Menguak Kearifan Lokal yang Sarat Makna (Bubur Shafar)

Menguak Kearifan Lokal yang Sarat Makna (Bubur Shafar)

Oleh: Rizqiyatul Muqorinah
(Mahasantri Marhalah Tsaniyah Semester 3)

Setiap tahun, masyarakat Indonesia, khususnya daerah Jawa, merayakan sebuah tradisi unik yang dikenal dengan “Bubur shafar” atau “Bubur Merah Putih”. Bubur merah putih adalah salah satu bubur yang dijadikan alat untuk mengungkapkan rasa Syukur terhadap Allah Saw. dan hanya ada di bulan Shafar, sebagaimana Nabi Nuh As. yang mengungkapkan rasa syukurnya dengan memasak sisa-sisa bekal pada kejadian banjir bandang yang menimpa kaumnya yang ingkar. Dalam kitab I’anat al-Thalibin juz 2/267 disebutkan:

قَوْلُهُ: وَأَخْرَجَ نُوْحًا مِنَ السَّفِيْنَةِ وَذَلِكَ أَنَّ نُوْحًا – عَلَيْهِ السَّلَامُ – لَمَّا نَزَلَ مِنَ السَّفِيْنَةِ هُوَ وَمَنْ مَعَهُ: شَكَوْا اَلْجُوْعَ، وَقَدْ فَرَغَتْ أَزْوَادُهُمْ فَأَمَرَهُمْ أَنْ يَأْتُوْا بِفَضْلِ أَزْوَادِهِمْ، فَجَاءَ هَذَا بِكَفِّ حِنْطَةٍ، وَهَذَا بِكَفِّ عَدَسٍ، وَهَذَا بِكَفِّ فُوْلٍ، وَهَذَا بِكَفِّ حِمَّصٍ إِلَى أَنْ بَلَغَتْ سَبْعَ حُبُوْبٍ – وَكَانَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ – فَسَمَّى نُوْحٌ عَلَيْهَا وَطَبَخَهَا لَهُمْ، فَأَكَلُوْا جَمِيْعًا وَشَبِعُوْا، بِبَرَكَاتِ نُوْحٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ.

Tatkala Allah Swt. mengeluarkan Nabi Nuh As dari perahu. Lalu beliau dengan pengikutnya berlabuh dan turun dari kapal, mereka merasa lapar sedangkan perbekalan mereka sudah tidak ada. Lalu Nabi Nuh As memerintahkan pengikutnya untuk mengumpulkan sisa-sisa perbekalan mereka. Maka, secara serentak mereka mengumpulkan sisa-sisa perbekalannya; ada yang membawa dua genggam biji gandum, ada yang membawa biji adas, ada yang membawa biji kacang ful,ada yang membawa biji himmash (kacang putih), sehingga terkumpul 7 (tujuh) macam biji-bijian. Peristiwa tersebut terjadi pada hari Asyura. Selanjutnya Nabi Nuh membaca basmalah pada biji-bijian yang sudah terkumpul itu, lalu beliau memasaknya, setelah matang mereka menyantapnya bersama-sama sehingga semuanya kenyang dengan lantaran berkah Nabi Nuh.”

Bubur yang terbuat dari adonan tepung beras ini memiliki warna khas, yaitu coklat muda atau merah dan warna putih. Sehingga dalam tradisi orang Madura bubur ini kerap disebut dengan Tajin Mera Pote. Kata Tajin berarti bubur, semantara Mera pote berarti merah putih.

Tradisi ini diawali dengan do’a bersama, memohon perlindungan dari Allah Swt. Kemudian bubur dibuat dengan penuh kesungguhan, seringkali melibatkan seluruh anggota keluarga atau masyarakat setempat. Setelah itu, bubur disedekahkan kepada tetangga, kerabat, dan orang-orang yang membutuhkan. Selain itu, bubur ini juga sebagai simbol solidaritas antar sesama.

Menurut kepercayaan orang Madura, Bubur Putih merupakan lambang kesucian hati dan kebenaran yang selalu menang dalam catatan Sejarah yang panjang, meskipun kemenangan itu tidak selamanya identik dengan kekuasaan. Sedangkan Bubur Merah hanya sebagai pelengkap terhadap Bubur Putih, layaknya istri yang menjadi pelengkap bagi seroang suami.

Secara filosofis, tradisi ini merupakan ekspresi rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan Allah Swt. dan merupakan media penguat ikatan silaturahim antar sesama warga. Di sisi yang lain, Warna merah pada bubur menyimbolkan keberanian, sementara putih melambangkan kemurnian atau kebersihan, sebagaimana warna merah putih yang ada di bendera Indonesia. Sehingga tidak heran jika sebagian kalangan sesepuh Madura mengaitkan tradisi ini dengan nilai-nilai pendidikan cinta tanah air.

Dengan demikian, tradisi ini secara implisit merupakan bentuk pengamalan dari empat ajaran Islam, yaitu sedekah, bersyukur, cinta tanah air, dan penguat ikatan silaturahim. Keempatnya itu merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan oleh Allah Swt. dan utusan-Nya. Dalam masalah sedekah misalnya, Allah Swt. berfirman:

مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ.

“Perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah seperti (orang-orang yang menabur) sebutir biji (benih) yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al-Baqarah: 261)

            Dan masih banyak lagi ayat dan hadits yang menjelaskan keutamaan sedekah dan ancaman bagi orang yang tidak mau bersedekah.

Dalam masalah bersyukur, Allah Swt. berfirman:

‎وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

Dan (ingatlah juga) ketika Tuhan memberi tahu kalianSesungguhnya jika kalian bersyukur maka kami pasti akan menambah (nikmat) kepada kalian dan jika kalian mengingkarinya maka sesungguhnya azab-ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)

            Dan ayat-ayat beserta hadits yang berhubungan dengan bersyukur terhadap nikmat yang Allah Swt. berikan kepada hamba-hambanya.

Dalam masalah cinta tanah air Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Qashash ayat 85:

 إِنَّ ٱلَّذِى فَرَضَ عَلَيْكَ ٱلْقُرْءَانَ لَرَآدُّكَ إِلَىٰ مَعَادٍ ۚ قُل رَّبِّىٓ أَعْلَمُ مَن جَآءَ بِٱلْهُدَىٰ وَمَنْ هُوَ فِى ضَلَٰلٍ مُّبِينٍ. 

Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur’an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali. Katakanlah: ‘Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata.”

Menurut Imam Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya, kata “Ma’âd” dalam ayat di atas adalah kota Makkah, tanah kelahiran Nabi Muhammad Saw.

Lebih tegas lagi, Syekh Ismail Haqqi Al-Hanafi Al-Khalwathi dalam kitabnya Rûḫul Bayân menjelaskan, bahwa ketika Rasulullah Saw. sedang melakukan perjalanan hijrah ke Madinah, beliau sering membahas tentang kecintaannya terhadap kota Makkah. Seolah beliau ingin mengatakan bahwa mencintai tanah air merupakan sebagian dari iman.

 وفي تَفسيرِ الآيةِ إشَارَةٌ إلَى أنَّ حُبَّ الوَطَنِ مِنَ الإيمانِ، وكَانَ رَسُولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ كَثِيرًا: اَلْوَطَنَ الوَطَنَ، فَحَقَّقَ اللهُ سبحانه سُؤْلَهُ … قَاالَ عُمَرُ رضى الله عنه لَوْلاَ حُبُّ الوَطَنِ لَخَرُبَ بَلَدُ السُّوءِ فَبِحُبِّ الأَوْطَانِ عُمِّرَتْ البُلْدَانُ

Penafsiran ayat tersebut (QS. Al-Qashash ayat 85), terdapat suatu petunjuk bahwa ‘cinta tanah air sebagian dari iman’. Rasulullah Saw. (dalam perjalanan hijrahnya menuju Madinah) banyak sekali menyebut, ‘cinta tanah air, cinta tanah air’. Kemudian Allah mewujudkan permohonannya (dengan kembali ke Makkah)… Sahabat Umar berkata, ‘Jika bukan karena cinta tanah air, niscaya akan rusak negeri yang jelek (gersang). Sebab dengan cinta tanah air lah, negeri-negeri dibangun.”

Untuk silaturahim Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Hujaraat ayat ke 10:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, suapaya kamu mendapat rahmat

            Dari ayat ini kita bisa memahami bahwa kita diperintahkan untuk tidak memutus hubungan kekeluargaan sesama orang mukmin, maka hendaklah kita merekatkan hubungan kekerabatan dengan menyambung silaturahim. Salah satunya adalah dengan mengantar tajin sappar atau bubur merah putih ini kepada para kerabat dekat, para tetangga dan yang lainnya.

            Semantara untuk menghukumi tradisi Bubur Shafar, terdapat dua tinjauan yang sama-sama diperbolehkan:

  1. Hukum membuat bubur. Dalam masalah ini, tentu diperbolehkan dan tidak ada yang melarangnya. Bahkan Rasulullah Saw. dalam suatu riwayat pernah menyuruh Sahabat Abu Dzarrin untuk membuat makanan sejenis bubur, yang ada kemungkinan makanan tersebut adalah bubur seperti yang ada sekarang.
  2. Hukum membuat bubur khusus di bulan shafar lalu disedekahkan kepada orang-orang. Hukumnya juga tentu diperbolehkan dan termasuk tradisi yang baik karena sekali lagi tidak ada dalil yang melarangnya dan juga berbagi makanan itu merupakan anjuran Allah Swt. dan Rasul-Nya.

Dalam literatur ushul fikih, ketika suatu perkara tidak ada nash atau dalilnya maka bukan berarti suatu perkara tersebut dilarang. Dalam kaidah Ushul Fikih disebutkan:

اَلْأَصْلُ فِيْ الْأَشْيَاءِ اَلْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ

Pada dasaranya segala sesuatu itu dihukumi boleh, sampai ada dalil yang mengharamkannya

Bahkan Islam telah memberikan peran tersendiri pada tradisi dan budaya serta bersifat selektif dan akomodatif terhadap budaya-budaya yang ada, khususnya pada wilayah yang profan. Bukti apresiasi Islam terhadap budaya dapat dibuktikan dari dijadikannya adat atau kebiasaan (‘urf) sebagai salah satu bagian dari sumber hukum Islam.

Menurut Syaikh Abdul Wahab Khalaf ‘urf adalah sesuatu yang telah dikenal luas oleh manusia (masyarakat) dan dijalankan secara biasa, baik berupa perkataan atau perbuatan. Untuk mempertegas bahwa ‘urf  ini merupakan sumber hukum Islam, Imam Samsuddin as-Sarkhasiy di dalam kitabnya al-Mabsûth (19/41) merumuskan sebuah kaidah:

الثَّابِتُ بِالْعُرْفِ كَالثَّابِتِ بِالنَّصِّ

Ketetapan adat atau kebiasaan (‘urf) sama seperti ketetapan nash

Kaidah ini juga memiliki kesamaan makna dengan kaidah lainnya yang menyatakan:

العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ

“Tradisi dapat menjadi sumber penetapan hukum”

            Disamping itu, salah satu prinsip penting lain yang digunakan dalam menetapkan hukum atau menilai “sesuatu” adalah kemaslahatan atau kemanfaatan yang riil. Metode ini dalam Ushul Fikih disebut Istishlah atau Maslahah Mursalah. Oleh karena itu, salah satu paramerter untuk menilai tradisi di masyarakat baik atau tidak, boleh atau tidak boleh, bid’ah atau tidak bid’ah adalah bermanfaat dan tidaknya tradisi tersebut. Apabila tradisi tersebut mengandung efek positif (maslahat) atau tidak mengakibatkan efek negatif (mudlarat), maka hukumnya paling tidak ialah diperbolehkan (ibahah). Sekali lagi, selama tradisi tersebut tidak ada nash qath’iy yang melarangnya, maka hukumnya diperbolehkan.

Dengan demikian sudah jelas bahwa tradisi ini adalah tradisi yang baik dan tidak bertentangan dengan ketentuan syari’at, sehingga hukumnya diperbolehkan bahkan termasuk perkara yang dianjurkan oleh syari’at karena dalam tradisi ini banyak mengandung norma agama seperti bersedekah, menyambung silaturahim, dan yang lainnya. Wallhu a’lam

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest