Tak Semua Yang Dari Nabi Harus Kita Ikuti

Tak Semua Yang Dari Nabi Harus Kita Ikuti

Oleh: M. Yoga Alfians
(Mahasantri Marhalah Tsaniyah Ma’had Aly Situbondo)

Akhir-akhir ini saya sempat meragukan dan memersoalkan hukum yang dalilnya diperoleh dari al-Sunnah. Sebab, betapun al-Sunnah menjadi landasan hukum peringkat dua setelah al-Qur’an, al-Sunnah adalah sesuatu yang dilakukan atau diucapkan Nabi yang juga manusia sama seperti kita. Hal ini juga berbarengan dengan kekhawatiran saya terhadap oknum muballig yang sembarangan menggunakan hadits dalam ceramah dan fatwanya. Banyak dari mereka yang mengenelasir dan berkesimpulan “pokoknya, apa saja yang dilakukan oleh Nabi harus diikuti.” Alhasil banyak di antara kita yang akhirnya malah cenderung fanatik buta dan mengkultuskan Nabi. Sehingga perlu kiranya untuk memilah-milih sabda Nabi yang mana yang harus diikuti serta perbuatan mana yang harus kita teladani.

Dalam kajian Ushul Fikih, sudah barang tentu para pengkaji tidak luput dari pembahasan al-sunnah. Kata al-sunnah oleh Abdul Wahhab Khalaf dalam kitabnya ilm ushul al-fiqh didefinisikan sebagai sesuatu apapun yang muncul dari Rasulullah SAW. Sesuatu itu baik berupa perkataan (qaul), tindakan (fi’il) dan pengakuan (taqrir) dari beliau. (Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, 2010, 34-35) Dari definisi ini, maka al-sunnah terbagi menjadi tiga. Dalam ketiga jenis al-sunnah yang akan diurai, contoh yang akan saya paparkan adalah contoh yang barangkali cukup mudah dan familiar yakni seputar bersesuci. Ketiga macam al-sunnah tersebut adalah sebagaimana berikut;

  1. Al-Sunnah al-Qauliyyah

Al-Sunnah al-Qauliyyah  merupakan sabda atau ucapan Nabi Muhammad SAW sesuai konteks, keadaan dan kesempatan yang bermacam-macam. Contohnya adalah sebagai berikut;

وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم: إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ, ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُودَ فَلْيَتَوَضَّأْ بَيْنَهُمَا وُضُوءًا. رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Artinya: “Dari Abi Sa’id al-Khudri RA. Rasulullah SAW. bersabda: Jika salah satu dari kalian telah mendatangi (menggauli) istri kalian lalu kalian ingin mengulanginya maka hendaknya kalian  beserta istri kalian berwudhu’.”(HR. Muslim)

2. Al-Sunnah al-Fi’liyyah

Al-Sunnah al-Fi’liyyah merupakan berbagai perbuatan Nabi Muhammad SAW sesuai konteks, keadaan dan kesempatan yang bermacam-macam. Contohnya adalah sebagai berikut;

وَعَنْ عَائِشَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا – قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ, ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ, فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ, ثُمَّ يَتَوَضَّأُ, ثُمَّ يَأْخُذُ الْمَاءَ, فَيُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي أُصُولِ الشَّعْرِ, ثُمَّ حَفَنَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَفَنَاتٍ, ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ, ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Artinya: “Dari Aisyah RA. Berkata: bahwa Rasulullah SAW. jika mandi janabah, beliau memulainya dengan membasuh kedua tangannya, kemudian beliau menuangkan air ke tangan kirinya menggunakan tangan kannanya untuk membasuh farjinya, setelah itu beliau berwudhu’. Kemudian beliaumengambil air lalu memasukkan jari-jarinya ke akar rambut beliau. Setelah itu beliau menciduk air dan dituangkan ke kepala beliau sebanyak tiga kali. Baru setelah itu beliau mengucurkan air itu ke seluruh badan beliau dan kedua kaki beliau”

  • Al-Sunnah al-Taqririyyah

Al-Sunnah al-Taqririiyyah merupakan suatu pengakuan dari Rasulullah SAW atas perbuatan ataupun ucapan dari sebagian Sahabat. Pengakuan tersebut bisa berupa diamnya Nabi, tidak ada pengingkaran, setujunya Nabi ataupun Nabi menyatakan bahwa hal itu adalah baik. Pengakuan ini pun dianggap sebagai suatu hal yang seakan-akan juga sesuatu yang muncul dari Rasulullah sendiri.;

وعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ – رضي الله عنه – قَالَ: خَرَجَ رَجُلَانِ فِي سَفَرٍ, فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ – وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ – فَتَيَمَّمَا صَعِيدًا طَيِّبًا, فَصَلَّيَا, ثُمَّ وَجَدَا الْمَاءَ فِي الْوَقْتِ. فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا الصَّلَاةَ وَالْوُضُوءَ, وَلَمْ يُعِدِ الْآخَرُ, ثُمَّ أَتَيَا رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ, فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يُعِدْ: أَصَبْتَ السُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْكَ صَلَاتُكَ- وَقَالَ لِلْآخَرِ: لَكَ الْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ. رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, والنَّسَائِيُّ

Artinya: “Dari Abi Sa’id al-Khudri RA. Beliau berkata bahwa pada suatu waktu ada dua orang yang keluar untuk menempuh suatu perjalanan, di tengah perjalan, ketika waktu sholat telah tiba, mereka tak menemukan air untuk berwudhu’, sehingga mereka berdua melakukan tayammum dengan debu, lalu mereka mengerjakan sholat. Namun saat itu juga ternyata mereka menemukan air. Salah satu dari mereka pun mengulangi sholatnya dengan wudhu’. Sedangkan kawannya tidak mengulangi sholatnya. Hal ini mereka adukan ke Rasulullah SAW. Maka beliau bersabda-kepada orang yang tidak mengulangi sholatnya: kamu sudah sesuai dengan syariat dan sholatmu sudah cukup tidak perlu diulang lagi. Sedangkan untuk temannya yang mengulangi sholat, beliau bersabda: engkau berhak mendapatkan dua kali pahala” (HR. Abu Daud dan al-Nasa’i)

Selanjutnya ketika membahas al-Sunnah. Terdapat suatu keterangan bahwa ada beberapa sabda dan perbuatan Nabi yang tidak berdimensi syari’at. Artinya tidak semua al-Sunnah bisa kita jadikan Hujjah. Hal ini berdasarkan bahwa Nabi Muhammad SAW juga manusia sebagaimana umatnya dan yang lainnya, hanyasaja beliau dipilih oleh Allah sebagai utusan untuk menyampaikan ajaran-Nya. Untuk mengetahui sabda atau perbuatan Nabi yang mana yang berdimensi syari’at, maka Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh membagi sabda atau perbuatan Nabi itu menjadi tiga macam;

  1. Hanya Khusus untuk Nabi

Ada beberapa perbuatan dan ketentuan yang ternyata khusus untuk Nabi. Seperti contoh yang kita ketahui bersama bahwa Nabi Muhammad SAW beristri lebih dari empat orang, dimana hal ini sebetulnya bertentengangan dengan surah al-Nisa’ ayat tiga yang menentukan batasan istri hanya boleh maksimal empat orang. Sholat dhuha, tahajjud serta witir yang disunnahkan kepada ummatnya justru hukumnya wajib bagi beliau. Sudah jelas bahwa perbuatan dan ketentuan ini bukan untuk diikuti oleh umatnya.

  • Perbuatan Jibilliyyah/Khuluqiyyah

Maksud dari perbuatan ini adalah perbuatan yang dilakukan Nabi atas dasar karakter kemanusiaan beliau. Seperti jalannya, duduknya, berdirinya, tidurnya, makannya dan minumnya. Perbuatan yang seperti ini juga bukan berada di ranah syari’at. Sebab, perbuatan semacam ini tidak bersumber dari ajaran dari Allah, melainkan hanya dilakukan karena beliau juga sebagai manusia. Namun jika ada dalil yang menunjukkan bahwa dari sekian perbuatan jibilliyah tersebut ada dalil yang kesunnahan untuk melakukannya maka perbuatan ini masuk dalam dimensi syari’at. Seperti contoh cara beliau makan dengan tangan kanan dan cara tidur beliau dengan miring ke kanan.

Termasuk dalam Jibilliyah adalah skill dan pengalaman duniawi. Seperti contoh saat beliau menyusun strategi berperang yang kemudian mungkin dirasa janggal dan tidak sesuai oleh sahabat ketika itu. Maka saat itu salah seorang sahabat menanyakan sumber dari strategi tersebut apakah dari wahyu atau hanya suatu pandangan dan trik dari beliau sendiri. Dan ternyata itu murni pandangan dan trik beliau sehingga sahabat tersebut meminta untuk mengubah strategi perang yang dibuat oleh Rasulullah.

  • Bukan Kekhususan untuk Nabi dan Bukan Jibilliyah serta Berdimensi Syari’at

Hasil hukum dari sabda atau perbuatan Nabi macam ketiga ini ada tiga, yakni wajib, sunnah dan Ibahah dengan ketentuan sebagaimana berikut;

  1. Jika sabda dan perbuatan Nabi ini dalam rangka untuk menjelaskan sesuatu yang masih bersifat global, membatasi sesuatu yang masih mutlak dan mengkhususkan sesuatu yang masih umum dalam al-Qur’an maka hukum yang dihasilkan adakalanya wajib, sunnah dan ibahah sesuai konteks yang dimunculkan Nabi.
  2. Jika sabda dan perbuatan Nabi ini bukan dalam rangka yang disebutkan diatas, maka jika dimensi syari’atnya dapat diketahui maka umatnya harus mengamalkannya sesuai hukum yang dihasilkan baik berupa wajib, sunnah atau ibahah.

jika dimensi syari’atnya tidak dapat diketahui namun terdapat sifat qurbah (pendekatan diri kepada Allah) maka hukum yang dihasilkan adalah Sunnah.

Jika sudah tidak dapat ditemukan dimensi syariatnya serta tidak ada unsur qurbahnya maka satu-satunya hukum yang dihasilkan adalah mubah. (Lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, 2017, 43-45) 

Terakhir sebagai penutup, dalam tulisan ini saya tidak bermaksud untuk menghina dan melecehkan kaum muhibbin yang sangat senang mengikuti segala sesuatu yang dilakukan oleh Rasulullah, baik dari segi pakaian, cara hidup dan cara bersosial. Sudah bisa dimaklumi seseorang yang mengagumi orang lain cenderung akan mengikuti segala sesuatu yang berkaitan dengan orang yang ia kagumi Akan tetapi perlu diperhatikan batasan-batasannya. Batasan yang dimaksud adalah jangan sampai hal tersebut menjadikan kita fanatik dan menganggap yang lain adalah jelek dan tidak sesuai dengan agama. Karena ada beberapa hal yang berkaitan dengan Nabi yang tidak bersifat syari’at dan tidak wajib diikuti.Akhir-akhir ini saya sempat meragukan dan mempersoalkan hukum yang dalilnya diperoleh dari al-Sunnah. Sebab, betapun al-Sunnah menjadi landasan hukum peringkat dua setelah al-Qur’an, al-Sunnah adalah sesuatu yang dilakukan atau diucapkan Nabi yang juga manusia sama seperti kita. Hal ini juga berbarengan dengan kekhawatiran saya terhadap oknum muballig yang sembarangan menggunakan hadits dalam cera,ah dan fatwanya. Banyak dari mereka yang mengenelasir dan berkesimpulan “pokoknya, apa saja yang dilakukan oleh Nabi harus diikuti.” Alhasil banyak diantara kita akhirnya malah cenderung fanatik buta dan mengkultuskan Nabi. Sehingga perlu kiranya untuk memilah-milih sabda Nabi yang mana yang harus diikuti serta perbuatan mana yang harus kita teladani.

One thought on “Tak Semua Yang Dari Nabi Harus Kita Ikuti”

  1. cocok nih jadi pimred TA taun depan..

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest