Kuliah Pagi (8): Macam-Macam Ijmak

Kuliah Pagi (8): Macam-Macam Ijmak

Oleh: Mochamad Badawi Yusuf
(Mahasantri Marhalah Tsaniyah Semester 6)

Ijmak dipandang dari proses terwujudnya terbagi menjadi dua: sharih dan sukuti. Ijmak sharih bisa diartikan sebagai ijmak yang sesungguhnya, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid di masa itu untuk memberikan suara sama mengenai sebuah peristiwa. Jika suara yang terkumpul hanya sebagian dan yang lain hanya diam, inilah yang disebut ijmak sukuti, atau boleh juga disebut sebagai ijmak í’tibari.

Ijmak yang kita bahas mulai kemarin merupakan ijmak sharih atau juga disebut sebagai ijmak hakiki, ijmak yang sesungguhnya. Dikatakan “sesungguhnya” karena para ulama sepakat ijmak sharih menjadi salah satu landasan hukum yang wajib untuk ditaati. Kedudukan ijmak semacam ini berposisi sama dengan nash syar’i, al-Qur’an dan as-Sunnah.

Mengenai ijmak sukuti, ulama berselisih pandang. Mayoritas ulama berpendapat bahwa ijmak sukuti tidak berposisi sebagai dalil syar’i melainkan hanya sebatas pandangan individu mujtahid. Sehingga hukum yang dihasilkan tidaklah mengikat dan masih ada ruang bagi mujtahid lain untuk berijtihad.

Mengenai hal ini, ulama hanafiah memberikan beberapa catatan agar ijmak sukuti memiliki kekuatan hukum yang sama dengan ijmak sharih, mengikat dan wajib untuk ditaati. Pertama, mujtahid tetap diam setelah disodorkan kasus yang terjadi berikut juga pandangan mujtahid lainnya. Kedua, ada waktu yang cukup bagi mujtahid itu untuk melakukan perenungan dan riset. Ketiga, tidak ada faktor yang menghalangi mujtahid tersebut memberikan pendapat.

Dengan terpenuhinya tiga hal di atas, menurut ulama hanafiah, maka posisi ijmak sukuti setara dengan ijmak sharih sebagai dalil syar’i. Sekali lagi menurut ulama hanafiah diamnya seorang mujtahid merupakan isyarat lampu hijau, legalisasi. Tepatnya boleh dikatakan bahwa seorang mujtahid tidak boleh diam terhadap setiap persoalan umat. Jika tersirat sekilas dalam pikirannya bahwa ia tidak setuju maka tentu dia berkewajiban untuk mengungkapkan itu sebab pantangannya adalah ancaman kitman al-‘ilm (menyembunyikan ilmu).

Mayoritas ulama yang menolak ijmak sukuti sebagai dalil syar’i beralasan bahwa sebuah perkataan atau pendapat tidak bisa dinisbatkan kepada orang diam. Artinya orang yang diam tidak bisa dipastikan setuju atau tidaknya. Sebab tidak ada kepastian itulah tidak mungkin untuk dikatakan bahwa telah terjadi ijmak.

Di samping itu, ada banyak faktor yang tentu menjadikan seorang mujtahid tidak segera menampilkan pendapatnya. Faktor tersebut adakalanya bersifat eksternal dan ada pula yang bersifat internal yang keseluruhannya mustahil untuk diperinci satu persatu.

Dengan melihat dua pandangan di atas, secara kasat tidak ada kontradiksi antara keduanya. Dalam artian keduanya sama-sama setuju bahwa ijmak sukuti bukanlah dalil syar’i selama syarat dan ketentuan yang diajukan oleh ulama hanafiah tidak terpenuhi. Sebaliknya jika ketiganya terpenuhi justru kesangsian dari mayoritas ulama di atas sudah teratasi. Dengan demikian tidak perlu adanya tarjih sebagaimana yang dilakukan oleh Syekh Abdul Wahab Khalaf.

Terakhir, ijmak jika dipandang dari sisi kekuatan hukumnya terbagi menjadi dua. Kedua pembagian ini merupakan konsekuensi dari pembagian di atas. Berdasarkan pembagian tersebut, ijmak adakalanya bersifat qath’i dan ada pula yang zanni. Ijmak yang qath’i adalah ijmak yang sharih, sedangkan yang zanni adalah ijmak sukuti. Konsekuensi dari ijmak qath’i adalah tertutupnya ruang ijtihad setelahnya pada kasus yang sama, sehingga hukum yang dihasilkanpun mengikat setiap kalangan dan tidak boleh disalahi. Sebaliknya untuk yang zanni masih membuka peluang bagi mujtahid lain untuk melakukan ijtihad.

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest