Bukan Hanya Manusia; Allah Juga Punya Hak

Bukan Hanya Manusia; Allah Juga Punya Hak

Oleh: Lilis Durotun Nafisah

(Mahasantri Ma’had Aly Marhalah Ula)

Setiap manusia punya hak dan kewajiban

Begitu kira-kira bunyi kalimat yang diulang-ulang dalam mata pelajaran PPKn dulu, saat masih duduk di bangku SD. Secara sederhana, hak dan kewajiban tersebut diklasifikasikan menjadi hak di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Contoh hak seorang murid di sekolah adalah mendapatkan pendidikan dan pembelajaran yang layak. Sementara kewajibannya adalah belajar dengan serius serta bersikap patuh dan hormat kepada guru.

Saat masuk pondok pesantren, pembahasan tersebut tidak lagi sesederhana itu. Ternyata, bukan hanya sesama manusia yang mempunyai hak, melainkan Allah juga. Ketika membaca kitab-kitab klasik, tentu kita sering bertemu dengan istilah haqqullah dan haqq al- adami. Biasanya istilah ini terdapat dalam pembahasan qisas, jinayat, atau semacamnya. Secara harfiah, haqqullah berarti hak Allah, sesuatu yang harus Ia terima dari makhluk-Nya. Sedangkan haqq al-adami adalah hak sesama manusia.

Dalam KBBI sendiri, hak diartikan dengan kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu. Sedangkan kewajiban berarti (sesuatu) yang diwajibkan; sesuatu yang harus dilaksanakan; keharusan. Dalam praktiknya, hak selalu berbanding lurus dengan kewajiban. Kita tidak bisa hanya menuntut hak tanpa melakukan kewajiban.

Sebenarnya tidak ada masalah kalau hanya berhenti di teori itu, yang membingungkan adalah ketika mulai masuk ke contoh. Haqqullah oleh para ulama dicontohkan dengan had perbuatan zina, mencuri, dan minum khamr. Jika dipikir sepintas, had zina lebih cocok disebut haqq al-adami. Begitu pun dengan had mencuri. Keduanya sama-sama berkaitan dengan manusia. Sementara contoh yang cocok dikatakan sebagai hak Allah, ya ibadah. Allah berhak untuk disembah karena Dia memang Maha Segalanya. Namun, tidak demikian kenyataannya. Had zina dan mencuri  tetap termasuk hak Allah. Tapi, kenapa?

Ketika membaca kitab ‘Ilm Ushul al-Fiqh al-Islami karya Abdul Wahhab Khallaf. Mushannif kitab tersebut menyatakan, sebagaimana kita tahu, tujuan pensyariatan hukum-hukum Islam tidak lain adalah untuk mewujudkan kemaslahatan-kemaslahatan manusia. Teori  lanjutan dari hal itu, maslahat yang menjadi tujuan pensyariatan hukum terkadang berupa maslahat secara umum (komunal), secara khusus (personal) atau dua-duanya sekaligus.

Hak masyarakat yang hukumnya disyariatkan untuk kemaslahatan umum dan bukan untuk kepentingan individu tertentu itulah yang dimaksud dengan haqqullah. Alasan dinamakan haqqullah, karena ia termasuk aturan umum dan tidak ada tujuan kemaslahatan individu secara khusus di dalamnya. Oleh karena itu, dihubungkanlah hak tersebut kepada Tuhan manusia seluruhnya; Allah. Sedangkan hak individu yang hukumnya disyariatkan khusus untuk kepentingan dia disebut hak mukallaf.

Tidak hanya dua, dalam kitab tersebut dijelaskan setidaknya empat macam hak. Hak murni Allah, hak murni adami, hak yang beririsan antara Allah dan adami namun hak Allah lebih dominan, serta sebaliknya, hak yang beririsan antara Allah dan adami namun hak adami lebih dominan. Keempat kategori itu dikelompokkan berdasarkan tujuan disyariatkannya. Apakah untuk mewujudkan kemaslahatan komunal atau personal.

Jika perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan hukum syariat bertujuan untuk kemaslahatan masyarakat secara umum, ia dikategorikan sebagai hak murni untuk Allah dan pelaksanaannya diserahkan kepada waliy al-amr (penguasa/pemerintah). Dalam hal ini, mukallaf tidak mempunyai pilihan sama sekali dan tidak berhak untuk menggugurkannya. Tentu saja, karena ia tidak berhak menggugurkan sesuatu yang bukan haknya.

Berdasarkan istiqra’, hak murni bagi Allah ini terbatas pada beberapa hal saja. Di antaranya, ibadah mahdlah semisal salat, puasa, zakat dan haji, serta dasar dari semua ibadah itu yakni iman dan islam. Dikategorikan hak murni Allah, karena semua bentuk ibadah dan dasar-dasarnya bertujuan untuk menegakkan agama (iqamah al-din) dan hal tersebut merupakan kebutuhan primer untuk mewujudkan ketertiban masyarakat.

Yang termasuk hak murni Allah lainnya adalah ibadah-ibadah yang mengandung makna ma’unah (pertolongan/kesejahteraan), seperti zakat fitrah; pungutan-pungutan yang ditetapkan atas tanah pertanian; pungutan-pungutan yang ditetapkan atas harta ghanimah; macam-macam sanksi yang sempurna (yakni had zina, mencuri, bughat); sanksi yang terbatas, yaitu dihalanginya orang yang membunuh dari bagian waris (ini termasuk hak Allah karena korban yang dibunuh tidak mendapat keuntungan apapun); dan sanksi-sanksi yang di dalamnya terdapat makna ibadah, semisal kafarat melanggar sumpah dan kafarat menyengaja berbuka di bulan Ramadlan.

Sedangkan hak murni mukallaf/adami adalah perbuatan yang hukum disyariatkannya bertujuan untuk  kemaslahatan seorang mukallaf secara khusus. Dengan begitu,  ia diberi  pilihan dalam pelaksanaan hak tersebut. Salah satu contohnya adalah menagih hutang. Penagihan hutang adalah murni hak si pemberi hutang. Ia bebas memilih antara mengambil ataupun menggugurkan piutangnya. Begitu juga dalam kasus ganti rugi kerusakan barang dan penahanan barang gadai. Dua-duanya murni hak adami dan bukan termasuk kemaslahatan umum.

Masih ada dua macam hak lagi, yakni hak yang beririsan antara Allah dan adami. Dalam konteks ini, adakalanya hak Allah yang dimenangkan, adakalanya hak adami.

Jika kemaslahatan komunal lebih besar, hak Allah yang dianggap lebih dominan dan hukumnya disamakan dengan hak murni bagi Allah. Contohnya seperti had menuduh zina (qadzaf). Dari aspek ia sebagai bentuk penjagaan terhadap harga diri manusia dan larangan berbuat aniaya, had qadzaf dapat  merealisasikan kemaslahatan umum sehingga termasuk hak Allah. Di sisi lain, had qadzaf juga bertujuan merealisasikan kemaslahatan personal, karena had tersebut menyangkal aib pada perempuan muhshanah yang dituduh berzina dan menampakkan kehormatannya, sehingga pantas disebut hak adami. Namun, dalam konteks ini aspek pertama lebih jelas. Hak Allah yang dimenangkan. Karena itulah, perempuan yang dituduh berzina tidak berhak menggugurkan sanksi qadzaf. Ia juga tidak berhak untuk mengeksekusi si pelaku secara independen. Pelaksanaannya tetap harus oleh pihak yang berwenang. Hal itu tak lain karena dalam kasus tersebut, hak Allah yang lebih dominan.

Sementara jika kemaslahatan personal lebih besar, hak mukallaf yang dianggap lebih dominan dan hukumnya disamakan dengan hak murni mukallaf. Contohnya seperti hukuman qisas bagi pelaku pembunuhan yang disengaja. Ditinjau dari aspek di dalamnya terkandung kehidupan manusia dengan memelihara jiwa mereka, qisas dapat merealisasikan kemaslahatan umum. Sedangkan dari segi ia sedikit mengobati luka keluarga korban dan memadamkan kobaran api kebencian mereka terhadap si pelaku, qisas bisa mewujudkan kemaslahatan khusus. Di sini, aspek kedua dinilai lebih dominan sehingga hak mukallaf yang dimenangkan. Dengan demikian, keluarga korban berhak menggugurkan qisas atau tetap melaksanakannya.

Dari penjelasan panjang lebar tersebut, had zina termasuk hak Allah karena tujuan disyariatkannya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan komunal, yakni rasa aman di tengah-tengah masyarakat dari perbuatan asusila yang banyak merugikan itu. Dengan terpenuhinya hak Allah ini, diharapkan kemaslahatan masyarakat secara umum bisa terealisasi.

Wallahu a’lam.

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest