Tragedi Penghancuran Ka’bah dan Kelahiran Nabi Serta Perayaannya

Tragedi Penghancuran Ka’bah dan Kelahiran Nabi Serta Perayaannya

Dalam al-Quran terekam sejarah di mana Ka’bah akan dihancurkan oleh pasukan gajah yang dipimpin Abrahah, tepatnya pada surah al-Fiil. Peristiwa itu terjadi sekitar dua bulan menjelang kelahiran Nabi yang terakhir, Nabi Muhammad. Dan kakek Nabi Muhammad, Abdul Muthalib sebagai pimpinan kalangan Quraisy yang menjaga dan merawat Ka’bah.

Tatkala Abrahah menginjak wilayah kaum Quraisy saat mengerahkan bala tentaranya untuk membumi-hanguskan Ka’bah, ia menyita harta benda kaum Quraisy, termasuk 200 ekor onta milik pimpinannya, Abdul Muthalib. Kemudian, Abrahah mengutus delegasi untuk menemui pimpinan Quraisy dan menyampaikan pesannya bahwa kedatangannya tidak ingin memerangi masyarakatnya melainkan untuk meluluhlantakkan Ka’bah semata.

Ibnu Katsir menuturkan, mendengar informasi yang disampaikan utusan Abrahah, lantas Abdul Muthalib meresponnya dan mengatakan, “Demi Allah, kami tak bermaksud melawannya (baca: perang), dan kami tak mampu menghadapi pasukannya. Sedangkan Ka’bah ini adalah Baitullah yang mulia, Rumah kekasihnya, Ibrahim as. Jika Dia ingin melindunginya berarti Ka’bah memang Rumah-Nya. Jika Dia membiarkan Ka’bah ini hancur maka kami tak punya pilihan untuk menangkalnya” tandas Abdul Muthalib.

Tidak ingin berdiplomasi, sang utusan, langsung mengajak Abdul Muthalib menghadap rajanya, Abrahah. Ketika sampai di hadapan sang raja, Abrahah merasakan aura karismatik yang terpancar dari sosok Abdul Muthalib, yang memiliki pandangan tajam. Akhirnya, Abrahah turun dari kursinya dan duduk bersama Abdul Muthalib di atas permadaninya, riwayat yang lain, keduanya berdiri. Maka terjadilah dialog diantara keduanya.

Mula-mula, Abrahah bertanya pada Abdul Muthalib mengenai keperluannya – yang disampaikan melalui penerjemahnya. “Apakah keperluanmu”? kata Abrahah. Tanpa basa-basi langsung the poin, Abdul Muthalib menjawab, “200 ekor ontaku yang telah dirampas pasukanmu hendaknya dikembalikan”.

Mendengar jawaban yang dilontarkan lawan bicaranya, Abrahah pun kecewa sebab tidak sesuai ekspektasinya. Ia mengira pimpinan suku Quraisy akan cemas sebab Ka’bah sebentar lagi akan diratakan oleh pasukannya dan berusaha melindungi Ka’bah. Nyatanya, Abdul Muthalib justru hanya meminta 200 ekor untanya yang dirampas, hal yang remeh-temeh.

Akan tetapi, Abdullah melontarkan pernyataan yang menakjubkan. “Aku pemilik onta-onta itu, sementara Ka’bah ada pemiliknya sendiri yang akan melindunginya” Kata Abdul Muthalib. Ia pun menasehati orang-orang Makkah untuk pergi ke lereng-lereng bukit, menghindari pasukan Abrahah, sembari mencari tempat untuk menyaksikan apa yang akan terjadi di kota esok hari. Hampir seluruh umat islam mengetahui ending kisah itu, yaitu Abrahah dan pasukannya yang luluhlantak dan hancur tak bersisa.

Pelajaran berharga dari peristiwa itu, sebagaimana disampaikan oleh Gus Baha dalam salah satu ceramahnya, bahwa tak boleh sok-sok-an bela Agama (Islam) karena (Islam) sudah ada yang jaga yaitu Allah sendiri. Begitu juga dengan hidayah, pahala, dan dosa, itu semua adalah hak prerogatif Allah swt.

Namun realitasnya, banyak dari kita justru sok membela Islam seolah-olah hanya kita, golongan kita saja, yang membela agama warisan cucu Abdul Muthalib tersebut dan yang lain dianggap abai atau bahkan mengikis Islam dari luar maupun dalam?

Setelah beberapa bulan dari tragedi penghancuran Ka’bah itu, lahirlah seorang bayi yang kelak mengokohkan Baitullah tersebut, membersihkan dari patung-patung  yang bertengger. Bayi yang dikenal jujur dan baik bijaksana. Bayi dengan sematan nama yang tidak familiar di kalangan Bangsanya. Bayi yang lahir dari rahim Aminah, yaitu Muhammad putra Abdullah. Bayi yang lahir pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal pada tahun gajah.

Kelak, diangkat sebagai Nabi yang mengajarkan kedamaian pada sesama makhluk-Nya. Nabi yang tidak pernah mencaci-maki dan membenci. Nabi yang senantiasa menebarkan rahmat kasih sayangnya. Nabi yang terus menerus membela kaum tertindas dari manapun asalnya. Nabi yang dicintai sahabat dan umatnya dan disegani oleh lawannya.

Di Indonesia, kecintaan pada Nabi itu, selain dengan menaati segala perintah dan ajarannya, juga diekspresikan melalui tradisi Maulid Nabi yang digelar setiap tahunnya. Tradisi ini turun temurun terus dilestarikan. Kendatipun tidak sedikit yang mengklaim bid’ah dan tak sesuai ajaran Nabi-nya. Terkadang juga keluar kata-kata menyakitkan antara kedua belah pihak. Saling ejek satu sama lain sebab berbeda melihat fenomena tradisi Maulid Nabi.

Padahal, Nabi sendiri tak gampang menyalahkan kreasi sahabat dalam mengekspresikan cintanya senyampang tidak menabrak batas-batas kewajaran semisal diekspresikan dengan disembah. Bahkan, mungkin saja, ia akan abai pada masyarakat yang tak merayakan kelahirannya secara “formal” yang kita kenal Maulid Nabi, dan mengapresiasi orang-orang yang mengenangnya dengan cara menggelar Maulid Nabi tiap tahunnya.

Oleh sebab itu, janganlah mencaci-membenci mereka yang merayakan maulid nabi, mengklaim bid’ah, dan sebaliknya tak usah menghardik mereka yang enggan merayakan maulid Nabi. Sebab, yang tak melakukan maulid Nabi belum tentu salah (salama ia mau bersholawat padanya) sebagaimana belum tentu benar mereka yang merayakannya?

Oleh: M Soleh Shofier
(Mahasantri Marhalah Tsaniyah)

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest