<strong>Pahala Bacaan Alquran Untuk Orang Meninggal, Sampaikah?</strong>

Pahala Bacaan Alquran Untuk Orang Meninggal, Sampaikah?

Oleh: Roifatul Hariroh
(Mahasantri Ma’had Aly Situbondo)

Mengutip karya Imam Sayyid Muhammad bin ‘Alawi Al-maliki Al-hasani, kitab ‘Tahqiq Al ’amal Fi Ma Yanfa’u Al-Mayyit Mina Al’a’mal’ yang secara spesifik membicarakan tentang masalah urgen yakni, sampainya pahala bacaan Alquran orang yang masih hidup untuk dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal. Tak hanya itu, kitab ini juga juga membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan pahala bacaan Alquran, semisal talqin, ta’ziyah, dan perbuatan-perbuatan baik lainnya.

Dalam memahami ayat yang sekilas menegasikan sampainya pahala baca Alquran untuk orang yang sudah wafat tidak lantas ditelan mentah-mentah namun perlu kiranya kita menelusuri jejak makna aslinya. Misalnya, ayat yang termaktub dalam QS. Al-Najm: [53] 39 yang sering dijadikan argumen untuk membantah pendapat yang mengatakan sampainya suatu pahala yang dikirimkan mayit.

 وَاَنْ لَيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعَى

(Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang diusahakannya) [QS. Al-Najm:39]

Secara dzahir ayat tersebut memang seakan-akan berkesimpulan bahwa orang yang sudah meninggal tidak akan mendapat manfaat apa-apa lagi setelah kematiannya, karena orang yang sudah meninggal tidak bisa lagi melakukan hal-hal yang bermanfaat untuk dirinya maupun orang lain. Karena orang dapat melakukan perbuatan baik ketika dia masih berada di dunia (masih hidup).

Namun demikian, untuk memahami suatu nas maka perlu mengaitkan (ribt al-nushus li al-nushus) nas dengan nas lainnya. Sebab, dalam konteks ayat di atas dijumpai juga beberapa nas yang menjelaskan sebaliknya; bisa memperoleh manfaat (pahala) walau dari usahanya orang lain. Ulama Muhaqqiqun dan Ulama Munsifun (Ulama Moderat) dari kalangan Ulama Salaf menetapkan bahwa manfaat untuk mayit bisa berasal dari amalnya sendiri dan juga amal orang lain. Diantaranya adalah Syekh Ibnu Taimiyah dan Syekh Ibnu Qayyim. (hal.6)

Selain itu, ada banyak ragam pendapat terkait interpretasi ayat Al-Najm tersebut sebagaimana keterangan Imam Al-‘Allamah Fakhru Al-Din ‘Utsman bin ‘Aly Al-Zaila’i salah satu interpretator kitab Kanzu Al-Daqa’iq khususnya dalam bahasan haji ketika diatasnamakan orang lain.

Pendapat pertama dikemukakan oleh Imam Ibnu ‘Abbas bahwasanya ayat tersebut dinasakh oleh ayat وَالَّذِيْنَ أمَنُوْا وَات!َبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِاِيْمَانٍ   (Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan. Q.S. At-Tur:21). Pendapat (Qiil) kedua menjelaskan bahwa ayat tersebut khusus untuk kaumnya Nabi Musa dan Nabi Ibrahim ‘Alaihima Assalam dengan alasan karena terjadinya peristiwa tersebut berasal dari suhuf keduanya, berdasarkan firman Allah swt.  اَمْ لَمْ يُنَبَّأْ بِمَا فِيْ صُحُفِ مُوْسَى وَ اِبْرَاهِيْمَ الَّذِيْ وَفَّى   (ataukah belum diberitahukan (kepadanya) apa yang ada dalam lembaran-lembaran (kitab suci yang diturunkan kepada) Musa?. Dan (lembaran-lembaran) Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji. An Najm:36-37).

Pendapat ketiga memaknai kata “Insan” sebagai orang kafir. Sedangkan orang mu’min berhak menerima apa yang dilakukan oleh saudara muslimnya. Pendapat keempat mengomentari bahwa hal tersebut bukan dari aspek keadilan melainkan dari aspek karunia Allah.

Pendapat kelima memberi argumen melalui kaidah nahwu yakni lam yang terdapat pada kata “Insan” itu bermakna ‘ala (merugikan) seperti firman Allah وَاِنْ اَسَأْتُمْ فَلَهَا اَيْ عَلَيْهَا   (Dan jika kamu berbuat buruk maka akibatnya untukmu) dan seperti firman Allah لَهُمْ الَّعْنَةُ اَيْ عَلَيْهِمْ   (Laknat atas kalian).  Sebagaimana ketentuan dalam kaidah bahasa arab bahwa penggunaan lam itu dimaksudkan untuk hal yang menguntungkan sedangkan ‘ala dimaksudkan untuk hal yang merugikan. begitulah menurut pendapat kelima ini. Yang dimaksud dengan hal yang tidak akan sampai pada orang yang sudah meninggal adalah hal yang merugikannya tidak dengan apa yang menguntungkannya.

Pendapat terakhir mengemukakan argumennya dengan sangat rasional. Tidak membantah makna dzahir ayat tersebut namun memberikan makna yang sangat dalam yang terdapat pada ayat itu. Memang orang itu akan mendapat balasan dari apa yang mereka usahakan sendiri bukan karena orang lain, namun usaha ini ada kalanya dengan melewati perantara. Contohnya dengan memperbanyak teman dan memperoleh iman  sehingga ia menjadi orang yang memperoleh manfaat berupa syafaatnya orang-orang yang memberikan syafaat. Artinya, usaha untuk memperbanyak kawan dan berbuat baik dengan saudara muslimnya itu menjadi sebab orang lain mendoakannya kelak kala mati. Sehingga tidak bisa dikatakan doa-doa yang dipanjatkan oleh sahabat-kerabatnya adalah perbuatan orang lain melainkan usahanya sendiri. Karena bagaimana pun mayit itu memiliki andil dengan cara banyak berteman dan berbuat baik kepada sesama muslim di masa hidupnya yang menyebabkan ia didoakan.

Mengenai hadis اِذَا مَتَ ايْنُ أَدَم اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ   (apabila anak adam telah mati maka ‘amalnya terputus kecuali tiga) bukan berarti ketika sudah mati maka terputus pula dari pahala dari amal orang lain. Sebab, dalam kelanjutan hadis tersebut dikatakan bahwa anak yang saleh bisa menjadi amal yang terus mengalir ketika mendoakannya. Apakah ini bukan amal orang lain? Dari ragam pendapat di atas menegaskan bahwa pahala bacaan Alquran untuk mayat adalah sampai ke mayat.

Wallahu A’lam

Image by luis_molinero on Freepik

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest