<strong>Hukum Istikharah Menggunakan Alquran dan Tasbih</strong>

Hukum Istikharah Menggunakan Alquran dan Tasbih

Beberapa hari yang lalu, salah seorang alumni pesantren (alumni Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo) bertanya soal legalitas istikharah, lebih spesifiknya istikharah yang menggunakan Alquran dan tasbih. Pasalnya, ia pernah mendengar ceramahnya dai kondang dari Jakarta yang menegaskan bahwa satu-satunya praktik istikharah di kalangan Ahlusunnah Waljamaah adalah istikharah dengan salat, selain itu tidak ada.

Di sisi lain, alumni itu pernah mendengar dari guru-gurunya waktu di pesantren bahwa ada ragam istikharah selain salat, yaitu istikharah dengan Alquran dan tasbih. Ia pun mulai gusar dan bisa dibilang ragu, apakah benar istikharah dengan Alquran dan tasbih itu boleh dan ada nasnya? jika boleh, lantas bagaimana tata caranya?

Karena sifatnya pertanyaan maka kami tidak akan bertele-tele menjelaskan pengertian dan hikmah istikharah. Kami hanya fokus pada hukum istikharah yang ditanyakan di atas berikut tata caranya. Secara umum, para ulama sesungguhnya sepakat akan kebolehan (kesunahan) istikharah – terlepas dari ulama yang lebih memilih mengklasifikasi hukum istikharah ditinjau dari tujuannya. Hal ini karena berlandasan kepada hadis Nabi Muhammad saw. sebagaimana diriwayatkan dari sahabat Jabir bin Abdillah ra.

«صحيح البخاري» (9/ 118 ط السلطانية):

7390 ‌عَبْدَ اللهِ بْنَ الْحَسَنِ يَقُولُ: أَخْبَرَنِي ‌جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ السَّلَمِيُّ قَالَ: «كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُ أَصْحَابَهُ ‌الِاسْتِخَارَةَ ‌فِي ‌الْأُمُورِ ‌كُلِّهَا، كَمَا يُعَلِّمُ السُّورَةَ مِنَ الْقُرْآنِ، يَقُولُ: إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالْأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ، ثُمَّ لِيَقُلِ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ، اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ هَذَا الْأَمْرَ ثُمَّ تُسَمِّيهِ بِعَيْنِهِ خَيْرًا لِي فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ قَالَ: أَوْ فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي، ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ، اللَّهُمَّ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّهُ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ: فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاصْرِفْنِي عَنْهُ، وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ رَضِّنِي بِهِ.»

“…Abdullah bin Hasan berkata, “Jabir bin Abdillah al-Salami berkata, Rasulullah mengajarkan para sahabatnya istikharah dalam setiap urusan sebagaimana Rasulullah mengajarkan surah Alquran. Beliau bersabda, “jika salah seorang kalian bingung dengan suatu urusan maka rukuklah dua rakaat (salat) yang bukan wajib. Kemudian berdoa, “Ya Allah sesungguhnya aku meminta pilihan-Mu dengan pengetahuan-Mu dan aku meminta putusan-Mu dan memohon karunia-Mu. Karena Engkau yang menentukan takdir sementara aku tak mampu. Engkau yang mengetahui sementara aku tidak tahu. Engkau yang mengetahui hal gaib. Ya Allah jika Engkau mengetahui perkara ini adalah yang terbaik untukku dunia akhirat atau Nabi berkata, “dalam agama dan hidupku dan konsekuensi perkaraku maka takdirkanlah itu untukku serta mudahkanlah. Ya Allah jika Engkau mengetahui bahwa hal itu buruk untuk agama dan kehidupanku maka jauhkanlah dariku dan takdirkanlah untukku yang lebih baik jika sekiranya Engkau rela”

Dari hadis ini, bisa kita pahami, pertama, istikharah yang diajarkan oleh Nabi hanya satu yaitu istikharah dengan salat. Kedua, istikharah dilakukan pada setiap urusan. Sebab, pada redaksi hadis itu ditegaskan, “Fil Umuri Kulliha”. Menurut kajian kebahasaan dalam ushul fiqh, lafal tersebut dikategorikan lafal yang umum sehingga patut digeneralisasi ke seluruh refren yang dicakup senyampang tidak ada dalil yang menspesifikasinya.

Faktanya, praktik istikharah mulai berkembang di tengah masyarakat setidaknya ada tiga variasi. Pertama, istikharah salat, dan tidak ada persoalan dengan praktik istikharah ini sebab sudah diteladankan langsung oleh Nabi. Kedua, istikharah menggunakan Alquran. Ketiga, istikharah menggunakan tasbih. Dua praktik ini (istikharah dengan Alquran dan tasbih) bisa dibilang hal baru sebab tidak diajarkan oleh Nabi secara langsung. Tak mengherankan jika sebagian “saudara kita” ada yang mengharamkan praktik istikharah tersebut. Akan tetapi, jika kita kaji dan telusuri kembali nyatanya ada ulama yang masih melegalkan praktik istikharah menggunakan Alquran.

Istikharah Menggunakan Alquran

Adalah Imam Husain bin Yahya al-Zandawisti (w. 400) dari kalangan Imam Hanafi yang membolehkan istikharah menggunakan Alquran — salah satu karangannya adalah kitab Rawḍat al-‘ulamā’ wa-nuzhat al-fuḍalā’, dalam kitab itu menjelaskan tentang fatwa, kaidah fikih dan tasawuf sesuai mazhab Imam Abu Hanifah yang juga dipadukan degan pemikiran Imam Syafi’i. Dalam kitab itu juga, diuraikan dalil-dalil secara panjang lebar dari Alquran, sunah, logika dan pendapat pakar, (Mausu’ah Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 39/438).

Husain bin Yahya al-Zandawisti menegaskan bahwa istikharah menggunakan Alquran tidak mengapa. Bahkan menurut Alusi, sebagaimana mengutip dari pendapatnya al-Zandawisti, kedua sahabat Nabi yaitu Aly bin Abi Thalib dan Mu’ad bin Jabal pernah melakukan istikharah menggunakan Alquran. Alusi mengatakan, “Menyusulkan suatu statemen – dengan diperbolehkannya istikharah menggunakan Alquran – bahwa tidak ada praktik tentang istikharah menggunakan Alquran yang ditransmisikan dari para ulama salaf. Imam Malik justru tidak menyukainya. Adapun statemen yang beredar di kalangan sufi karena mengutip dari Al-Zandawisti, bahwa tidak ada yang salah dengan itu. Dan Sayyidina Aly dan Mu’ad bin Jabal mempraktikkannya”. (Tafsir Ruhul Ma’ani, 3/232).

Selaras dengan di atas, Syekh Ismail al-Haqqi – Ulama tarekat al-Khalwatiyah – dalam kitab tafsirnya menyatakan bahwa mencari tahu hal-hal gaib (istikharah) menggunakan metode yang tidak disyariatkan adalah dilarang. Akan tetapi, Istikharah menggunakan Alquran termasuk yang dibolehkan. Beliau mengajukan argumentasi antara lain karena istikharah menggunakan Alquran termasuk yang disyariatkan. selain itu, istikharah menggunakan Alquran tidak sama dengan Azlam (tradisi yang ada di zaman Jahiliah) yang diharamkan.

«روح البيان» (2/ 342):

«واعلم ان استعلام الغيب بالطريق الغير المشروع كاستعلام الخير والشر من الكهنة والمنجمين منهى عنه بخلاف استعلام الغيب بالاستخارة بالقرآن وبصلاة ‌الاستخارة ودعائها وبالنظر والرياضة لانه استعلام بالطريق المشروع وان طلب ما قسم له من الخير ليس منهيا عنه مطلقا بل المنهي عنه هو الاستقسام بالأزلام»

Praktik istikharah menggunakan Alquran

Adapun praktik istikharah menggunakan Alquran ada dua, sebagaimana dinukil dari KH. Zainul Muin Husni. Pertama, dengan cara membukan Alquran secara acak. Setelah itu, membuka tujuh lembar berikutnya dan menghitung tujuh baris ke bawah. Setelah sampai pada ayat ke tujuh maka ayatnya diinterpretasi dan dikait-kaitkan dengan persoalan yang sedang diistikharahkan. Kedua, dengan cara membandingkan antara huruf kha (خ) yang merupakan simbol dari kebaikan atau khairun dan huruf syin (ش) yang merupakan simbol dari keburukan atau syarrun. Kemudian huruf-huruf yang dihitung jika lebih banyak kha-nya maka pertanda baik. Sebaliknya, jika lebih banyak syin-nya berarti buruk.

Sementara tata cara istikharah menggunakan Alquran yang diriwayatkan dari Sayyidina Aly yaitu membaca surah al-Ikhlas sebanyak tujuh kali lalu berdoa sebanyak tiga kali. Sayyidina Aly berkata, “Barang siapa yang mencari berkah dengan Alquran maka bacalah al-Ikhlas sebanyak tujuh kali dan berdoa sebanyak tiga kali”. Adapun doanya sebagai berikut.

اللهم بكتابك تفاءلت، وعليك توكلت، اللهم أرني في كتابك ما هو المكتوم من سرك المكنون في غيبك،

“Ya Tuhan, hanya dengan kitab-Mu (Alquran) saya optimis (berharap berkah), dan hanya kepada-mu aku berpasrah. Oh Tuhan, tunjukkan dalam kitab-Mu apa yang tersembunyi dari rahasia Engkau yang tersembunyi”.

Istikharah Menggunakan Tasbih

Adapun istikharah yang menggunakan tasbih yaitu tidak diperbolehkan lantaran tradisi dari kalangan Syiah (Tanwirul Afkar edisi 537). Selain itu, dikutipdari Dar al-Ifta Mesir sebagai berikut:

السؤال:

ما حكم الاستخارة على السبحة، حيث تقوم على فكرة التلفظ بذكر معين ثم تقبض السبحة بيدك، فتقوم بالفعل أو عدمه اعتماداً على خروج عدد معين من أحجار السبحة زوجي أو فردي، أو إذا انتهت أحجار السبحة عند ذكر معين؟

وأما الاستخارة بالسبحة بالكيفية الواردة في السؤال فلا تجوز؛ لأن هذه الصورة في حقيقتها شبيهة بالاستقسام بالأزلام؛ لأنها طلب المستخير أحد أمرين، وهما افعل أو لا تفعل، بصورة خاضعة للحظ المحض، وهذا مناقض للأخذ بالأسباب.

قال الإمام النفراوي المالكي رحمه الله: “وفي رواية: وأحب الفأل الصالح، مثاله: إذا خرج لسفر أو إلى عيادة مريض، وسمع يا سالم يا غانم أو يا عافية، هذا إذا لم يقصده، وأما إذا قصد سماع الفأل ليعمل على ما يسمع من خير أو شر، فلا يجوز، لأنه من الأزلام المحرمة التي كانت تفعلها الجاهلية…، وفي معنى هذا مما لا يجوز فعله استخراج الفأل من المصحف؛ فإنه نوع من الاستقسام بالأزلام، ولأنه قد يخرج له ما لا يريد فيؤدي ذلك إلى التشاؤم بالقرآن، فمن أراد أمراً وسمع ما يسوء لا يرجع عن أمره، وليقل: اللهم لا يأتي بالخير إلا أنت، ولا يأتي بالشر أو لا يدفع الشر إلا أنت” [الفواكه الدواني2/ 342].

Pertanyaan:

Apa hukum istikharah menggunakan tasbih, yang didasarkan pada ide mengucapkan zikir tertentu dan kemudian memegang tasbih di tangan Anda. Jadi, Anda melakukan atau tidaknya suatu tindakan tergantung pada keluarnya batu tasbihnya dalam jumlah tertentu; genap atau ganjil, atau jika batu tasbihnya berakhir pada zikir tertentu?

Jawaban

Adapun istikharah menggunakan tasbih dengan cara yang disebutkan dalam pertanyaan, tidak diperbolehkan karena praktik ini pada kenyataannya mirip dengan pembagian dengan anak panah (tradisi di zaman jahiliah yang diharamkan). Karena istikharah menngunakan tasbih seperti itu adalah permintaan untuk salah satu dari dua hal, yaitu melakukan atau tidak melakukan, dengan cara yang tunduk pada keberuntungan murni. Dan ini bertentangan dengan pengambilan sebab-sebab (usaha).

Imam Al-Nafrawi Al-Maliki berkata, “Dalam sebuah riwayat: Dia menyukai pertanda baik, misalnya: jika dia pergi dalam perjalanan atau menjenguk orang sakit lalu dua mendengar ucapan Ya Salem, Ya Ghanim, atau Ya Afia, ini jika dia tidak berniat. Tetapi jika dia berniat untuk mendengar pertanda untuk bertindak atas apa yang dia dengar tentang kebaikan atau keburukan, maka itu tidak boleh. Karena itu adalah salah satu dari ramalan terlarang yang biasa dilakukan oleh Jahiliyah… Dalam pengertian ini, yang tidak boleh dilakukan adalah mengambil pertanda dari mushaf, karena itu semacam pembagian dengan ramalan, dan karena itu bisa saja tidak sesuai prediksinya yang tidak dikehendaki. Hal semacam itu mengarah pada pesimisme terhadap Al-Quran. Barang siapa yang ingin menghendaki sesuatu kemudian mendapat hal yang tidak dinginkan maka tak boleh menolaknya dan hendaknya berkata, “Ya Tuhan, tidak ada yang membawa kebaikan kecuali Engkau, dan tidak ada yang membawa kejahatan atau tidak ada yang menolak kejahatan kecuali Engkau ”[Al-Fawakeh Al-Dawani 2/ 342].

Terakhir, dari penjelasan terkait istikharah di atas kami tidak akan menyimpulkan apa-apa. Hanya saja, menurut penilaian subjektif kami alangkah baiknya bagi “orang awam” melakukan istikharah sesuai tuntunan yang datang dari Nabi. Falyatammul (M Soleh Shofier)

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest