Kata Siapa Maksiat Membatalkan Puasa?

Kata Siapa Maksiat Membatalkan Puasa?

Bulan puasa merupakan bulan yang penuh rahmat dan ampunan. Di bulan inilah, manusia menyucikan raga dan noktah dosa. Di bulan ini pula, manusia bisa menaiki  tangga menuju taqwa. Hanya saja, manusia seringkali gagal untuk merengkuh bulan istimewa ini. Bahkan tidak jarang jalannya puasa bersanding dengan maksiat yang dilakukan. Lantas apakah maksiat yang dilakukan bisa membatalkan puasa?

Puasa merupakan kewajiban yang mandiri dan memiliki ketentuan tensendiri. Jika ketentuan-ketentuan itu telah terlaksana maka puasanya dianggap sah. Para ulama tidak menetapkan maksiat sebagai hal yang membatalkan puasa. Oleh karena itu, puasanya tetap sah meski melakukan maksiat. Karena puasa dan maksiat merupakan dua hal yang berbeda.

Kalangan Syafi’iyah menganggap menjauhi perbuatan maksiat hukumnya sunnah muakkadah sebagaimana dikatakan oleh syeh Zainuddin al-Malibari dalam kitab Fathu Al-Muin [274]:

وَمِمَّا يَتَأَكَّدُ لِلصَّائِمِ: كَفُّ اللِّسَانِ عَنْ كُلِّ مُحَرَّمٍ كَكِذْبٍ وَغِيْبَةٍ

“termasuk hal yang sunnah muakkad bagi orang yang berpuasa adalah menjaga lisan dari segala hal yang diharamkan semisal berbohong dan ghosip”

Perlu diketahui bahwa kesunnahan untuk tidak melakukan maksiat ini hanya dari aspek puasa. Sementara dari sisi yang lain tetap wajib meninggalkan perbuatan maksiat. Syekh Abu Bakar Syatha menjelaskan, seseorang yang sedang berpuasa dan tidak melakukan maksiat maka mendapatkan dua pahala, yaitu pahala wajib dari segi kewajiaban tidak melakukan perbuatan yang diharamkan dan pahal sunnah dari segi puasa.

Dengan demikian orang yang berpuasa dan melakukan maksiat, puasanya tetap dinilai sah, dalam artian, tanggungan asal puasanya sudah bebas. Akan tetapi, pahala dari puasanya tersebut terhapus lantaran melakukan maksiat.

وَحَصَلَ بِمُخَالَفَتِهِ أَمْرَ النَّدْبِ بِتَنْزِيْهِ الصَّوْمِ عَنْ ذَلِكَ إِحْبَاطُ ثَوَابِ الصَّوْمِ زِيَادَةً عَلَى ذَلَكَ اَلْإِثْمِ.               

“pahala puasa seseorang terhapus sebab menyalahi perkara yang disunnahkan untuk ditinggalkan (maksiat) saat berpuasa sebagai tambahan atas dosa melakukan maksiatnya”

Hal ini berlandasan dengan hadis Nabi.

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, mengamalkannya, atau tindakan sia-sia maka Allah tidak butuh atas usahanya dalam menahan rasa lapar dan dahaga” [HR. Bukhori]

Nabi Muhammad juga bersabda;

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوعُ وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلاَّ السَّهَرُ

“betapa banyak orang yang berpuasa hanya mendapatkan rasa lapar, dan betapa banyak orang melakukan ibadah di malam hari namun hanya mendapatkan sekedar begadangnya” [HR. Ibnu Majah]

Mengomentari hadis di atas, Syekh Abu Bakar Syatha menandaskan bahwa yang dimaksud adalah kesemprunaan puasa bisa diperoleh dengan cara menjahui perbuatan yang sia-sia dan perkataan yang diharamkan bukan membatalkan puasanya.

Sedangkan sebagian ulama yang lain, termasuk imam al-‘Auza’i dan Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa yang batal adalah puasanya karena disamakan dengan melakukan sholat di tempat yang dighasab.

freepik

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest