Catatan Ngaji Bersama Kiai Afifuddin (6)

Catatan Ngaji Bersama Kiai Afifuddin (6)

SYARATNYA sederhana: di dalam musytaq mesti ada makna musytaq minhu. Saat Anda menyebut Budi sebagai anak nakal, maka itu berarti Anda mengakui ada sifat nakal dalam diri Budi. Tapi, apakah Budi masih disebut anak nakal ketika dirinya sedang tidur siang? Seperti kita tahu, orang yang sedang tidur kehilangan kesadarannya, apalagi kenakalannya.

Menjawab ini, Imam al-Subki dalam Jam’ul Jawami’ mengajak pembaca agar memahami kapan isim fa’il -atau setiap kata musytaq lainnya- bermakna hakikat atau majas ketika digunakan. Terang Imam al-Subki,

وَ مِنْ ثَمَّ كَانَ اسْمُ الفَاعِلِ حَقِيْقَةً فِى الْحَالِ أَيْ حَالِ التَّلَبُسِ لَا حَالِ النُّطْقِ خِلَافًا لِلْقَرَافِيِّ

“Dari sana (syarat sederhana di atas), isim fa’il (musytaq) adalah hakikat ketika Hal, maksudnya ketika perbuatan (musytaq minhu) tengah berlangsung/dilakukan subyek (hal al-talabbus), bukan ketika atribusi (musytaq) diucapkan pembicara (hal al-nuthq), berbeda dengan pendapat Imam al-Qarafi.”

Hal ini berarti, menurut al-Subki, seseorang yang mencuri mendapat atribusi sebagai pencuri, secara hakikat, ketika dia sedang melakukan pencurian (hal al-talabbus bi al-fi’li). Setelah ketahuan, dan publik mulai mencelanya dengan sebutan si pencuri, sejatinya atribusi pencuri yang dia terima adalah berlaku majas. Bukan hakikat. Atribusi penjahat tetap berlaku padahal kejahatan telah berlalu, sehingga di dalam musytaq tiada makna musytaq minhu. Singkatnya, syarat sederhana Isytiqaq tidak terpenuhi.

Berdasarkan penjelasan ini, dapat diketahui jawaban dari pertanyaan pada akhir Catatan Ngaji (5) sebelumnya, yaitu: Sekalipun korupsi telah dilakukan satu tahun yang lalu, atribusi koruptor tetap melekat pada mereka yang memakan uang rakyat, baik atribusi koruptor itu berlaku secara hakikat (saat korupsi dilakukan) atau majas (pasca korupsi terjadi). Karena itu, proses hukum dapat terus dilakukan hingga selesai.

Berbeda dengan kaidah yang diyakini jumhur ulama di atas, Imam al-Qarafi punya pendapat lain. Tentang hakikat-majas dari musytaq minhu ini, menurut al-Qarafi, hanya ketika musytaq diucapkan (hal al-nuthqi) berbarengan dengan musytaq minhu dilakukan (al-talabbus bi al-fi’li), barulah isim fa’il bermakna hakikat. Anda sedang mencuri, lalu saya teriaki Anda sebagai pencuri, maka itulah bentuk pennggunaan atribusi pencuri secara hakikat. Kata Imam al-Qarafi,

أَنْ يَكُوْنَ التَّلَبُّسُ بِالْمَعْنَي حَالَ النُّطْقِ بِهِ

“(Isim Fa’il adalah hakikat ketika Hal) yaitu saat perbuatan (musytaq minhu) dikerjakan bersamaan ketika (musytaq) disebutkan.”

Pendapat Imam al-Qarafi tentang ini, sebagaimana diakui beliau sendiri, sepintas akan menjumpai masalah apabila diterapkan dalam menafsirkan al-Quran. Contohnya, ketika kita menafsirkan ayat tentang hukum potong tangan bagi pencuri dalam al-Maidah ayat 38. Jika mempraktikkan kaidah Isytiqaq dari Imam al-Qarafi di atas, maka para pencuri yang al-Quran maksud secara hakikat adalah orang yang mencuri ketika ayat 38 al-Maidah turun.

Lebih jelasnya, andaikanlah ayat 38 al-Maidah turun di hari Senin pada zaman itu, maka para pencuri yang hakikatnya al-Quran maksud adalah mereka yang melakukan pencurian di hari itu saja. Pencuri di hari Selasa, Rabu dan Kamis tidak akan terkena hukum potong tangan. Kalau betul demikian, maka pendapat Imam al-Qarafi ini telah menyalahi Ijmak: bahwa pencuri yang dimaksud dalam al-Quran ini meliputi mereka yang mencuri pasca ayat tersebut turun.

Menjawab ini, Imam al-Qarafi meluruskan bahwa kaidah Isytiqaq darinya ini berlaku hanya jika atribusi itu (musytaq minhu), kata pencuri misalnya, berposisi sebagai predikat dalam kalimat, misalnya, “Mulyono itu pencuri”. Jika kalimat ini dikatakan pasca Muloyono mencuri, maka atribusi pencuri adalah secara majas saja, bukan hakikat. Berbeda apabila atribusi berkedudukan sebagai subjek, seperti dalam ayat 38 al-Maidah, “Pencuri itu dihukum potong tangan”. Jika demikian, maka atribusi sebagai pencuri berlaku hakikat, baik pencurian dilakukan sebelum, ketika, atau setelah atribusi pencuri disebutkan. Mahall al-Khilaf antara Imam al-Qarafi dan Jumhur adalah ketika musytaq berposisi sebagai subyek (mahkum bih), bukan sebagai predikat (mahkum ‘alaih).

Perincian dari Imam al-Qarafi di atas tidak dilakukan oleh Imam al-Subki. Sebab, bagi Imam al-Subki, seperti telah diungkap di muka, atribusi (musytaq) bermakna hakikat hanya ketika musytaq minhu dilakukan (hal al-talabbus), baik itu bersamaan, sebelum atau sesudah  penyebutan atribusi (hal al-nutqh).Dan itu berlaku umum, baik ketika musytaq minhu berposisi sebagai subyek, predikat atau bahkan obyek. Mengutip catatan Hasyiyah Imam al-Bannani atas maksud Imam al-Subki,

فَقَوْلُهُ تَعَالى وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْا أَيْدِيَهُمَا مَعْنَاهُ كَمَا مَرَّ تَعَلُّقُ القَطْعِ بِكُلِ مَنْ اتَّصَفَ بِالسَّرِقَةِ حَالَ تَلَبُّسِهِ بِهَا، فَيَشْمَلُ مَنْ كَانَ مُتَّصِفاً بِذَلِكَ وَقْتَ نُزُوْلِ الْآيَةِ، وَمَنْ كَانَ مُتَّصِفاً بِذَلِكَ قَبْلَهَا، وَمَنْ سَيَتَّصِفُ بِذَلِكَ بَعْدَ نُزُوْلِهَا بِاعْتِبَارِ حَالَةِ اتِّصَافِهِ بِذَلِكَ، وَقِيَامِ مَعْنَاهُ بِهِ لِأَنَّ الْإِطْلَاقَ مَنْظُوْرٌ فِيْهِ لِحَالِ التَّلَبُّسِ لَا لِلزَّمَانَ

“Sehingga, firman Allah swt., ‘Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya’ maknanya adalah: keterkaitan hukum potong tangan bagi setiap orang yang mencuri, meliputi mereka yang mencuri ketika ayat ini turun, atau mereka yang mencuri sebelumnya, atau mereka yang mencuri setelah ayat ini turun dengan menimbang masa depan di mana mereka melakukan pencurian. Pemaknaan ini lantaran ketetapan dalam atribusi (musytaq) bergantung pada ke-terlakukan-nya musytaq minhu (hal al-talabbus) bukan pada zaman atribusi dikatakan. (zaman al-nuthq)” (Catatan ini bukan tempatnya membahas kenapa hukum potong tangan tidak diberlakukan di Indonesia)

Alhasil, jawaban bagi pertanyaan di paragraf pertama adalah: Saat Anda menyebut Budi sebagai anak nakal padahal dia sedang tidur siang, maka atribusi anak nakal adalah majas belaka. Budi adalah anak nakal secara hakiki hanya saat dirinya tengah mencurangi pemilihan wakil ketua organisasi di sekolah, misalnya.

*Tema Pengajian Jam’ul Jawami’ di pagi hari Kamis, 30 Mei 2024. Ditashih oleh Ust. Ahsanul Arifin, M.Ag.

Unduh Catatan Ngaji Usul Fikih beresolusi tinggi di: 1. JIM JIM – Google Drive

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest