Pandangan Abu Zahrah tentang Hakikat Pernikahan

Pandangan Abu Zahrah tentang Hakikat Pernikahan

Oleh : Libasul Jannah
(Santri Ma’had Aly Marhalah Tsaniyah)

Pernikahan merupakan akad yang mengandung kebolehan bersenggama dengan lafal ‘inkāh’, tazwīj atau yang semakna dengan keduanya. Demikian definisi yang dituturkan oleh sebagian ulama Syafi’iyah. Ada juga yang mendefinisikannya sebagai akad yang ditujukan untuk memiliki ‘kesenangan’. ‘Kesenangan’ yang dimaksud yakni pengkhususan seorang laki-laki untuk memanfaatkan kemaluan serta seruluh badan seorang perempuan.

Selain itu, terdapat juga definisi-definisi lain yang tidak jauh berbeda, di mana definisi-definisi tersebut memberi pemahaman bahwa yang menjadi titik tekan akad nikah adalah memiliki ‘kesenangan’ dengan cara yang dilegalkan syariat. Benarkah demikian? Berikut penulis paparkan pandangan salah seorang pakar fikih kontemporer, Muhammad Abu Zahrah (1898-1974 M) mengenai hakikat pernikahan dalam pandangan syariat Islam.

 Melalui kitab karangannya al-Ahwāl al-Syakhshiyah, Abu Zahrah sama sekali tidak menafikan bahwa ‘kesenangan’ tersebut merupakan bagian dari tujuan pernikahan. Namun demikian, beliau menegaskan bahwa hal tersebut bukanlah satu-satunya tujuan, bukan pula tujuan utama pernikahan.

و لا شك أن ذلك من أغراضه, بل أوضح أغراضه عند عامة الناس, ولكن ليس هي كل أغراضه, و لا اسمى أغراضه في نظر الشارع الإسلامي, بل إن غرضه الأسمى هو التناسل و حفظ النوع الإنساني و أن يجد كل من العاقدين فى صاحبه الإنس الروحى الذى يؤلف الله تعالى به بينهما, و تكون به الراحة وسط متاعب الحياة و شدائدها

“Tidak diragukan lagi bahwa hal itu (“kesenangan”) termasuk tujuan pernikahan, bahkan menjadi tujuan paling jelas menurut kebanyakan orang. Akan tetapi, ia bukan satu-satunya tujuan, bukan pula tujuan yang paling penting dalam pandangan syariat Islam. Sesungguhnya tujuan terpenting pernikahan adalah berketurunan, melestarikan spesies manusia, masing-masing dari keduanya menemukan ketenangan jiwa dalam pasangannya yang mana Allah mempersatukan mereka berdua dengan ketenangan itu, sehingga keduanya bisa merasakan ketentraman di tengah penat dan kerasnya kehidupan” 

Oleh karena itu, pernikahan yang dimaksud dalam Islam tidak hanya soal berhubungan badan. Tentu tidak baik jika hubungan suami istri hanya didasarkan pada kebutuhan biologis saja. Sepasang suami istri harus memiliki interaksi yang baik serta memperhatikan hak dan kewajibannya masing-masing, sehingga tercipta hubungan yang membawa kebahagian dan ketentraman.

Beliau menuturkan bahwa sejatinya, pakar-pakar fikih telah memerhatikan makna ini. al-Sarkhasiy misalnya, dalam kitabnya al-Mabsūṭ menjelaskan bahwa yang menjadi tujuan akad nikah bukanlah menyalurkan hawa nafsu, melainkan meraih kemaslahatan, seperti menjaga dan menafkahi perempuan, memperbanyak umat Nabi Muhammad Saw. Akan tetapi, Allah sengaja mengaitkan tentang penyaluran nafsu juga dalam pernikahan agar orang yang taat dan yang maksiat sama-sama termotivasi untuk menikah. Bagi orang yang taat menikah sebab alasan-alasan keagamaan, sementara yang maksiat menikah agar dapat menyalurkan nafsu pada tempatnya.

Menurut Abu Zahrah apabila definisi pernikahan yang dicetuskan oleh pakar-pakar fikih tidak dapat menunjukkan maksud pernikahan dalam pandangan Islam, seharusnya ia didefinisikan ulang dengan definisi yang dapat mengungkap hakikat serta tujuannya dalam pandangan syariat Islam. Definisi yang disarankan beliau adalah akad yang berfaidah halalnya bergaul, tolong-menolong, serta menentukan hak dan kewajiban antara laki-laki dan Perempuan.

Wa Allah a’lam.

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest