Maqashidus Syari’ah versus Qiyas

Maqashidus Syari’ah versus Qiyas

Membandingkan Maqashidus Syari’ah dengan Qiyas sepintas terlihat kurang pada tempatnya. Sebab, jika qiyas mempunyai peran dan posisi sebagai salah satu sumber hukum, maka tidak demikian halnya dengan maqashidus syari’ah. Dalam kaitan ini, maqashidus syari’ah mengambil peran sebagai perspektif teori dalam kajian hukum Islam. Qiyas sendiri dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu qiyas juz’i dan qiyas kulli. Qiyas juz’i bisa disebut qiyas dalam pengertian konvensional seperti banyak disebutkan dalam buku-buku ushul fiqh. Yakni upaya menyamakan hukum yang tidak terdapat ketentuannya dalam teks wahyu dengan hukum lain yang ada penjelasan hukumnya dalam teks wahyu. Upaya menyamakan tersebut dilakukan atas pertimbangan adanya persamaan reasoning atau ilat hukum (Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, 1977, 52). Yang sering dibuat contoh kasus adalah upaya menyamakan hukum beragam minuman memabukkan yang tidak ada ketentuan nash-nya dalam wahyu dengan hukum minuman tuak atau khamr yang ketentuan-nya disebutkan secara eksplisit dalam nash Alquran.

Qiyas dengan definisi dan contoh seperti tersebut tidak lain adalah prinsip analogi yang bersifat juz’i dengan jangkauan terbatas. Dalam praktiknya, qiyas juz’i seperti ini berkisar pada proses penyamaan antara hukum far’ (cabang)  dan hukum ashl (pokok), atau antara hukum turunan dan hukum asal. Tentunya proses analogi seperti ini mengacu pada asas kemaslahatan sesuai prinsip maqashidus syari’ah. Namun demikian, jangkauan mashlahah dalam qiyas juz’i ini sangatlah terbatas karena minimnya hukum asal yang berfungsi sebagai maqish ‘alayh dalam proses analogi. Di sisi lain, perkembangan kasus hukum muamalah mengalami grafik perkembangan cukup pesat.

Oleh itu, diskursus qiyas (analogi) sebagaimana dalam pengertian qiyas juz’i di atas perlu dikembangkan ke arah yang lebih luas menjangkau cakupan mashlahah yang terus berkembang sesuai konteks perubahan. Dalam kaitan ini, wacana qiyas kulli perlu digulirkan untuk keperluan dinamisasi pemikiran hukum Islam. Qiyas kulli ini tidak lagi mengkaji soal hubungan hukum asal dan turunannya melainkan bagaimana sebuah hukum bisa dibangun berdasarkan dalil-dalil kulli yang mengatur persoalan secara garis besar. Dengan pola qiyas seperti ini maka produktivitas hukum dengan mengacu pada prinsip maqashidus syari’ah bisa terus mengalir demi mengayomi kepentingan hidup manusia.

Jika kita falashback ke belakang, padanan qiyas kulli ini sesungguhnya tidak jarang kita temukan dalam lembaran sejarah proses tasyri’ dalam Islam. Kita mengenal, misalnya, istilah al-munasabah atau al-washf al-munasib serta ‘illah dan hikmah dalam pembahasan soal qiyas itu sendiri. Istilah ini sangat beririsan dengan semangat qiyas kulli yang berorientasi pada nilai-nilai mashlahah. Dalam pembahasan istidlal (mekanisme penggunaan dalil) demikian juga, kita mengenal dalil mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, ‘urf dan lain-lain. Dalil-dalil ini juga berorientasi pada mashlahah sehingga bisa juga disebut dalil mashlahi atau dalil maqashidi. Dalam pembahasan ilmu ushul fiqh juga kita mengenal istilah qath’i dan dhanni, sehingga term yang kedua (dhanni) dimaknai sebagai dalil yang bisa dikembangkan sesuai konteks kemaslahatan.

Ibnu Qayyim al-Jawziyyah (w. 751 H), salah seorang ulama’ terkemuka dalam mazhab Hanabilah, juga secara implisit mengungkapkan pentingnya semangat qiyas kulli tersebut.  Dalam masterpiece-nya yang bertajuk A’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, Ibnu Qayyim al-Jawziyyah melansir pembahasan khusus tentang perubahan fatwa karena bergesernya tempat, waktu dan keadaan (Al-Jawziyyah, 1991, 3/11). Tentunya perubahan fatwa tersebut bukan tidak menggunakan dalil begitu saja. Sebaliknya ia didasarkan pada dalil-dalil universal seperti dalam konsep qiyas kulli demi mengapresiasi kepentingan dan kemaslahatan umat manusia, baik dalam kehidupan mereka secara individu, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dengan penjabaran qiyas kulli seperti tersebut di atas maka hubungan qiyas dan maqashidus syari’ah memiliki relevansinya untuk dibandingkan. Dengan mashlahah dan hikmah sebagai pertimbangan hukum maka di sinilah titik pertemuan antara qiyas dan maqashidus syari’ah. Dengan ungkapan lain, qiyas kulli sesungguhnya mempunyai irisan dengan pembahasan maqashidus syari’ah dalam rangka menebar kemaslahatan tanpa dibatasi oleh maqis ‘alaih yang sangat terbatas jumlahnya dalam teks wahyu. Selain itu, qiyas kulli tidak berhenti pada unsur ilat hukum sebagai pertimbangan istinbath al-ahkam, tetap juga menjangkau hikmah dan asrar asy-syari’ah.

 Dengan perbedaan qiyas juz’i dan qiyas kulli dalam mengapresiasi jangkauan mashlahah seperti ini maka perhatian syariat terhadap kemaslahatan mempunyai beberapa level dan tingkatan. Pertama, mashlahah paling minimal, yakni pertimbangan kemaslahatan dalam penentuan hukum melalui mekanisme qiyas juz’i yang didasarkan pada sampel hukum tertentu (maqis ‘alaih). Kedua, mashlahah dalam level sedang, yakni kemaslahatan yang diperhatikan melalui pendekatan qiyas kulli dengan jangkauan lebih lebih luas. (Jamal al-Din ‘Athiyah, Nahwa Taf’il Maqashid al-Syari’ah, 2001, 188)

Dalam level sedang ini mashlahah yang menjadi pertimbangan Syari’ tidak mempunyai sampel hukum tertentu sebagaimana lazimnya dalam qiyas juz’i. Sebaliknya, pertimbangan hukum dalam konteks ini didasarkan pada kemaslahatan umum menurut pandangan akal sehat. Betapa pun tidak mempunyai sampel hukum tertentu dalam teks wahyu, mashlahah dengan pola seperti ini tidak mengalami penentangan dari dalil-dalil qath’i semisal Alquran, Hadis dan Ijma’ karena substansi maknanya beriringan dengan ketentuan hukum syar’i yang berlaku. (Jamal al-Din ‘Athiyah, Nahwa Taf’il Maqashid al-Syari’ah, 2001, 188)

Ketiga, kemaslahatan dengan martabat paling tinggi, yaitu mashlahah yang substansinya tidak hanya didukung oleh satu argumen, melainkan mempunyai banyak dalil sebagai pijakan hukum. Bahkan, dalil-dalil yang dimiliki cenderung tidak terbatas baik dalam bentuk pesan-pesan moral dalam Alquran dan Hadis, indikator-indikator hukum, petunjuk-petunjuk keadaan dan lain-lain. Kemaslahatan dalam jenis ini kemudian lazim disebut mashlahah mursalah. Menurut al-Ghazali, dalil ini sesungguhnya tidak menempati urutan kelima setelah empat dalil utama, yaitu Alquran, Hadis, ijma’ dan qiyas. Sebaliknya, dalil ini diposisikan sebagai metode istidlal atau penelusuran dalil untuk menggapai tujuan syariat dengan tetap mengacu pada dalil-dalil utama yang empat tersebut. (Al-Ghazali, al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, 222)

Dari diskusi soal analogi di atas dapat disimpulkan bahwa kajian qiyas dengan beragam terminologinya tidak bisa dipisahkan dari kajian maqashidus syari’ah. Perhatian keduanya sama-sama soal bagaimana preskripsi hukum bisa dibangun dan diterapkan sesuai prinsip tujuan tasyri’, yakni untuk menebar asas kemaslahatan dan prinsip kemudahan. Qiyas bisa disebut sebagai salah satu sampel aplikasi agar hukum dapat bekerja sesuai tujuaan asasinya, yaitu untuk menerapkan prinsip maqashidus syari’ah. Begitu dekatnya hubungan keduanya sampai-sampai term qiyas seringkali disandingkan dengan mashlahah sebagai kata sifatnya, seperti qiyas mashlahi, atau kata sifat lain yang maksudnya sama dengan kata mashlahah, seperti ungkapan qiyas mursal, qiyas wasi’, qiyas al-mashlahah al-mursalah, qiyas ijmali dan qiyas kulli.

Pemaknaan qiyas dengan ungkapan-ungkapan seperti itu sesungguhnya sebangun dengan penjelasan soal urgensi prinsip maqashidus syari’ah yang harus diperhatikan dalam rangkaian panjang proses penentuan dan penerapan hukum pada setiap kurun waktu, tempat dan keadaan. Intinya, bagaimana aneka ketentuan hukum yang dikreasi melalui proses ijtihad betul-betul dapat memunculkan nilai-nilai universal ajaran agama untuk menebar kemaslahatan dan keadilan di tengah kehidupan umat manusia. Baik kehidupan dalam level individu dan keluarga maupun dalam level lebih luas seperti kehidupan berbangsa dan bernegara.

  • Facebook
  • Twitter
  • Pinterest

Oleh: Prof. Dr. Abu Yasid, M.A., LL.M

Pengajar Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest