Drs. KH. Nadhir Muhammad, MA.; Konseptor Ma’had Aly Situbondo [1]

Drs. KH. Nadhir Muhammad, MA.; Konseptor Ma’had Aly Situbondo [1]


  • Tentang Gus Yus

Sosok kiai kharismatik yang memegang teguh prinsip-prinsip agama serta sangat responsif terhadap zaman, beliau dikenal dengan sebutan Gus Nadhir. Dua bersaudara (Gus Nadhir dan Gus Yus) mempunyai hubungan erat dengan KHR. As’ad Syamsul Arifin (Pendiri Lembaga Ma’had Aly sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo). Karena memang jika melihat peta sejarah, KH. Muhammad bin Hasyim (Ayahanda Gus Nadhir) merupakan sahabat karib Kiai As’ad -sapaan akrab KHR. As’ad Syamsul Arifin- pada waktu masih mondok di Pesantren asuhan Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan. Bukan hanya itu, bukti kedekatan beliau dengan Kiai As’ad, kakak dari Gus Yus ini juga mempunyai buku catatan yang berisi tentang amalan-amalan yang telah diijazah oleh Kiai As’ad. Begitu tutur salah satu putra beliau, Gus Ahmad Gholban bi ‘Aunir Rahman, LC., M.H.I.

Gus Nadhir yang kelak menjadi  penerus pamandanya, KH. Ahmad Shiddiq (Penggagas Khittah NU pada Muktamar NU ke 27 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo) ini, lahir pada hari Rabu, tanggal 9 Februari 1949 dalam keluarga yang sederha dan penuh kasih sayang, keluarga yang begitu kental dengan nuansa keagamaan. Namun, saat beliau berumur tiga tahun, masa di mana membutuhkan belaian hangat dari seorang figur yang teladan,  Gus Nadhir kecil telah ditinggal wafat oleh ayahandanya. Sedangkan adiknya, Gus Yus, berumur tiga bulan.

  • Rihlah Ilmiah Sang Ahli Politik Kebangsaan 

Pendidikan agamanya diajarkan langsung oleh sang bunda, Ny. Hj. Zainab Shiddiq Al-Madrasatu al-Ula, madarsah pertama bagi sang anak. Tidak hanya sang ibunda, pamandanya pun juga ikut andil dalam membentuk karakter Gus Nadhir dan Gus Yusuf kecil. Sebut saja KH. Ahmad Shiddiq, KH. Mahfudh Shiddiq dan KH. Ahmad Qusyairi. Suami dari Ny. Hj. Ghoziratun Ni’mah ini, memulai pendidikannya  di SD Jember Kidul I yang sekarang berganti nama SD Kepatihan 1 di Jl. Dr. Sutomo No. 14. Kemudian Gus Nadhir melanjutkan pendidikannya di SMPN I Jember dan Sekolah Persiapan Guru Agama (PGA), yang sekarang dikenal dengan SMAN I Jember.

Silih bergantinya cobaan merupakan bumbu-bumbu penyempurna keimanan. Pernah suatu ketika, karena kondisi ekonomi keluarga yang begitu sulit, Gus Nadhir berangkat sekolah SD pada siang hari lantaran pagi harinya; seragam yang ia kenakan masih dipakai oleh sang adik. Bukan hanya itu, konon, beliau disuruh sang ibunda untuk mengambil sekaligus mengantarkan dagangan ke daerah yang cukup jauh. Begitulah kegiatan rutinitas setiap harinya, belajar berbagai ilmu dan pada saat yang sama mereka (putra-putri) Ny. Hj. Zainab dan KH. Muhammad, membantu ekonomi keluarga. Namun kondisi sulit itu tidak menyurutkan semangat dalam mengarungi samudera ilmu. Justru menjadi motivasi bagi beliau untuk selalu semangat mencari ilmu, dalam rangka izzul islam sekaligus membuat bangga kedua orang tuanya yang sangat beliau sayangi, KH. Muhammad bin Hasiym dan Ny. Hj. Zainab Shiddiq.

Setelah menyelesaikan Sekolah Menengah Atas (dulu PGA), beliau melanjutkan kuliah di IAIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta Fakultas Ushuluddin Jurusan Akidah Filsafat. Di saat yang sama, beliau nyantri di Pondok Pesantren Krapyak asuhan KH. Aly Maksum dan beberapa ulama yang lain. Di bangku kuliah inilah, beliau banyak mendapatkan pengalaman yang menarik tentang makna kehidupan. Diantaranya, waktu semester tiga, Gus Nadhir hampir putus kuliah lantaran biaya yang tidak mencukupi ditambah tanggungan SPP yang tak mampu dibayar. Hal itu, membuat hati beliau menangis pilu karena ada seorang pengurus yang menagihnya dengan nada yang tidak bersahabat. Untung, ada seorang teman akrab Gus Nadhir dari Madura memberanikan diri untuk melapor kepada Kiai Ali Maksum tentang kondisi Gus Nadhir. Tidak tega melihat kondisi santrinya yang seperti itu, beliau berdawuh, “Nadhir itu tanggunganku”. Sungguh seorang murabbi yang menyejukkan hati. 

Dari perjalanan intelektualnya di dalam negeri, akhirnya beliau ditakdirkan untuk melanjutkan kuliah magisternya di Universitas Khartoum. Khartoum sendiri merupakan ibu kota Sudan, sekaligus ibu kota negara bagian Khartoum. Di Universitas inilah beliau memperoleh gelar MA-nya dengan judul tesis:

دراسة تقابليّة بين اللّغات العربيّة و الاندونسيّة و الفرنسيّة على المستوى الصّوتي

Dari sekian pengalaman dan pengembaraan ilmiah itulah, kemudian beliau kembali ke tanah air untuk menyebarkan ilmu yang beliau peroleh.

  • Mediator Pendirian Ma’had Aly

            Pada waktu persiapan pendirian lembaga Ma’had Aly, Gus Nadhir dan juga adiknya Gus Yus termasuk tim formatur pertama yang diminta tolong oleh KHR. As’ad Syamsul Arifin untuk merancang kurikulum Ma’had Aly. Ketika itu, tim tersebut beranggotakan beberapa orang, diantaranya adalah KH. Moh. Hasan Basri (ketua tim), KH. Afifuddin Muhajir, KH. Yusuf Muhammad dan KH. Nadhir Muhammad, KH. Hasan Abdul Wafi dan KH. Wahid Zaini. Dari rapat tim tersebut, kemudian terlahir rancangan kurikulum Ma’had Aly sementara. Lalu rancangan kurikulum tersebut masih dirasa kurang sempurna sebelum mendapat persetujuan dari Ulama Nusantara, seperti KH. Ali Maksum, KH. Mahrus Ali dan KH. Sahal Mahfudz.

Akhirnya Gus Yus diberi tugas untuk mengawal dan mengantarkan kurikulum tersebut kepada Ulama-ulama terkemuka Nusantara. Setelah menyemai persetujuan dari beberapa Ulama Nusantara, kurikulum tersebut masih dipandang perlu untuk di-tahqiq kepada Ulama-ulama al-Haromain, diantaranya adalah Syekh Yasin bin Isa al-Fadani, Syekh Isma’il al-Yamani dan Syekh al-Sayyid Dr. Muhammad bin Alawi bin Abbas al-Maliki. Lagi-lagi, yang mendapatkan kehormatan untuk mengawal dan menyampaikan hasil keputusan kurikulum Ma’had Ali ini adalah KH. Yusuf Muhammad dan di dampingi oleh kakaknya, KH. Nadhir Muhammad.

Hingga akhirnya, pada tahun 1990 M Lembaga Ma’had Aly (Lembaga Kader Ahli Fiqh) resmi berdiri dengan “mengantongi” sejuta do’a dari para Ulama dunia dan deraian air mata syukur dari para pendirinya. Pesan terakhirnya kepada putra-putranya, bahwa “Kullun min ‘indillah” kita semua adalah milik Allah SWT. Semuanya adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya pula. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada sabtu pagi 15 Muharram 1435 H atau bertepatan dengan 28 November 2014.

[1] Wawancara dengan Gus Ahmad Gholban Biaunir Rahman, LC., M.H.I. (Salah satu putra Gus Nadhir).

Sumber Tulisan: Majalah Tanwirul Afkar

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest