Membina Rumah Tangga Sesuai Impian Islam (6):Memenuhi Hak dan Kewajiban Sebagai Fondasi Ketiga (II)

Membina Rumah Tangga Sesuai Impian Islam (6):Memenuhi Hak dan Kewajiban Sebagai Fondasi Ketiga (II)

Di bagian pertama telah dijelaskan kewajiban suami untuk istrinya yang include dalam rumpun Hak dan Kewajiban sebagai fondasi ketiga Rumah Tangga dengan standar yang telah digariskan Tuhan (حدود الله). Selanjutnya akan dijelaskan mengenai kewajiban istri pada suaminya menurut al-Qardlawi yang disimpulkan menjadi enam. Dan dilanjutkan rujukan hak dan kewajiban dalam standar tradisi.

  1. Menerima Kepemimpinan Suami dalam Keluarga

Kepemimpinan dalam keluarga adalah niscaya. Sebab, keluarga sebagai “organisasi” (syirkah) yang unitnya terdiri dari suami dan istri (anak jika ada) akan runtuh bila tidak ada pimpinan yang mengaturnya. Sebagaimana akan kacau balau bila kepemimpinan dalam organisasi keluarga tersebut ada dipegang dua orang pemimpin. Syekh Yusuf al-Qardlawi mengumpamakan kepemimpinan dalam keluarga laksana nakhoda kapal yang akan tenggelam bila dipegang dua nakhoda.

Dalam konteks keluarga, suami lebih layak untuk memimpin jalannya mahligai rumah tangga. Alquran menyinggungnya dalam surah al-Nisa.

{الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ} [النساء: 34]

Dalam menginterpretasi ayat di atas Syekh Yusuf al-Qardlawi mencoba merasionalisasikan ketentuan suami layak menjadi pemimpin. Menurutnya, lantaran istri tidak memiliki kualifikasi dalam kepemimpinan. Yaitu perempuan umumnya didominasi oleh perasaan atau kelemah-lembutan yang merupakan keniscayaan sebagai sifat keibuannya. Di samping itu, perempuan tidak diberi tanggung jawab dalam membangun rumah tangga. Sebaliknya, laki-laki juga diberi beban untuk membangun rumah tangga. Selain itu, suami terkualifikasi sebagai pemimpin karena mendasarkan terhadap akal dalam memutuskan suatu persoalan dan telah mempertimbangkan konsekuensi yang akan timbul dari keputusannya.

Adapun implikasi pengakuan kepemimpinan suami adalah istri harus taat kepada suaminya dalam kebaikan dan senyampang tidak melanggar batasan lain yang telah digariskan Tuhan. Sehingga tidak ada perselisihan satu sama lain dalam menjalankan bahtera rumah tangganya. Sudah barang tentu, istri yang melaksanakan kewajibannya (taat) karena mematuhi batasan Tuhan maka ia akan diganjar dengan surga yang dijanjikan sebagaimana Abu Hurairah dari Rasulullah.

صحيح ابن حبان – محققا (9/ 471)

: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خُمُسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَّنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دخلت من أي أبواب الجنة شاءت” 1. [2:1]

Tetapi yang perlu disadari bahwa ketentuan itu adalah spesifik bagi perempuan dalam artian hanya pegangan istri bukan laki-laki. Sedangkan, laki-laki tidak bisa berkilah atau berargumen dengan hal tersebut agar ditaati dalam arti diktator. Dalam hal ini, Syekh Yusuf al-Qardlawi menandaskan.

وليس معنى هذا: أن يستبد الرجل بأمر الاسرة، ويصبح ً دكاتورا  يأمر وينهى دون أن يناقش أو يحاور، كلا، بل ينبغي للرجل أن يشاور امرأته فيما يهمه من أمر الأسرة وغيره، ويشرك امرأته معه، تحمل همه وتنصح له بما ترى من رأي قد يكون هو ألارشد

“Ketentuan taat pada suami bukan berarti suami boleh bersikap tirani dalam urusan keluarga dan menjadi diktator yang hanya bisa memerintah dan melarang tanpa berdiskusi dan dialog, tidak seperti itu! Tetapi suami mesti bermusyawarah dengan istrinya dalam persoalan yang urgen dalam keluarga, demikian juga yang tidak urgen. Serta mengajak istrinya bekerja sama untuk memikul urusan yang urgen dan perempuan juga bisa memberi pandangannya yang terkadang lebih bijaksana”.

Ketentuan inilah yang menjadi pegangan suami, yakni mesti mengkomunikasikan dan minta pendapat kepada istrinya lebih-lebih dalam soal yang genting. Hal ini juga terpotret dalam kehidupan Nabi di mana Nabi tidak jarang meminta pendapat sebagian istrinya dalam menjalankan urusan, khususnya kekeluargaan. Misalnya, ketika dalam peperangan Hudaibiyah Nabi meminta pandangan Ummu Salamah. Bahkan dalam Alquran juga disinggung untuk melakukan musyawarah ketika menyapih anaknya. Jika dalam urusan menyapih saja harus bermusyawarah apa lagi dalam urusan yang lebih urgen?

{فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا} [البقرة: 233]

  • Melindungi Harta Suami

Selain taat, istri juga membantu suaminya untuk memenej keuangan suami dan tidak melampai batas. Artinya, tidak boleh mendistribusikannya tanpa izin suami baik secara eksplisit (verbal) maupun implisit (indikator) walaupun untuk nafkah atau sedekah yang notabenenya adalah baik.

Ketentuan ini berlaku apa bila suaminya telah memenuhi seluruh kewajibannya yang antara lain adalah memenuhi kebutuhan istrinya. Oleh sebabnya, bila suaminya lalai dan tidak memenuhi kewajibannya secara sempurna maka boleh saja bagi istri untuk mendistribusikan harta sang suami sesuai kebutuhannya. Peristiwa inilah yang menimpa istri Abu Sufyan, Hindun biti Utbah. Setelah konsultasi dengan Nabi lalu Nabi memerintahkan untuk mengambil hartanya sang suami secukupnya;

صحيح مسلم (3/ 1338)

«خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِي بَنِيكِ»،

  • Menjaga “Nama Baik” Suami

Yang dimaksud dengan “Nama Baik” suami adalah menjaga diri dari pandangan orang lain dan tidak mempersilahkan lelaki lain yang tidak memiliki hubungan mahram tanpa izin suami, atau tanpa urusan yang amat genting ketika suaminya sedang tidak ada atau di luar rumah. Terlebih laki-laki kerabat (yang bukan mahram), baik dari pihak istri atau suaminya yang memiliki gairah seperti ipar laki-laki. Sudah barang tentu, tujuannya agar tidak ada gonjang-ganjing, kecurigaan, dan kecemburuan di antara keduanya yang bisa memantik api pertikaian dan muaranya perceraian. Berkenaan dengan larangan istri mempersilahkan ipar (laki-laki yang masih kerabat tetapi bukan mahram) tanpa kehadiran sang suami, Nabi telah memperingatinya sebagai berikut;

صحيح البخاري (7/ 37)

 قَالَ: «إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ» فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَرَأَيْتَ الحَمْوَ؟ قَالَ: «الحَمْوُ المَوْتُ»

“Janganlah kalian memasuki wanita tanpa mahram.” Kemudian seorang dari kaum Anshar berkata, ‘Apa pendapatmu tentang ipar?’ Rasulullah menjawab, “Ipar adalah maut.” (HR. Al-Bukhari no. 5232 dan Muslim no. 2172).

Mengapa kerabat diperingati begitu keras? Karena faktanya masyarakat sering kali meremehkan kerabat masuk ke dalam rumah seorang perempuan tanpa suaminya dan duduk-duduk berlama-lama bahkan bercakap-cakap dengan perempuan tersebut sebab dianggap biasa karena masih memiliki hubungan kerabat. Misalnya sepupunya istri, atau ipar istri. Dengan demikian, laki-laki kerabat itulah yang lebih pantas untuk dilarang daripada laki-laki asing, demikian alasan yang dikemukakan al-Qardlawi dan Ibnu Hajar al-Asqalni.” (Fathul Bari, 9/243).

  • Merawat anak-anaknya

Pada dasarnya mengurus anak bukanlah kewajiban istri semata melainkan suami istri sama-sama memiliki kewajiban dan peran untuk mengurusnya. Hanya saja sesuai fungsi fitrah, ayah dari aspek finansial dan istri membantu dari aspek lainnya. Oleh sebab itu, al-Qardlawi menegaskan, “Istri ikut bertanggung jawab bersama suami untuk mendidik anaknya dalam kebaikan. Dan sosok ibu lebih urgen ketimbang sosok ayah di awal tahun lantaran anak hidup bersama ibu dari pada ayah”.

Lebih jauh, Yusuf al-Qardawi menyenandungkan sebuah pepatah Arab;

أُم مَدْرَسَةُ الْأُوْلَى, إِذَا أَعْدَدْتَهَا أَعْدَدْتَ شَعْبًا طَيِبَ الْأعْرَاقِ

“Ibu adalah madrasah yang pertama, jika kamu menyiapkannya, berarti kamu menyiapkan lahirnya sebuah masyarakat yang baik budi pekertinya”.

Dalam kondisi ini, sasaran hadis Nabi ditujukan.

صحيح ابن حبان – محققا (10/ 342)

 وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا، وَهِيَ مَسْؤُولَةٌ،

“Istri adalah pemimpin atas rumah suaminya (rumah tangganya) dan ia akan dimintai pertanggung jawaban”.

  • Membantu Suami untuk berbuat kebaikan

Istri hendaknya membantu suami dalam kebaikan dan tidak menuntut sesuatu yang memberatkan suaminya hingga sang suami rela berkorban dengan mencari rezeki dari hal-hal yang diharamkan demi mewujudkan yang diimpikan istrinya. Justru istri mengingatkan suaminya agar mencari rezeki yang halal sebagaimana para istri ulama salaf. Ketika suaminya bekerja ia menuturkan agar mencari rezeki yang halal dan lebih baik lapar ketimbang makan dari hasil yang haram.

  • Bersabar atas kondisi Suaminya

Istri bersabar dengan segala cobaan dan derita yang menimpa bahtera rumah tangga. Menurut bahasa umum, rela hidup dengan suaminya baik dalam suka maupun duka dilewati bersama sehingga rumah tangganya tetap utuh kendatipun diterpa berbagai musibah.

Oleh: Moh Soleh Shofier
(Mahasantri Ma’had Aly Situbondo)

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest