Jika Dosen Ma’had Aly Dianugerahi Award Penulis Buku Terbaik

Jika Dosen Ma’had Aly Dianugerahi Award Penulis Buku Terbaik

Oleh: Ali Ahmad Syaifuddin
(Santri Ma’had Aly Marhalah Tsaniyah)

Pada tanggal 14 Agustus 2024, Prof. Dr. Abu Yasid, M.A., LL.M menghadiri undangan Panitia Islamic Book Fair (IBF) Award 2024 di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan Jakarta. Pada acara pembukaan IBF itu penghargaan buku keislaman terbaik dianugerahkan dalam berbagai kategori, yaitu kategori buku anak-anak, buku fiksi remaja, non-fiksi remaja, fiksi dewasa dan non-fiksi dewasa. Profesor Abu Yasid sebagai dosen UINSA Surabaya dan Ma’had Aly Situbondo memenangkan award sebagai penulis terbaik buku keislaman non-fiksi dewasa. Judul buku yang mendapatkan penghargaan ini adalah Membangun Negara Islam Modern di Indonesia: Refleksi Satu Abad Berdirinya NU.   

Konten naskah buku ini berkaitan dengan pentingnya umat manusia membangun peradabannya demi menggapai kebahagiaan dan kemaslahatan, baik di dunia maupun di akhirat. Manusia dengan identitas suku bangsa apa pun menginginkan capaian peradaban yang tinggi demi memperbaiki taraf hidupnya. Bangsa dari negara mana pun yang menginginkan status negara maju mesti melalui satu “pintu gerbang” bernama peradaban. Semakin tinggi peradaban suatu negara berkembang maka semakin dekat mereka meraih status negara maju. Pada era negara bangsa (nation state) seperti sekarang, keberadaan instrumen negara menjadi penting dalam sebuah ikhtiar umat manusia mencapai puncak peradabannya. Karenanya, buku Islam terbaik 2024 ini mendiskusikan eksistensi negara sebagai instrumen penting dalam membangun peradaban.

  • Facebook
  • Twitter
  • Pinterest

Dalam bagian lain, buku yang diterbitkan oleh PT Qaf Media Kreativa Jakarta ini mendiskusikan hubungan agama dan peradaban. Sebab, keduanya seringkali menjadi tema sentral pembahasan, bahkan tidak jarang disandingkan dan dibandingkan satu sama lain. Menurut pandangan Islam, tentunya kurang pada tempatnya membandingkan agama dan peradaban. Sebab, yang tersebut pertama adalah wahyu Tuhan, sedangkan yang kedua adalah hasil ikhtiar manusia untuk menggapai taraf kehidupannya yang layak dan paripurna. Dengan begitu, peradaban manusia merupakan bagian dari pembahasan tema besar tentang agama. Peradaban adalah produk manusia, sementara agama adalah tuntunan dan ajaran Tuhan untuk kebaikan manusia.

Dalam buku ini juga dikupas bahwa kejatuhan Dinasti Turki Utsmani berbarengan dengan lahirnya negara-negara bangsa (nation states) pasca berakhirnya imperialisme dan kolonialisme barat. Era negara bangsa ini memasuki siklus tujuh abad ketiga dalam sejarah pasang surut peradaban Islam. Pertanyaannya, mampukah umat Islam pada siklus ini meraih kembali kejayaannya sebagaimana pada siklus tujuh abad spertama. Era ini ditandai lahirnya negara-negara berskala nasional dengan sistem perbatasan cukup ketat, baik darat, laut dan udara. Umumnya, sistem pemerintahan yang dianut adalah demokrasi walaupun terdapat beberapa negara yang masih menggunakan sistem monarki. Dengan sistem demokrasi tentunya aspek transparansi dan kompetisi secara fair untuk meraih tingkat peradaban yang tinggi terbuka lebar-lebar.

Competitiveness era negara bangsa sangat ditentukan oleh tingkat keberhasilan pengelolaan masing-masing negara. Keadaan kondusif sebuah negara dengan tingkat kestabilan internal dan eksternalnya menjadi modal penting memasuki area kompetisi demi meraih kemenangan sekaligus untuk menggapai tingkat peradabannya yang tinggi. Keberadaan negara kemudian menjadi instrumen penting untuk mencapai tingkat kemajuan peradaban masing-masing negara. Dalam banyak literatur dikatakan bahwa keadaan sebuah bangsa sangat bergantung pada kapabilitas para pemimpinnya. Dalam teori demokrasi juga disebutkan bahwa kapabilitas dan keberhasilan para pemimpin bergantung pada peran lembaga kontrol dari masyarakat.

Pentingnya instrumen negara ini juga pernah dikemukakan oleh Sahabat Utsman bin Affan r.a. Khalifah ketiga ini melukiskan bahwa Allah s.w.t. mendelegasikan penguasa terhadap persoalan yang tidak secara langsung dapat di-handle oleh Alquran. Ungkapan ini menyiratkan bahwa Alquran banyak mengungkapkan persoalan secara global dan garis besar sehingga dalam tataran praksisnya memerlukan pengejawantahan dan pemaknaan lebih aplikatif. Peran untuk mengejawantahkan ini dalam ranah keagamaan dimiliki oleh para Mujtahid, sedangkan dalam level negara dimiliki oleh para penguasa. Atas dasar ini dalam sebuah kata hikmah juga dikatakan: al-nas ‘ala dini mulukihim (manusia itu bergantung pada agama para penguasanya).

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest