DILEMA SANTRI OLEH PILIHAN TIGA KIAINYA

DILEMA SANTRI OLEH PILIHAN TIGA KIAINYA

Oleh: Ustad Abdul Wahid
(Dosen Ma’had Aly Situbodno)

Alkisah, penguasa itu datang kepada Imam Malik dan meminta restu kiranya kitab yang dikarang beliau, al-Muwaththa’, menjadi pedoman yang mengikat bagi rakyatnya. Semua warga negara wajib tunduk dan merujuk pada kitab yang konon diselesaikan dalam kurun dua dekade itu. Tanpa pikir panjang Imam Malik menampik maksud baik sang penguasa, kepadanya beliau tegas menukas,

“Jangan lakukan itu, Tuan. Orang-orang Islam sudah kenyang dengan banyak pendapat ahli hukum dan kaya dengan sabda-sabda Nabi. Biarkan mereka tetap memilih apa yang mereka pilih untuk mereka sendiri.” (Shinā’at al-Iftā’, 76)

Agaknya alasan penolakan ini, selain kerendahhatiannya, juga Imam Malik bukan orang over PD dengan kerja-kerja ijtihadnya. “Aku hanya manusia biasa. Bisa salah bisa benar. Nalarlah pendapatku. Kalau memang sesuai dengan Alquran dan al-Sunnah, ambil. Kalau tidak sesuai, abaikan.” (al-Qaul al-Mufīd fi Adillatil Ijtihād wa al-Taqlīd, 42)

Karakter Imam Malik menurun kepada santri terbaiknya, Imam al-Syafi’iy. Suatu pagi atau sore, beliau menyampaikan, “Apabila kalian temukan dalam kitabku hal yang menyalahi sunnah Rasulullah saw., ambillah ia dan abaikan pendapatku.” (al-Majmū‘ Syarh al-Muhadzdzab, 1/104) Perkataan beliau serupa ini banyak dengan ragam diksinya. Misalnya dikutip juga pernyataan beliau, “Setiap masalah yang sudah diterangkan hadis sahih dan berbeda dengan pendapatku, maka aku tarik kembali pendapatku, selagi aku hidup atau sudah mati.” (Īqādh al-Himam, 104)

Guru dan santri sama. Alih-alih memasarkan pendapat, mereka justru mengingatkan kalau pendapat mereka mungkin salah.

Lebih awal dari guru-santri barusan, Abu Hanifah memberikan teladan yang sama. Beliau mengingatkan, “Bila pendapatku menyalahi Kitab Allah dan hadis Rasul saw., abaikan pendapatku.” (Īqādh al-Himam Ulī al-Abshār, 62) Abu Yusuf salah satu santrinya lebih tegas lagi, “Seseorang tidak boleh mengambil pendapatku selagi dia belum tahu dari mana aku mengambilnya.” (Irsyād al-Niqād ila Taisīr al-Ijtihād, 145)

Si bungsu dari Fantastic Four Fikih, Ahmad bin Hanbal, mengutarakan hal serupa secara lebih tegas lagi, dalam kalam negasi, “Jangan bertaklid kepadaku, jangan bertaklid kepada Malik, jangan pada al-Syafi’iy, tidak juga al-Auza’iy dan al-Tsauriy. Tapi, ambillah dari sumber tempat mereka mengambil.” (I’lām al-Muwaqqi‘īn, 2/139)

Bagi Ahmad, semua pendapat mereka sama saja. Tidak perlu dielu-elukan mana yang lebih kuat. Yang perlu adalah mendorong santri atau jamaahnya dapat memutuskan pendapatnya sendiri berdasarkan sumbernya langsung, Alquran dan al-Sunnah; atau membandingkan pendapat-pendapat mereka berdasarkan dalil dan nalar yang otoritatif. “Pendapat al-Auza’iy, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah, semuanya hanyalah pendapat. Bagiku sama saja, yang benar-benar hujjah cuma atsar (tradisi Nabi saw dan sahabat).” (Īqādh al-Himam, 21)

Tentu, semua kutipan di atas tidak berarti justifikasi bagi gerakan anti mazhab, sebagaimana tidak jarang disapalahpahami demikian. Tidak juga ajakan gombal untuk “kembali kepada Alquran dan al-Sunnah” seperti didengungkan segelintir kelompok.

Hemat saya, pernyataan-pernyatan Imam Mazhab itu merupakan penampakan dari keluhuran budi, kerendahhatian, dan sekaligus kehati-hatian. Betapa pun mereka yakin dengan ijtihad mereka, dengan kebenaran pendapatnya, mereka tetap mawas diri dan menyarankan orang lain supaya mampu secara mandiri membuat pilihan sendiri berdasarkan teks suci syariat.

Tidak masuk akal mereka berpikir keras dalam ijtihad mereka, lalu mereka tuliskan atau diktikan kepada santrinya, dan kemudian melarang orang lain berpedoman kepadanya. Memang bukan ini tujuan mereka dengan pernyataan-pernyataan yang mirip-mirip itu. Pesan mereka berpusat pada dua hal. Pertama, kerendahhatian dan kehati-hatian mereka. Ini adalah pesan tersiratnya. Kedua, hendaknya setiap orang berupaya menjatuhkan pendapatnya sendiri, menentukan pilihannya sendiri, berdasarkan kemampuan akalnya memahami wahyu.

Mereka, tokoh sentral empat mazhab ini, sadar betul bahwa fatwa, putusan, dan ijtihad hukum mereka menentukan bagi kehidupan umat muslim, bukan hanya di dunia melainkan juga di akhirat. Sepenting itu dan sekrusial itu, mereka tidak menganjurkan, apalagi mewajibkan, orang lain untuk mengikuti hasil kerja ilmiah mereka. Saya belum mendapati riwayat begini misalnya, “Sebaiknya kalian ikut aku saja, karena saya yakin, pilihanku merupakan yang paling ringan hisabnya kelak di akhirat.”

Mereka yakin bahwa pendapat mereka benar. Mereka yakin bahwa nalar mereka sahih. Mereka yakin kalau pilihan hukum mereka didasarkan atas ketulusan mereka memahami wahyu. Mereka yakin kalau ijtihad mereka membawa kepada kemaslahatan dan menghindarkan dari kerusakan. Keyakinan yang bertingkat-tingkat ini, siapa nyana, menghasilkan “sikap keraguan” atas hasil kerja mereka sendiri. Ya, demikianlah sikap ilmiah.

Aku hanya manusia biasa, kata Imam Malik. Jangan taklid kepadaku, kata Imam Ahmad. Sisihkan pendapatku kalau bertentangan dengan al-Sunnah, kata Imam al-Syafi’iy. Jangan ambil pendapatku kalau kau tidak tahu mengapa aku berpendapat begitu, kata Imam Abu Hanifah atau Abu Yusuf.

Saya menuliskan ini untuk sahabatku yang masygul oleh pemilu. (Aduh pemilu, memang betul-betul buat manusia pilu). Curhatnya padaku, dia mondok di beberapa pesantren dan tiga kiainya memiliki pilihannya sendiri. Dia bimbang kalau pilih “perubahan”, dirinya tersisih dari teman alumni di pesantren A dan pesantren B-nya. Galau kalau pilih “lanjutkan” karena dia akan menjadi binatang jalang dari kumpulannya terbuang di pesantren B dan pesantren C-nya. Pilih “satset” jelas dikucilkan dari alumni pesantren C dan pesantren A-nya.

Kepada teman itu, aku ingin menyampaikan, “Kalau saja ketiga kiaimu adalah Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam al-Syafi’iy, saya menjamin engkau tidak dihadapkan pada dilema berlapis-lapis begitu.”

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest