Ternyata Ulama Berbeda Pendapat dalam Mengategorikan Air Musta’mal

Ternyata Ulama Berbeda Pendapat dalam Mengategorikan Air Musta’mal

Oleh: M. Yoga Alfians
(Mahasantri Marhalah Tsaniyah Semester I)

Para ulama nampaknya mempunyai berbagai pandangan mengenai air musta’mal terkait apa saja yang tergolong air musta’mal, keabsahannya sebagai alat bersesuci dan semacamnya. Perbedaan pandangan ini bisa dilihat ketika kita mula-mula membaca kitab Fath al-Wahhab karya Syekh Zakariya al-Anshary. Pada kitab tersebut menerangkan bahwa air musta’mal merupakan satu macam air yang tidak bisa digunakan bersesuci, tetapi itu hanya berlaku untuk air yang pernah digunakan untuk bersesuci yang bersifat fardu (musta’mal fi fardh). Maksud dari basuhan yang bersifat fardu adalah basuhan yang harus ada (ma la budda minhu), baik basuhan itu berimplikasi dosa untuk yang meninggalkannya ataupun tidak, baik basuhan tersebut berupa ibadah ataupun bukan. Contoh basuhan yang berimplikasi dosa bagi yang meninggalkannya dan berupa ibadah adalah basuhan pertama pada setiap basuhan yang merupakan rukun wudu. Contoh basuhan yang tidak berimplikasi dosa bagi yang meninggalkannya adalah wudunya anak kecil yang belum mukallaf. Contoh basuhan yang bukan ibadah adalah air yang telah digunakan untuk mandinya wanita kafir dzimmi supaya bisa halal untuk dijima’ oleh tuan/sayyidnya (jika wanita itu budak) atau suaminya. Maka dari itu, air yang digunakan pada basuhan yang tidak bersifat fardu masih bisa digunakan untuk bersesuci. Seperti basuhan kedua dan ketiga pada setiap basuhan yang merupakan fardunya wudu serta basuhan tajdid al-wudu. (Zakariya bin Muhammad al-Anshary, Fath al-Wahhab bi Syarh Manjaj al-Thullab, 6)

Di sisi lain, Syekh Zakariya al-Anshary menawarkan suatu pengandaian pendapat yang berbeda dengan keterangan di atas. Beliau mengajak pembacanya untuk kembali melihat surat al-Furqan ayat 48 yakni;

وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورا

Redaksi “thahur” pada ayat di atas mengikuti wazan “fa’ul”, yang mana wazan “fa’ul” adalah wazan yang menghendaki pengulangan. Artinya al-Quran menggunakan redaksi “thahur” yang menghendaki bahwa air itu bisa digunakan untuk bersesuci walaupun sebelumnya sudah pernah digunakan bersesuci. Pendapat yang beliau andaikan ini kemudian beliau sanggah sendiri dengan mengatakan bahwa wazan “thahur” itu juga bisa mempunyai makna terhadap nama alat perbuatan (isim alat) seperti lafaz “sahur” yang bermakna makanan sahur. Maka maksud lafaz “thahur” di ayat itu adalah alat untuk bersesuci. (Zakariya bin Muhammad al-Anshary, Fath al-Wahhab bi Syarh Manjaj al-Thullab, 6)

Masih di kitab yang sama, Syekh Zakariya al-Anshari juga mengutip pendapat Imam al-Rafi’i bahwa air musta’mal sebenarnya masih tergolong air mutlak. Pendapat ini dinilai shahih menurut kebanyakan ulama’. Namun menurut beliau, air musta’mal tersebut tidak bisa digunakan untuk bersesuci karena ta’abbudi. Sebab hukum air musta’mal ini merupakan pengecualian dari hukum air mutlak. (Zakariya bin Muhammad al-Anshary, Fath al-Wahhab bi Syarh Manjaj al-Thullab, 6)

Pendapat yang lain juga bisa ditemukan di dalam kitab asal dari kitab matannya Fath al-Wahhab ini (Manhaj al-Thullab) yakni kitab Minhaj al-Thalibin karya Imam al-Nawawi. Pada kitab tersebut diterangkan bahwa pendapat yang mengatakan air musta’mal adalah air yang pernah digunakan untuk bersesuci yang bersifat fardu ialah qaul jadidnya Imam al-Syafi’i. Di sana juga dipaparkan pendapat sebagian ulama bahwa bukan hanya bersesuci yang bersifat fardu yang bisa membuat air jadi musta’mal, yang bersifat sunnahpun juga bisa membuat air menjadi musta’mal sehingga tidak lagi mensucikan. (Abu Zakariya Muhyi al-Din Yahya al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin wa Umdah al-Muftin fi al-Fiqh, 9)

Jika dilihat lebih luas lagi dengan mengecek kitab al-Wajiz karya Imam Ghazali, ditemukan teks sebagaimana berikut;

ولا يستثنى عنه الا الماء المستعمل في الحدث فانه طاهر (ح) غَيْرُ طَهُورٍ (م) عَلَى القَوْلِ الجدِيدِ

Teks ini tampak serupa dengan pendapat Imam al-Rafi’i yang dikutip oleh Zakariya al-Anshari tadi bahwa air musta’mal merupakan pengecualian dari air mutlak. Maka dari itu, Imam al-Ghazali menyimpulkan dalam kitab tersebut bahwa air musta’mal statusnya suci tetapi tidak mensucikan berdasarkan qaul jadid (Hujjah al-Islam Abu Hamid al-Ghazali, al-Wajiz fi Fiqh al-Syafi’i, 25)  

Jika kita menengok kitab asal dari al-Wajiz ini, yakni al-Wasith fi al-Madzhab yang juga dikarang oleh Imam al-Ghazali, kita kembali dipaparkan perbedaan pendapat mengenai status air musta’mal. Pendapat yang mengatakan bahwa status air musta’mal itu suci tetapi tidak mensucikan adalah pendapat dari Imam al-Syafi’i. Sementara menurut Imam Malik, air musta’mal statusnya suci sekaligus bisa mensucikan. Pendapat Imam Malik ini ternyata selaras dengan pengandaian pendapat yang ditawarkan oleh Syekh Zakariya al-Anshary di atas. Lebih ekstrim lagi, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa air musta’mal statusnya najis.  Pendapat Imam Abu Hanifah ini diambil dari riwayat muridnya yakni Abu Yusuf. (Hujjah al-Islam Abu Hamid al-Ghazali, al-Wasith fi al-Madzhab, 1: 42)

NO.YANG TERMASUK AIR MUSTA’MALKITAB
1.Air yang pernah digunakan untuk bersesuci yang bersifat fardu (musta’mal fi fardhin)Fath al-Wahhab
2.Air musta’mal adalah air mutlak yang hukumnya dikecualikanFath al-Wahhab (mengutip pendapat Imam al-Rafi’i) dan al-Wajiz
3.Air yang sudah pernah digunakan untuk basuhan fardu maupun sunnahMinhaj al-Thalibin

Setidaknya ada dua sebab mengapa air yang asalnya suci sekaligus menyucikan berubah menjadi suci tetapi tidak lagi menyucikan. Pertama, sebab air tersebut sudah digunakan untuk beribadah. Kedua, hilangnya mani’ (penghalang) sebab air tersebut. Maksud mani’ di sini semisal hadas yang menjadi mani’ untuk salat, mani’ tersebut hilang jika sudah dilaksanakannya bersesuci. Maka dari itu, jika kita ingin menilai air bekas basuhan, dan jika kedua alasan ini tidak ada, maka status air tersebut tetap suci dan menyucikan. Semisal basuhan wudu yang keempat. Sedangkan jika hanya ditemukan alasan pertama, yakni jika air sudah digunakan untuk beribadah tanpa menghilangkan mani’, seperti basuhan kedua dan ketiga, berkumur-kumur dalam wudu, mandi untuk salat ied/salat jum’at dan memperbaharui wudu(tajdid al-wudu), maka ada dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan tetap suci menyucikan. Pendapat kedua mengatakan suci tetapi tidak lagi menyucikan. Pendapat kedua inilah yang mendasari kutipan Imam Nawawi di atas dalam kitab Minhaj al-Thalibin-nya bahwa basuhan yang bersifat sunnah bisa mengubah status air yang awalnya menyucikan menjadi tidak menyucikan, sebab air tersebut sudah digunakan untuk beribadah sekalipun tidak sampai menghilangkan mani’. (Hujjah al-Islam Abu Hamid al-Ghazali, al-Wasith fi al-Madzhab, 1: 42-43)

  • Facebook
  • Twitter
  • Pinterest

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest

Exit mobile version