaf khās atas ām, dan lain-lain), sekelumit dari ilmu kalam (Contohnya dalam bab asan versus qābi,  apakah semua hukum bersifat qadīm?, dan seterusnya), sekelumit dari ilmu lughat (Semisal pembuatan amar-nahi, umūm-khuṣūs, mujmal-mubayyan, mulaq-muqayyad), dan juga sekelumit dari ilmu Hadis (seperti pembahasan Akhbār). Dari pernyataan-pernyataan tersebut, maka orang yang sudah mahir dalam berbagai macam ilmu ini, tidak butuh lagi belajar usul fikih. Dan bagi yang masih awam, maka perlu usul fikih untuk menghimpun semuanya. Dengan demikian, tidaklah ada ilmu usul fikih kecuali hanya mengulas tentang ijmā dan qiyās saja dan sungguh hal ini minim faidahnya.

Pertanyaan itu dapat kita sangkal dengan kita menjawab “ tidak”. Justru para ahli usul fikih lebih mendalam nalarnya dalam mengkaji kalam orang Arab dibandingkan para ahli lain seperti ahli nahwu atau gramatika bahasa. Sekedar contoh, kata “إِفْعَلْ”. Jika ahli nahwu hanya berhenti menyebutnya sebagai bentuk amar/perintah, maka ahli usul fikih lebih detail lagi. Betul ia bentuk perintah. Hukum asalnya, setiap perintah menunjukkan kewajiban. Contoh lainnya adalah redaksi “lā ilāha illallāh“. Bagi ahli nahwu, redaksi itu hanya murni susunan istinā/pengecualian. Namun bagi ahli usul fikih, pemahamannya lebih mendalam lagi. Ia memang bentuk istinā dan setiap istinā dari kalam nafī / kalimat negasi adalah menetapkan hukum. Dalam redaksi – lā ilāha illallāh– ini dapat diambil pemahaman untuk menetapkan bahwa Tuhan hanyalah Allah Swt. semata.

Inilah wujud kekhasan dari usul fikih. Membahas sesuatu lebih tadqīq atau mendalam, bahkan sarat dengan adanya nalar yang kuat. Maka tidak berlebihan jika al-Ghazali menyebutnya sebagai paling agungnya ilmu (asyraful ulum). [akh]

Lihat Kitab Mabādi’ Awwaliyyah, Kitab al-Sullam, dan Kitab ‘Ilmu Uṣūl al-Fiqh wa ‘Alāqatuhu bi al-Falsafah al-Islamiyah.

Oleh: Ilyas Mubarok

Alumni Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest