Katika KHR. As’ad Syamsul Arifin Disoal Gus Mus Perihal Penerimaan Pancasila

Katika KHR. As’ad Syamsul Arifin Disoal Gus Mus Perihal Penerimaan Pancasila

Oleh: Moh Sholeh Shofier
(Mahasantri Ma’had Aly Situbondo)

Dinamika penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal penuh perdebatan yang alot di internal umat Islam, tak terkecuali dalam organisasi keagamaan seperti NU. Penuh dengan drama, penuh emosional dan menghabiskan banyak pemikiran-intelektual demi Pancasila.

Gus Yahya ketika memberikan sambutan dalam acara kick off halaqah fikih peradaban part 2 di Situbondo menceritakan kisah di mana KHR. As’ad Syamsul Arifin disoal oleh Gus Mus perihal penerimaan Pancasila. Cerita yang ia dapatkan langsung dari Gus Mus.

Menurut penuturannya, ketika tim rekomendasi penerimaan Pancasila dibentuk dan mulai melakukan kajian terhadap Pancasila dan menentukan sikap NU perihal usulan pemerintah tentang Pancasila sebagai asas tunggal, asas bagi semua organisasi yang ada.

Hasilnya, semua kiai anggota rekomendasi enggan untuk mengeluarkan statement secara tegas. Baik untuk menerima Pancasila atau menolaknya. Seluruhnya remang-remang atau ragu dan tarik ulur antara menerima dan menolaknya. Tidak ada kepastian.

Di antara tim perumus itu adalah Gus Dur, KH. Yusuf Muhammad dan Gus Mus. Dan sebelum hasil sidang diumumkan di pleno, Kiai As’ad memanggil anggota perumus tersebut. Mulanya Gus Dur disuruh untuk menemui panggilan Kiai As’ad mengingat keduanya memiliki hubungan emosional “lebih” sekurang-kurangya dalam relasi kiai senior dan junior yang pada biasanya tidak sejajar.

Sayangnya, dengan tegas Gus Dur enggan memenuhi panggilan Kiai As’ad. Ia Menolaknya dan berkomentar, “Dak mau ‘ah nanti dimarah-marahin” tandas Gus Dur kepada tim yang lain.

Maka anggota yang lain lebih enggan lantaran segan dan takut menghadap Kiai As’ad. Jika Gus Dur saja takut dimarahin, apa lagi yang lain? Setelah terjadi diskusi siapa yang mau menghadap kiai As’ad, Gus Mus -lah yang didaulat untuk menghadap.

Sesuai prediksi Gus Dur, Kiai As’ad marah dan menegur, “Kenapa kok dak mau nerima Pancasila sebagai asas tunggal”? kepada Gus Mus sebagai delegasi tim.

Gus Mus pun tertatih-tatih menjelaskan, “Bukan tidak mau terima kiai tetapi kami mendudukkan soal perkaranya secara proporsional”.

Langsung mendapat semprotan dari Kiai As’ad, “Gak bisa begitu. Yang dibutuhkan itu mau diterima apa tidak. Dan kita (NU) harus menerima. kalau kita dak mau terima apa akibatnya kepada NU? bagaimana kalau pemerintah marah? “.

“Ya wong NU sebesar ini, masak pemerintah berani buat apa-apa kepada NU?” balas Gus Mus — barangkali untuk menenagkan Kiai As’ad akan ancaman pemerintah dan tidak marah lagi tentunya.

Sayangnya justru dengan nada yang agak naik, Kiai As’ad mengatakan, “Iya kalau dak berani, kalau berani siapa yang tanggung jawab di depan Allah dan kepada umat”?

Mendapatkan pertanyaan retorik itu, Gus Mus pun mencoba menggunakan logika terbaliknya, “Lah kalau kita terima asas tunggal, siapa yang bertanggung jawab di hadapan Allah dan umat”?

“Saya!” kata Kia As’ad tegas, lugas, jelas dan mantap. Maka Gus Mus pun menyerah dan menyatakan kesediaan menerima Pancasila sebagai asas tunggal karena sudah ada yang berani tanggung jawab: KHR. As’ad Syamsul Arifin.

“Jadi, kita semua NU beserta jemaahnya yang hidup di NKRI hari ini di bawah tanggungannya Kiai As’ad Syamsul Arifin” tegas Gus Ketum, Kiai Yahya Cholil Tsaquf ketika mengakhiri ceritanya di atas podium.

Dari sepenggal kisah di atas kita bisa belajar bahwa dinamika penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal penuh perdebatan, menghabiskan banyak daya dan pemikiran-intelektual. Sekarang Pancasila memiliki legalitas dalam syariat secara logis. Misalkan gagasan KH. Afifuddin Muhajir tentang Pancasila yang mengklasifikasi pola relasi antara Pancasila dan syariat Islam menjadi tiga; (1) Pancasila tidak bertentangan dengan syariat, (2) selaras dengan syariat dan (3) Pancasila itu syariat itu sendiri berikut argumentasi satu demi satu dari pola tersebut.

Dulu, sebagaimana kisah Kiai As’ad dan Gus Mus, penerimaan Pancasila lebih ke hubungan batin, emosional dan terkesan tidak rasional. Tentu saja hal yang tidak rasional tidak melulu lebih rendah nilainya ketimbang yang rasional. “Ketidak-rasionalan” itu tergambar misalnya dalam kisa sejarah di atas di mana KH. As’ad menerima Pancasila bukan karena alasan yang “logis” apa lagi mengeluarkan dalil-dalil syariat. Tidak. Barangkali untuk memikirkan dalil-dalil syariat terkait Pancasila akan dipasrahkan kepada santri dan kader-kader intelektual NU, nantinya.

Sebab, menurut Kiai As’ad, yang lebih mendesak dan genting adalah persoalan kestabilan dan kondusifitas kehidupan umat. Agar tidak diganggu dan bahkan diteror pemerintah Orba. Tidak rela bila umat diganggu dan “dicederai” pemerintah Orba gegara tidak menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Maka, penerimaan Pancasila lebih ke pragmatis. Yaitu kasih sayangnya kepada umat. Umat yang ia perjuangkan semasa hidupnya.

Bukan berarti Kiai As’ad mengabaikan pentingnya Pancasila dalam timbangan syariat tetapi ada hal yang lebih genting lagi. Dalam hal ini, justru Kiai As’ad bertindak bijaksana dengan memprioritaskan yang lebih urgen, yaitu persoalan keamanan umat ketimbang dalil-dalil Pancasila.

Karena beliau tahu betul bahwa sesuatu yang hubungannya dengan Tuhan lebih banyak toleransi dan dispensasinya di satu sisi –sesuai catatan bahwa beliau mengutus Kiai Sufyan ke Makkah untuk klarifikasi langsung kepada si pembawa risalah Islam. Di sisi lain Kiai As’ad yakin Pancasila tidak bertentangan dan tidak akan menggantikan Islam sesuai data bahwa beliau sudah mengklarifikasi langsung ke Suharto selaku presiden kala itu.

Oleh karenanya, sedikit “otoriter” beliau memerintahkan untuk menerima Pancasila. Bahkan tanpa getar Kiai As’ad berani menjadi jaminan di hadapan Tuhan dan umat dari segala konsekuensi diterimanya Pancasila sebagai asas tunggal.

Sumber: Cerita Gus Yahya ketika mengisi halaqah fikih peradaban di Situbondo yang tayang di youtube S3TV pada menit sekitar 1. 17-1.21.

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest