<strong><em>Al-Futuwwat</em> adalah Ajaran Toleransi Beragama Tanpa Diskriminasi</strong>

Al-Futuwwat adalah Ajaran Toleransi Beragama Tanpa Diskriminasi

Oleh: Dr. Imam Nakhe’i
(Dosen Ma’had Aly Situbondo dan Komisioner Komnas Perempuan 2014-sekarang)

Ajaran Islam secara umum diklasifikasi menjadi tiga ajaran. Pertama, adalah akidah. Kedua, fikih. Dan ketiga adalah tasawuf.[1] Akidah Islam merupakan ajaran pokok dari setiap umat Islam karena ia menjadi landasan dalam beragama. Ilmu ini berkaitan erat dengan hal yang mesti diyakini oleh mukallaf misalnya meyakini eksistensi Allah, Malaikatnya, kitab-kitabnya, utusan dan hari akhir. Sedangkan fikih lebih banyak bicara soal halal-haram, sah-batal, atau lebih tepatnya berbicara soal ” Haram, Makhruh Tahrim-tanzih, Mubah, Sunnah, Wajib, , Khilaful Aula”, atau yang lebih dikenal dengan al-ahkam as-sab’ah (tujuh jenis hukum dalam fikih).[2]

Sementara tasawuf lebih banyak membicarakan soal baik -tidak baik, pantas-tidak pantas, patut-tidak patut. Singkatnya, Jika fikih seringkali lebih bersifat formalitas yang didasarkan pada terpenuhinya rukun dan syarat dan juga didasarkan pada alasan atau ilat hukum, maka tasawuf lebih bersifat substansial yang mengedepankan rasa dan etika-moral.

Oleh sebabnya, dalam konteks toleransi, baik intra maupun antar agama, ajaran tasawuf lebih sering digunakan dan lebih cocok. Sebab membangun hubungan kemanusiaan dengan siapa pun membutuhkan rasa dan kesalingan yang bersumber dari kejernihan hati. Di samping, tentu saja, perintah dari agama.

Tasawuf atau al-ahkam al-khuluqiyah di definisikan dengan “Ajaran-ajaran yang berkaitan dengan upaya menjernihkan hati dari sifat-sifat yang tercela (التخلي-takhalli), dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji (التحلي-tahally)”.[3] Salah satu ajaran tasawuf yang mengajarkan bagaimana membangun toleransi atas dasar hubungan kemanusiaan adalah ajaran tentang al-Futuwwah (الفتوة). Menurut Imam al-Qusyairy dalam kitabnya ar-Risalah al-Qusyairiyyah (hlm. 275), Futuwwah bermakna “jika seorang selalu mengabdikan dirinya untuk kepentingan orang lain”.

Konsep ini terinspirasi oleh ayat yang tertera dalam QS. al-Kahfi [18]: 13 yang menceritakan ashabu al-kahfi, yaitu bahwa mereka itu adalah,

إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى

“Orang-orang muda pemberani yang beriman kepada Rabnya dan terus mendapatkan hidayah”, (QS. al-Kahfi [18]: 13).

Ada banyak varian dari definisi tentang “al-Futuwwah” yang ditawarkan oleh ulama sufi sesuai dengan “rasa” (baca: pengalaman spiritual personal) yang mereka alami. Sebagian mereka mendefinisikan al-Futuwwah adalah memaafkan kesalahan-kesalahan kawan. Sebagian yang lain mengartikan al-Futuwwah sebagai sikap yang tidak melihat dirinya lebih baik dari pada orang lain. Ada juga yang menjelaskan dengan pengertian bahwa al-Futuwah adalah orang yang tidak memiliki sekaligus tidak menjadi musuh siapa pun.

Dari berbagai definisi untuk mendeskripsikan hakikat al-Futuwwah yang ditawarkan oleh beberapa ulama, masih ada definisi yang lebih menarik. Yaitu ketika seorang bijak bestari ditanya tentang hakikat al-Futuwwah, beliau menjawab.

وقيل لبعضهم: مَا الفتوة فَقَالَ: أَن لا يميز بَيْنَ أَن يأكل عنده ولى أَوْ كافر.

“al-Futuwwah adalah orang yang tidak membeda-bedakan apakah yang makan di sampingnya seorang wali Allah swt ataukah seorang kafir.

Jadi, menurut definisi ini, seseorang tidak bisa dikatakan mencapai tingkatan al-Futuwwah selagi ia masih bisa membedakan orang yang yang dilihat di hadapannya. Apa lagi sengaja membeda-bedakan mana orang yang memiliki jabatan, prestise dan kekayaan, keyakinan dan lain semacamnya. Dengan demikian, siapa pun orang yang sudah tidak lagi membedakan orang yang di sampingnya; apakah seorang kekasih Allah, orang kafir, atau siapa pun, maka ia telah sampai pada maqam “al-Futuwwah”.

Bahkan ada yang mendefinisikan al-Futuwwah lebih singkat dan padat dari sebelumnya namun mengandung makna yang mendalam.

وقيل: الفتوة ترك التمييز

“Al-Futuwwah adalah tidak diskriminatif (membeda-bedakan atas nama apapun)

Dari penjelasan yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik benang merahnya bahwa al-Futuwwah – salah satu ajaran penting dalam membangun kehidupan yang lebih rohani dan spiritual – adalah seorang yang seluruh hidupnya di abadikan untuk kepentingan orang lain tanpa membeda-bedakannya. Baik dari segi agama atau keyakinannya yang dianut, jenis kelamin yang disandang, dan ras maupun etnisnya (tidak diskriminatif). Dengan kata lain, ” al-Futuwwah adalah pengabdian tanpa syarat”.

Pengertian ini didukung sebuah kisah sebagaimana dituturkan ulama, “Suatu hari seorang Majusi (baca: non-muslim) meminta makanan kepada Nabiyullah Ibrahim as. Nabi Ibrahim as menyanggupinya sebagaimana Ia mengatakan, “Saya mau kasih makan untuk mu dengan syarat masuk Islam.

Mendengar syarat itu, si Majusi pun enggan dan Pergi seraya menahan lapar. Ketika itulah Allah berfirman kepada Nabi Ibrahim, “Wahai Ibrahim, sejak 50 tahun saya memberi makan orang Majusi itu di atas kekufurannya, dan saya tidak pernah minta syarat padanya! Lalu mengapa engkau tidak kasih saja makan si Majusi itu tanpa harus menyuruhnya untuk merubah agamanya yang sudah di anut?

Mendapat teguran Allah ini, kemudian Nabi Ibrahim segera mengejar Majusi yang sempat berlalu meninggalkannya dan Nabi Ibrahim pun meminta maaf padanya. Konon, dengan permintaan maaf Nabiyullah Ibrahim ini, si Majusi justru masuk Islam tanpa syarat. (al-Qusyariyyah, hlm 276)

Apa yang bisa kita petik dari kisah ini? Antara lain untuk memenuhi kebutuhan duniawi orang lain tidak boleh bersikap diskriminatif (membeda-bedakan) atas nama apapun bahkan atas nama Agama. Hal ini sangat penting, khususnya bagi para pejabat dan publik figur (rumah sakit, admin duk, pelayanan publik) dan bagi siapa pun yang berkuasa agar tidak membeda-bedakan dalam menjalankan tugas pelayanan dan tugas konstitusionalnya.

Wallahu A’lam


[1] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Usul Fikih (al-Haramain, 2004).

[2] Fikih seringkali didefinisikan sebagai pengetahuan tentang hukum syariat yang bersifat praktis dan digali dari dalil yang terperinci. Dengan demikian, objek ilmu ini yaitu perbuatan mukallaf dari segi status hukumnya. (Zakariya al-Anshari, Ghawatu al-Usul)

[3] Khallaf, Ilmu Usul Fikih.

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest