Kiai Afifuddin Muhajir: Kesehatan dalam Bingkai Maqasidus Syariah

Kiai Afifuddin Muhajir: Kesehatan dalam Bingkai Maqasidus Syariah

Oleh: M Soleh Shofier
(Mahasantri Ma’had Aly Situbondo)

Perubahan musim adalah sunnatullah. Dan akhir-akhir ini beberapa daerah sudah mulai mengalami perubahan musim, yakni memasuki musim penghujan setelah melewati musim kemarau. Hujan merupakan salah satu anugerah dari Allah untuk hambanya. Namun demikian, ketika musim hujan masyarakat memiliki tantangan tersendiri. Pasalnya, curah hujan terkadang datang secara tiba-tiba, dan tidak kalah penting, musim hujan juga membawa ancaman kesehatan karena terdapat penyakit yang muncul saat musim penghujan.

Setidaknya ada tiga macam penyakit yang berhasil diidentifikasi potensial akan muncul ketika musim hujan. Pertama, Infleunza. Kedua, Demam Berdarah. Ketiga, Diare. Oleh sebab itu, Kemenkes mengimbau masyarakat untuk lebih waspada dalam menjaga kesehatan.[1]

Berkenaan dengan kesehatan, bisa dipastikan semua manusia mendambakannya. Laki-laki dan perempuan, anak kecil dan orang dewasa, muslim dan non-muslim seluruhnya ingin kehidupan yang sehat. Namun pada tataran realitasnya, banyak orang mendambakan hidup sehat tapi tidak menjalani pola hidup yang sehat.

Jika merujuk dalam Undang-Undang Republik Indonesia tahun 2009 nomor 36 dikatakan, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.[2]

Dari sana, kemudian Wakil Rais ‘Am PBNU, Kiai Afifuddin Muhajir mengklasifikasi kesehatan menjadi empat macam. Pertama, kesehatan badan sehingga steril dari berbagai penyakit fisik dan seluruh organ tubuh berfungsi sempurna. Kedua, kesehatan jiwa/mental yang terbagi menjadi tiga: emosi, pikiran, dan spiritual.[3]

Klasifikasi kesehatan yang ketiga adalah kesehatan sosial, yaitu bisa berinteraksi dengan sesama. Keempat, kesehatan ekonomi yang dapat memenuhi seluruh kebutuhannya, baik anak kecil dalam kebutuhan semisal biaya pendidikan maupun orang dewasa bahkan lansia.

Dalam Islam sendiri kesehatan menempati posisi yang urgen. Terdapat banyak sekali sumber-sumber ajaran agama Islam berbicara mengenai hal-hal yang beririsan dengan kesehatan. Mulai dari ajaran untuk menjaga kebersihan (QS. al-Muddassir [56]: 4), larangan mengonsumsi benda-benda yang berbahaya bagi kesehatan (QS.  al-A’raf [7]: 157), hingga ayat-ayat penyembuhan (ayat al-syifa’).

Imam al-Syafi’i, sebagaimana dikutip Ibn Abi Hatim al-Razi, mengatakan bahwa ilmu sesungguhnya hanya ada dua. Yakni, ilmu (untuk) agama dan ilmu (untuk) dunia.  Ilmu untuk agama adalah fikih. Sedang ilmu untuk dunia adalah ilmu medis[4]. Selaras dengan pendahulunya, Imam al-Ghazali pernah menandaskan pentingnya kesehatan.

فَإِنَّ مَقْصِدَ ذَوِي الْأَلْبَابِ لِقَاءُ اللهِ تَعَالَى فِي ْدَارِ الثَّوَابِ، وَلَا طَرِيْقَ إِلَى الْوُصُوْلِ لِلِقَاءِ اللهِ إِلَّا بِالْعِلْمِ وَالْعَمَلِ وَلَا تُمْكِنُ الْمُوَاظَبَةُ عَلَيْهَا إِلَّا بِسَلَامَةِ الْبَدَنِ وَلَا تَصْفُوْ سَلَامَةُ الْبَدَنِ إِلَّا بِالْأَطْعِمَةِ وَالْأَقْوَاتِ، وَالتَّنَاوُلِ مِنْهَا بِقَدْرِ الحَاجَةِ عَلَى تِكْرَارِ الْأَوْقَاتِ

Sesungguhnya orang yang berakal ialah bersua dengan Allah Taala di surga. Sementara itu, tidak ada jalan untuk bertemu dengan Allah kecuali dengan ilmu dan amal. Dan tidak mungkin merealisasikan hal tersebut kecuali fisiknya sehat. Dan, kesehatan badan tidak akan diperoleh kecuali dengan makanan dan mengonsumsi sesuai kebutuhan setiap saat”.[5]

Selain itu, sudah menjadi konsensus ulama bahwa diberlakukannya syariat tiada lain hanya untuk mewujudkan kemaslahatan hambanya, baik yang lahir maupun batin, yang bersifat temporal (dunia) maupun abadi (akhirat).

Kemaslahatan itu mencakup seluruh kepentingan dan kemanfaatan semua hamba, yang bernaung di bawah payung prinsip Maqashidus Syariah, yaitu memproteksi agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan atau nasab. Sebagian ulama seperti al-Thufi dan Tajuddin al-Subki menambahkan satu nilai lain yaitu menjaga kehormatan/martabat.[6]

Dalam konteks kesehatan, memelihara kesehatan spiritual adalah representasi untuk menjaga agama. Menjaga kesehatan fisik adalah implementasi dari nilai hifdz al-Nafs. Kesehatan akal juga berlandasan atas nilai hifdz al-‘Aql. Dan kesehatan ekonomi pun, sebagaimana tersebut dalam UU itu, juga mengacu kepada prinsip hifdz al-Mal (menjaga harta).

Terakhir, kesehatan sosial yaitu kebaikan dalam berinteraksi dengan sesama juga tidak terlepas dari prinsip menjaga kehormatan atau hifdzul ‘irdi. Demikianlah Kiai Afifuddin Muhajir mencoba menyelaraskan persoalan kesehatan dalam bingkai nilai universal Islam atau Maqasidus Syariah.[7] Oleh sebab itu, memelihara kesehatan sesungguhnya merealisasikan seluruh tujuan syariat. Jika begitu, masihkah ada ruang melalaikan kesehatan? Berlarut-larut dalam penyakit?

Jika direnungi, nyatanya tidak sedikit diktum-diktum hukum parsial yang dipending saat berhadapan dengan persoalan kesehatan. Sebut saja, ketentuan hukum wajib puasa bagi perempuan hamil dan atau menyusui. Keduanya diberi dispensasi untuk tidak berpuasa di bulan ramadan selama kehamilan atau masa menyusui karena alasan kesehatan, baik menyangkut kesehatan dirinya sendiri ataupun anaknya. Dan sederet orang-orang yang tidak memiliki kesehatan fisik atau non fisik semisal sakit, tua renta atau stres (gila), semuanya boleh tidak berpuasa.

Selain itu, misalkan ada orang yang sakit dan khawatir tambah parah saat menyentuh air, maka ia ditoleransi untuk bertayamum. Hampir tak terhitung jumlahnya, nilai-nilai partikular bertebaran di dalam kitab-kitab fikih yang memprioritaskan kesehatan dibandingkan hukum syariat lainnya. Sudah barang tentu, ketentuan seperti itu tidak keluar dari aturan syariat. Karena menjaga kesehatan adalah bagian syarat itu sendiri. [slhsfr]


[1] Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan (kemkes.go.id)

[2] UU RI, “UU RI No 36 Tentang Kesehatan,” UU RI No 36 2009 (2009).

[3]K.H. Afifuddin Muhajir, Fikih Menggugat Pemilihan Langsung, ed. M. Fil. I MN. Harisudin (Jember: Pena Salsabila, 2009), 44.

[4] Abd al-Rahman bin Abi Hatim Al-Razi, Adab Al-Syafi’i Wa Manaqibuh, n.d., 244, (Maktabah Syamilah).

[5] Abu Hamid Ahmad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, n.d., 2/2, (Maktabah Syamilah).

[6] Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli, Syarh Al-Jalal Syamsuddin Al-Mahalli “Ala Jam’u Al-Jawami,” ed. Ibnu Dahlan El-Jafary (al-Maktabah al-Salam, 2019), 262.

[7] Muhajir, Fikih Menggugat Pemilihan Langsung, 48.

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest