Sejarah Berdirinya Ma’had Aly Situbondo

Ma'had Aly merupakan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) berbasis pesantren. Pendidikan yang diselenggrakan di Ma'had Aly tidak sama dengan pendidikan yang diselenggarakan di kampus-kampus keagamaan Islam pada umumnya. Pembelajaran di Ma’had Aly lebih menitik beratkan pada kajian kitab kuning ala pesantren. Oleh karena itu, siapapun yang hendak belajar di lembaga perguruan tinggi ini harus sudah mapan dalam membaca kitab kuning. Penguasaan tentang ilmu nahwu, sharraf, dan fikih-fikih dasar harus benar-benar matang di ‘luar kepala’. Secara faktual, Ma’had Aly sudah berdiri sejak tahun 1990. Penggagas dan pendiri pertamanya adalah KHR. As’ad Syamsul Arifin, Pengasuh PP. Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo. Proses pendirian Ma’had Aly Situbondo tidak hanya memakan banyak waktu dan forum, namun juga banyak melibatkan ulama. Dan ulama yang terlibat di dalamnya pun bukan hanya ulama lokal Nusantara, namun juga ulama timur tengah yang berada di seberang sana. Sekurang-kurangnya ada empat tahapan forum yang dijadikan sarana untuk membicarakan perihal pendirian Ma’had Aly Situbondo ; Forum Lokal, Forum Regional, Forum Nasional, dan Forum Internasional.

Forum Lokal

Pertama, Forum Lokal. Forum tersebut dilaksanakan di kediaman Kiai As’ad sendiri pada tahun 1989, bertepatan dengan palaksanaan Haul KHR. Syamsul Arifin bin Ruham, ayahanda Kiai As’ad.

Dalam forum tersebut Kiai As’ad dan beberapa kiai lainnya yang berasal dari berbagai daerah menyampaikan kegelisahannya terkait merosotnya kualitas pesantren dan kelangkaan fuqaha’ pada saat itu. Untuk menjawab kegelisahan tersebut maka Kiai As’ad dan kiai lainnya yang hadir pada saat itu bersepakat untuk mendirikan sebuah lembaga khusus yang mempelajari dan mengkaji kitab-kitab salaf.

Kemudian-melalui forum ini juga- dibentuklah tim kecil untuk mengawal mufakat para kiai tersebut untuk mendirikan lembaga khusus yang konsentrasi mempelajari dan mengkaji kitab-kitab salaf. Tim tersebut antara lain terdiri dari.

  1. Hasan Basri, Lc. (Situbondo) sebagai Ketua Tim.
  2. A. Wahid Zaini, SH. (Probolinggo) sebagai anggota.
  3. Yusuf Muhammad, LLM. (Jember) sebagai anggota.
  4. Nadhir Muhammad (Jember) sebagai anggota.
  5. Khatib Habibullah (Banyuwangi) sebagai anggota.
  6. Afifuddin Muhajir (Situbondo) sebagai anggota.

Setelah mendengar gagasan demi gagasan yang disampaikan oleh para kiai dalam forum lokal tersebut maka Tim Kecil yang diketuai oleh Alm. KH. Hasan Basri, Lc. langsung menyusun beberapa langkah teknis yang lebih kongkret untuk pendirian lembaga yang kelak memiliki banyak kontribusi untuk NU.

Perlu diketahui, dalam forum lokal ini masih belum ditentukan nama lembaga yang akan didirikan.

KHR. As'ad Syamsul Arifin, Muassis Ma'had Aly Situbondo

Forum Regional

Kedua, Forum Regional. Forum regional merupakan tindak lanjut atas gagasan yang sudah disepakati dalam pertemuan sebelumnya (forum lokal). Pertemuan tersebut dilaksanakan di kediaman KH. Khatib Habibullah, Glenmore, Banyuwangi.

Perihal yang menjadi topik pembahasan dalam pertemuan tersebut antara lain meliputi tentang penyusunan draft silabi, tenaga edukatif dan beberapa perangkat dasar lain yang dibutuhkan. Setelah beberapa hal tersebut rampung dikaji dan diskusikan maka para kiai yang tergabung dalam Tim Kecil tersebut pun mantap untuk mempublikasikan recana pendirian lembaga khusus tersebut ke level forum yang lebih luas, yakni forum nasional.

Forum Nasional

Ketiga, Forum Nasional. Disebut forum nasional karena ada sekitar delapan puluh kiai  yang berasal dari berbagai penjuru nusantara yang dilibatkan dalam forum tersebut. Sebagian di antaranya adalah KH. Ali Yafie (Jakarta), KH. M.A. Sahal Mahfudz (Pati), KH. Rodi Sholeh (Jepara), KH. M. Tholhah Hasan (Malang), KH. A. Aziz Masyhuri (Jombang), KH. Ali Hasan al-Dariy al-Nahdi (Sumatera), dan lain-lain. Adapun forum yang mewadahi pertemuan tersebut adalah RMI Pusat yang pada saat itu dipimpin oleh KH. A. Wahid Zaini.

Dalam forum tersebut KH. Hariri Abdul Adhim dan H. Zahrawi Musa yang bertindak sebagai delegasi Tim Kecil untuk menyampaikan atau mempresentasikan draft kurikulum yang sudah dikaji dan diskusikan di forum-forum sebelumnya.

Presentasi yang disampaikan oleh delegasi Tim Kecil terkait pendirian lembaga khusus yang mempelajari dan mengkaji kitab-kitab salaf (Ma’had Aly) disambut baik oleh para kiai yang hadir pada saat itu.

Akhirnya, apa yang disampaikan oleh Tim Kecil ditindaklanjuti dan dibahas kembali secara mendalam oleh kiai-kiai yang hadir pada saat itu selama dua hari-dua malam.

Dari pembahasan yang dilakukan lahirlah beberapa rumusan untuk pendirian Ma’had Aly kedepan. Sebagian rumusan yang lahir dari forum itu antara lain adalah tentang AD/ART Ma’had Aly, kurikulum Ma’had Aly dan pokok-pokok pemikiran tentang pengembangan Fikih dan Ushul Fikih yang akan diterapkan di Ma’had Aly ke depan. Selain itu, forum tersebut juga merekomendasikan agar pendirian lembaga tersebut dipusatkan di PP.Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo. Dan melalui forum ini pula “Ma’had Aly” disepakati sebagai nama bagi lembaga yang baru lahir ini.

Selang beberapa hari, Tim Kecil yang terlibat dalam forum nasional itu menyampaikan kepada Kiai As’ad bahwa para kiai sudah setuju dan merestui inisiatif pendirian Ma’had Aly.

Menerima laporan tersebut Kiai As’ad tidak langsung serta merta mengambil keputusan untuk mendirikan dan membuka Ma’had Aly. Kiai As’ad justru memerintahkan Tim Kecil untuk melakukan proses lagi, yakni mendatangi dan meminta restu kiai-kiai sepuh yang pada saat itu berhalangan hadir dalam forum nasional. Kiai-kiai sepuh yang kemudian didatangi oleh Tim Kecil untuk dimintai restunya antara lain adalah KH. Mahrus Ali dan Kiai Ali Maksum, Krapyak. Sama seperti kiai-kiai sebelumya, KH. Mahrus Ali dan Kiai Ali Maksum sangat satuju atas inisitaif Kiai As’ad untuk mendirikan Ma’had Aly.

Bahkan Kiai Aly Maksum memberi komentar singkat atas draft pendirian Ma’had Aly yang disodorkan kepadanya ;

“Kalau begitu Kiai As’ad akan mencetak Ketua Syuriah NU mulai tahun 2000-an”, kata Kiai Ali Maksum kepada anggota Tim Kecil.

KH. Hasan Abdul Wafi
Dr. KH Sjechul Hadi Permono SH. MA.

Forum Internasional

Forum Internasional. Saya menyebutnya Forum Internasional dengan alasan karena yang terlibat dalam forum ini bukan lagi ulama lokal atau nasional, melainkan ulama internasional.

Tepat setelah meminta restu kepada ulama-ulama sepuh di tanah air, untuk memantapkan ikhtiyarnya, Kiai As’ad mengutus KH. Nadhir Muhammad dan KH. Yusuf Muhammad untuk meminta restu dan pengesahan kurikulum yang akan diterapkan di Ma’had Aly kepada tiga ulama besar yang bermukim di tanah suci Mekkah al-Mukarromah,

  1. Syaikh Yasin Isa al-Fadani.
  2. Sayyid Muhammad bin Alawy al-Maliki al-Hasani.
  3. Syaikh Isma’il bin Ustman al-Yamani

Setelah draft pendirian Ma’had Aly sampai di tangan tiga ulama tersebut, dilakukanlah beberapa koreksi.

Pertama, Syaikh Yasin Isa al-Fadani.

Ada satu catatan dari Syaikh Yasin Isa al-Fadani atas draft pendirian Ma’had Aly yang disodorkan oleh dua orang utusan Kiai As’ad itu. Catatan itu terletak pada materi kuliah yang akan diajarkan di Ma’had Aly. Menurut beliau, Ma’had Aly tidak perlu mencantumkan kitab Mazahib al-Arba’ah sebagai materi pokok. Alasannya, karena menurut beliau, di dalam kitab Mazahib al-Arba’ah banyak berisi pendapat imam-imam mazhab yang marjuh.

Atas koreksi ini, akhirnya Ma’had Aly Situbondo menetapkan Fath al-Muin dan Fath al-Wahhab sebagai materi pokok yang harus dikuasai dalam bidang fikih. Sementara kitab-kitab lain seperti Mazahib al-Arba’ah misalnya, hanya dijadikan sebagai pendamping.

Selain memberi koreksi, Syaikh Yasin Isa Al-Fadani juga memberi usulan agar Ma’had Aly merekrut 500 peserta didik di setiap tahunnya. Tujuannya, untuk mempercepat proses kaderisasi hakim yang mampu berijtihad. Tapi sayang, keterbatasan sarana-prasarana membuat usulan tersebut masih belum pernah bisa diwujudkan sampai saat ini.


Kedua, Syaikh Sayyid Muhammad Alawy al-Maliki.

Selanjutnya, dua orang utusan Kiai As’ad itu membawa draft pendirian Ma’had Aly ke hadapan Syaikh Sayyid Muhammad Alawy al-Maliki. Akan tetapi, beliau tidak berani melakukan koreksi apapun atas draft itu. Karena beliau tahu, draft itu sebelumnya sudah dikoreksi oleh Syaikh Yasin Isa al-Fadani. Dalam kesempatan ini, beliau hanya berkomentar “Wallahi Kiai As’ad mujahid kabir”. Beliau terus berulang kali menyampaikan komentar itu sampai tiga kali.

Ketiga, Syaikh Isma’il bin Ustman al-Yamani.

Sama seperti yang dilakukan oleh Syaikh Sayyid Muhammad Alawy, Syaikh Isma’il juga tidak memberi koreksi apapun atas draft yang disodorkan oleh dua orang utusan Kiai As’ad itu. Beliau hanya merestui lalu memanjatkan doa untuk kelancaran dan kebaikan pendirian Ma’had Aly ke depan.

Singkat cerita, setelah mengantongi restu dari tiga ulama Mekkah terkemuka itu, akhirnya dua kurir yang di utus oleh Kiai As’ad itu memutuskan kembali ke tanah air. Begitu telah menghadap kiai As’ad, dua kurir tersebut menyampaikan secara rinci kepada Kiai As’ad perihal restu dan pengesahan yang dilakukan oleh tiga ulama terkemuka di Mekkah al-Mukarromah itu.

Mendengar penuturan dari dua utusannya itu, seketika Kiai As’ad langsung berdawuh :

“Mun la olle restu deri olama Mekkah tadek burungnga mokkak Ma’had Aly. Ajeri santre jerea Fath al-Qorib ben Fath al-Mu’in. Alim tang santre, alem! Alem! Alem”.

Terjemah : “Kalau sudah memproleh restu dari Ulama Mekkah, maka tidak ada kata batal untuk mendirikan Ma’had Aly. Ajarin santri itu Fath al-Qorib dan Fath al-Mu’in. Santri saya (akan) pintar, pintar, pintar, dan pintar!” Kata Kiai As’ad, menanggapi penuturan dari dua orang utusannya itu. Turut hadir juga dalam pertemuan paling bersejarah itu KH. Afifuddin Muhajir dan KH. Hasan Basri, Lc.

Setelah mendapat restu dan kemantapan hati, dilakukanlah beberapa persiapan untuk melaksanakan peresmian Ma’had Aly. Acara persiapan peresmian ini dilaksanakan di PP. Nurul Jadid, Paiton. Acara ini melibatkan semua anggota tim dan beberapa kiai yang sudah ditunjuk sebagai pengajar. Di antaranya adalah

  1. Hasan Abdul Wafi.
  2. Abd. Wahid Zaini.
  3. Ma’shum Syafi’i.
  4. Dailami Ahmad.
  5. Sofyan Miftahul Arifin.
  6. Dr. KH Sjechul Hadi Permono SH. MA.
  7. KH. Muhyiddin Suwondo MA.
  8. Nadir Muhammad, MA.
  9. Yusuf Muhammad MA.
  10. Imron Hamzah.
  11. KH. Asy’ari Ahmad.
  12. Hariri Abdul Adhim.
  13. Hasan Basri, Lc.
  14. Afifuddin Muhajir.
  15. Dhofir Djazuli.
  16. KH. Salwa Arifin.
  17. Khotib Habibullah.

Dari forum musyawarah yang sederhana ini, akhirnya ada beberapa keputusan yang berhasil disepakati. Pertama, menentukan waktu peresmian pembukaan Ma’had Aly. Kedua, menentukan waktu pendaftaran masuk Ma’had Aly (Februari-Mei). Ketiga, menentukan waktu tes masuk Ma’had Aly (Juni). Keempat, menetapkan beberapa daftar dosen yang ditunjuk untuk mengajar di Ma’had Aly. Kelima, menentukan hari perkuliahan di Ma’had Aly. Untuk poin yang ketiga, peserta musyawarah menyepakati KH. Hasan Abdul Wafi sebagai penguji satu-satunya.

Atas dasar keputusan di atas, akhirnya pada tanggal 21 Februari 1990, diselenggarakanlah acara peresmian Ma’had Aly pertama di Indonesia dengan nama lengkap al-Ma’had al-‘Aly Lil ‘Ulum al-Islamiyah Qism al-Fiqh.

Menurut penuturan KH. Abdul Moqsith Ghazali, salah seorang saksi hidup detik-detik berdirinya Ma’had Aly, acara yang diselenggarakan di PP. Salafiyah Syafiiyah Sukorejo tersebut dihadiri oleh puluhan kiai-kiai besar dari berbagai generasi. Di antaranya adalah KH. Maimoen Zubair, Prof. KH. Hasan al-Dariy, KH. Musthafa Bisri, KH. Hasan Abdul Wafi, KH. Wahid Zaini, KH. Yusuf Muhammad, KH. Imron Hamzah, dan lain-lain.

Setelah Ma’had Aly resmi dibuka, di akhir acara Kiai. As’ad memanggil KH. Hasan Basri, Lc, santri sekaligus orang kepercayaan beliau. Kepada KH. Hasan Basri, Lc, Kiai As’ad berdawuh

“Engkok satia bhunga, tak andik otang ka guru (Hadratussyaikh KH. Hasyim Asyari). Kabele ka Dhofir (KH. Dhofir Munawwar), ka Khofi (KH. Afifuddin Muhajir) ajeri ketab. Enjek tang santre jerea alem!”

 Terjemah : “Sekarang saya benar-benar bahagia. Tidak punya tanggungan hutang lagi ke guru saya (Hadratussyaikh KH. Hasyim Asyari). Sampaikan ke Dhofir (KH. Dhofir Munawwar), juga ke Khofi (KH. Afifuddin Muhajir) ajarin kitab. Percayalah, santri saya itu pintar!” kata beliau kepada KH. Hasan Basri, Lc, usai acara peresmian pendirian Ma’had Aly.

Meski sudah resmi berdiri sejak tanggal 21 Februari 1990, namun karena sarana-prasananya masih belum memadai maka kegiatan akademik Lembaga Kader Ahli Fikih tersebut baru bisa dilaksanakan sejak bulan Juni.

Dan ketika kegiatan akademik sudah berjalan kurang-lebih satu bulan, Kiai As’ad Syamsul Arifin yang pada saat itu menjabat sebagai Mudir Am Ma’had Aly jatuh sakit. Hal ini wajar terjadi kepada Kiai As’ad. Karena pada saat itu usia Kiai As’ad memang sudah cukup sepuh.

Setelah mendengar bahwa Kiai As’ad sedang jatuh sakit, seketika banyak kiai-kiai yang berdatangan menjenguk beliau. Dan di detik-detik terakhirnya itu Kiai As’ad menitipkan Ma’had Aly kepada para kiai yang menjenguknya. Bahkan beberapa di antaranya diminta agar meluangkan waktu untuk ngajar di Ma’had Aly. Sebut saja seperti KH. Ali Yafi dan Dr. Fahmi Saifuddin. Tidak ketinggalan, Kiai As’ad juga meminta kerelaan KH. Khatib Umar, yang pada saat itu juga hadir menjenguknya, untuk mendoakan lokasi Ma’had Aly.

Tidak lama setelah itu, tepat pada tanggal 04 Agustus 1990 sang mujahid kabir itu pun berpulang dengan tenang, mewariskan Lembaga Kader Ahli Fikih yang kelak menjadi tumpuan ummat untuk menyelesaikan berbagai macam persoalan keagamaan.[srf]

Pin It on Pinterest

Exit mobile version