Imam Syafi’i dan Sikap Materialistik Tukang Cukur

Imam Syafi’i dan Sikap Materialistik Tukang Cukur

Oleh: Ust. Muhammad Ahdanal Halim
(Musyrif Ma’had Aly Situbondo)

Suatu ketika Imam Syafi’i bersama putranya hendak pergi ke sebuah daerah. Kebetulan pada saat pergi, Imam Syafi’i memakai pakaian yang sangat lusuh.

Sesampainya di tempat tujuan, Imam Syafi’i bermaksud mencukur rambutnya ke tukang cukur (مزين). Ketika beliau menemukan seorang tukang cukur, beliau langsung menghampirinya.

Namun tak disangka, sebelum Sang Imam mengeluarkan kata-kata, si tukang cukur itu lebih dahulu berkata, “Pergilah dan cari tukang cukur yang lain”. Sontak hal itu mengagetkan Imam Syafi’i. Ternyata, si tukang cukur tersebut merasa risih dengan Imam Syafi’i dikarenakan pakaiannya yang lusuh dan kumuh.

Mendengar penolakan tersebut, Imam Syafi’i bertanya kepada putranya, “Apa yang kamu bawa sebagai bekal ?”. Sang putra menjawab, “10 dinar”. “Berikan itu semua kepada tukang cukur tadi!” Ujar Imam Syafi’i. Lalu uang tersebut diberikan kepada tukang cukur tersebut dan keduanya melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan, Imam syafi’i berkata :

علي ثياب لو تباع جميعها # بفلس لكان الفلس منهن أكثرا

وفيهن نفس لو تقاس ببعضها # نفوس الورى كانت أجل وأكبرا

وما ضر نصل السيف اخلاق غمده # اذا كان عضبا حيث وجهته فرى

فان تكن الأيام أزرت ببزتي # فكم من حسام في غلاف تكسرا

“Aku mempunyai banyak sekali pakaian. Mungkin kalau semuanya dijual harganya tak lebih mahal daripada beberapa fulus.

Namun dibalik pakaian-pakaian itu terdapat satu jiwa. Andai saja setengah dari jiwa itu dibandingkan dengan jiwa-jiwa makhluk yang lain, niscaya setengah jiwa itu masih lebih mulia dan agung.

Sarung pedang yang usang tidak akan mempengaruhi ketajaman pedang. Ketika pedang itu tajam maka dimanapun ia diletakkan, ia masih mampu digunakan untuk menebas.

Jika zaman merendahkanku sebab pakaian usangku. Maka ketahuilah, banyak sekali pedang yang tajam dimasukkan kedalam sarung pedang yang rusak. “

Dari kisah ini, kita dapat mengambil pelajaran bahwa kualitas manusia yang sesungguhnya bukan dilihat dari pakaian yang dipakai, motor yang dikendarai, maupun rumah yang ditinggali. Lebih dari itu semua, kualitas manusia yang sesungguhnya diukur dari keilmuan dan moralitas yang ada dalam dirinya.

Pakaian yang mahal tidak menandakan bahwa nilai diri seseorang mahal juga. Bahkan, mungkin saja nilai dirinya lebih rendah daripada nilai pakaiannya. Begitupun pula sebaliknya, pakaian yang murah tidak menandakan bahwa nilai diri seseorang murah juga. Bahkan, mungkin saja nilai dirinya lebih mahal daripada pakaian yang dihiasi intan permata.

الثياب الغالية لا تلزم شخصية عالية والثياب الرخيصة لا تلزم شخصية دنيئة

” Pakaian yang mahal tak meniscayakan sosok yang luhur dan pakaian yang murah tak meniscayakan sosok yang rendah. “

Image by wirestock on Freepik

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest