Air Mutlak Tidak Bisa Musta’mal dan Berubah Semudah Itu

Air Mutlak Tidak Bisa Musta’mal dan Berubah Semudah Itu

Oleh: M. Yoga Alfians
(Mahasantri Ma’had Aly Situbondo Marhalah Tsaniah Semester 1)

Ketika saya mengaji kitab Bidayah al-Hidayah karya Imam al-Ghazali beberapa tahun lalu, saya masih ingat pada pembahasan wudhu’, tata caranya, sunnah-sunnahnya lengkap dengan do’a-do’anya. Jika saya hitung, hal-hal tersebut semuanya jika dilakukan secara lengkap tentu membutuhkan waktu yang lama. (Selengkapnya lihat Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, 31-32) 

Masalahnya, sering kali saya menjumpai orang-orang berwudhu’ dengan durasi yang cukup lama. Saya kira mereka wudhu’ membutuhkan waktu lama dikarenakan mengerjakan sunnah-sunnahnya secara lengkap beserta do’a-do’anya. Nyatanya saya terlalu berbaik sangka. Yang mereka lakukan ternyata hanyalah menyibukkan diri untuk berhati-hati supaya mereka tidak berwudhu’ dengan air musta’mal yang berasal dari bekas wudhu’mereka. Semisal mereka takut air tetesan yang berasal dari basuhan yang pertama akan mengenai air yang disiapkan untuk basuhan yang kedua. Begitupun selanjutnya mereka takut bekas basuhan kedua mengenai air yang disiapkan untuk basuhan yang ketiga. Mereka takut air-air yang disiapkan itu menjadi musta’mal sehingga membuat wudhu’nya tidak sah.

Saya pikir tindakan ini terlalu membebani orang-orang muslim. Apakah wudhu’ harus sesulit itu? Untuk mengatasi kegundahan ini, ada baiknya kita mendalami tentang air musta’mal yang mereka takutkan.

Untuk melakukan sholat, seseorang diharuskan untuk suci dari hadats kecil, hadats besar atau najis. Untuk menghilangkan hadats kecil, seseorang diperintahkan untuk wudhu’. Untuk menghilangkan hadats besar (janabah), seseorang diharuskan mandi janabah. Untuk menghilangkan najis, seseorang diharuskan untuk menyucikannya dengan cara-cara tertentu sesuai dengan tingkat najisnya.

Dalam melaksanakan wudhu’, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Salah satunya adalah wudhu’ harus menggunakan air mutlak. Maksud dari air mutllak adalah air yang tidak punya qayyid khusus. Dimana air tersebut diletakkan, maka nama air itu dinisbatkan kepada tempatnya. Semisal air jernih yang keluar dari kran, kita menyebutnya dengan air kran. Kemudian ketika air dari kran itu kita kumpulkan dalam ember, maka kita menyebutnya sebagai air ember. Kemudian ketika kita mengambil gelas dan mengambil air dari ember tersebut, kita menyebutnya sebagai air gelas dan begitu seterusnya. Air mutlak juga bisa disematkan kepada air yang punya qayyid khusus akan tetapi qayyid tersebut sudah ada sejak penciptaan air tersebut. Semisal air laut yang jika dipindahkan ke tempat manapun tetap saja disebut air laut karena dapat dibedakan dengan rasanya yang asin sejak awal. (Zainuddin Ahmad bin Abdul Aziz al-Malibary, Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrah al-Ain bi Muhimmat al-Din, 41) Kemudian kedua jenis air mutlak ini dirangkum dalam sebuah standar yakni air yang turun dari langit dan turun dari bumi yang terhindar dari sifat wasfi seperti air yang menjijikkan atau air mani dan terhindar dari sifat idhafi seperti air mawar. (Wahbah bin Mushthafa al-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, 1: 260)

Selanjutnya, air mutlak tersebut juga masih belum digunakan untuk bersesuci yang bersifat fardhu, baik bersesuci dari hadats kecil atau hadats besar. (Zainuddin Ahmad bin Abdul Aziz al-Malibary, Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrah al-Ain bi Muhimmat al-Din, 41). Jika air itu sudah digunakan untuk bersesuci yang bersifat fardhu maka air ini tidak bisa digunakan untuk berwudhu’. Air inilah yang disebut sebagai air musta’mal oleh beberapa ulama’

Selain air tersebut berupa air mutlak dan masih belum digunakan untuk bersesuci yang bersifat fardhu, air tersebut juga tidak berubah sebab tercampur dengan benda yang suci. Maksudnya, salah satu sifat dari warna, aroma serta rasa pada air ini tidak berubah. Perubahan ini baik berupa perubahan yang tampak jelas dan bisa dijangkau oleh pancaindra ataupun perubahan yang hanya dikira-kira saja. (Zainuddin Ahmad bin Abdul Aziz al-Malibary, Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrah al-Ain bi Muhimmat al-Din, 42)   

Maksud perubahan yang dikira-kira adalah semisal air mutlak kejatuhan benda yang seluruh sifatnya sama dengan air mutlak tersebut. Salah satu contoh benda tersebut adalah air musta’mal, sebab air musta’mal, warna, aroma dan rasanya tidak ada yang berbeda dengan air mutlak. Maka dari itu perubahannya harus dilakukan dengan pegandaian. (Abu bakar Utsman bin Muhammad Syatha al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin ala Hall Alfadz Fath al-Mu’in, 1:39)

Cara pengandaiannya adalah benda tersebut diandaikan dengan benda yang sifatnya berbeda dengan air mutlak, semisal sirup. Coba teteskan setetes sirup ke dalam air mutlak, kemudian perhatikan, jika air mutlak tersebut ada yang berubah dari warna, aroma dan rasanya, maka air tersebut hilang kemutlakannya sehingga tidak bisa dipakai bersesuci. Jika tidak berubah maka masih bisa digunakan untuk bersesuci. Begitupula kalau diteteskan air musta’mal, kita tidak bisa melihat perubahan air mutlak tersebut ketika kejatuhan air musta’mal karena sifatnya sama. Maka dari itu setetes air musta’mal ini harus diandaikan dengan setetes sirup tadi. Jika nyatanya air berubah sebab kejatuhan setetes sirup maka air juga dianggap berubah ketika kejatuhan setetes air musta’amal. Begitupula sebaliknya. (Muhammad bin Qasim al-Ghazi, Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfadz al-Taqrib, 26)          

Sampai sini kita tahu bahwa air bisa menjadi musta’mal jika air tersebut sudah digunakan untuk bersesuci yang bersifat fardhu. Maka dari itu, air bekas basuhan pertama itu statusnya menjadi air musta’mal. Kemudian air bekas basuhan pertama tersebut jika mengenai air yang dipersiapkan untuk basuhan kedua (yang biasanya diciduk menggunakan tangan atau gayung yang mana keduanya ini pasti ukurannya kurang dari dua qullah) bisa merubah status kemutlakan air sebab terkena air bekas basuhan pertama. Sehingga air tersebut sudah tidak bisa digunakan untuk bersesuci. Tapi wudhu’nya tetep sah loh ya! Kan basuhan fardhunya udah selesai.

Namun jika air itu digunakan untuk bersesuci yang sifatnya sunnah, seperti basuhan kedua, basuhan ketiga, berkumur-kumur, mengusap telinga dan basuhan-basuhan sunnah lainnya, maka air bekas basuhan-basuhan ini tidak menjadi musta’mal, sebab bersesucinya tidak bersifat fardhu. Maka dari itu tidak ada masalah jika air-air bekas basuhan sunnah ini jatuh ke air mutlak yang kurang dua qullah karena tidak sampai mengubah sifat-sifat air mutlak tersebut.

Maka dari itu untuk selanjutnya tidak perlu membebani diri sendiri untuk berlama-lama dalam berwudhu’ hanya karena takut bekas-bekas basuhan wudhu’ tersebut musta’mal dan bisa mengubah kemutlakan air lain. Sebab, air mutlak tidak bisa musta’mal dan berubah semudah itu.

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest