Ushul Fiqh dan Mantik dalam Mazhab Mutakallimin

Ushul Fiqh dan Mantik dalam Mazhab Mutakallimin

Oleh: Ahmad Ilham Majani
(Mahasantri Marhalah Tsaniyah)

Sereal tulisan ini semacam preferensi sebagai mahasiswa yang tengah menjalani studi keislaman di pesantren, yang kental dengan buku-buku klasik (turats) seperti ghayat al-wushul, jam’u al-jawami’, mustashfa dan lain sebagainya. Sebagai mahasiswa sekaligus santri, ushul fiqih ibarat menu pamungkas (desserts)  yang rasanya tidak sempurna menjadi santri jika tidak pernah mencicipinya.

Ushul fiqih merupakan ilmu yang memadukan antara nalar dan wahyu (transmisional). Dalam hal ini ia menemukan momentumnya karena tidak hanya pelik akan pembahasan mantik bagaimana seharusnya manusia berpikir sebelum melakukan tindakannya.

Madzhab ushul fiqih yang menetapkan kaidah-kaidahnya dengan prinsip ilmu mantik adalah mazhab jumhur atau dikenal dengan mutakallimin yang di dalamnya meliputi ulama-ulama Syafi’iyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah. Lalu apa yang melatar belakangi ilmu mantik masuk dalam pembahasan ushul fikih?.

Tinta sejarah abad ketiga dan pertengahan abad keempat adalah jawabannya, sebagaimana dalam karya Abdullah Musthafa al-Maraghi yang berjudul al-Fath al-Mubin fi thabaqat al-Ushuliyyin, pada abad ini kekuasaan Dinasti Abbasiyah di Irak terus mengibarkan benderanya di berbagai wilayah Islam.

Aktivitas kompetitif ilmiah di negara tersebut menjadi semakin luas, dengan pemimpinnya khalifah al-Ma’mun yang selalu memberikan dukungan –semacam beasiswa untuk saat ini- kepada para pelajar dan mahasiswa untuk belajar di negara Yunani dan sekitarnya. Dari sinilah ilmu logika atau mantik diperoleh sehingga lahirlah sejumlah tokoh Mu’tazilah seperti Ibrahim al-Nazham yang dikenal dengan tokoh utama Mu’tazilah Nazhamiyah dan Bisyr bin Ghiyats al-Marisi.

Pada abad ini juga, lahir sejumlah tokoh tradisional yang menjadi pakar dalam bidang hukum Islam dari kalangan ahlussunnah wa al-jama’ah seperti Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal sebagai tokoh oposisi dari kekhalifahan al-Ma’mun yang pemerintahannya mendukung prinsip ajaran Mu’tazilah.

Situasi tersebut memberikan gambaran bahwa bagaimana fenomena yang terjadi dalam dunia ilmu pengetahuan, kebebasan berpikir, dan perkembangan ideologi-ideologi saat itu, artinya bahwa cacat berpikir, bias, dan egosentris bisa diminimalisir karena mantiq dan logika benar-benar menjadi pionir pada masa itu. Itu dari kilas sejarah.

Pada dimensi yang lain karya-karya ushul fikih dari kalangan mutakallimin seperti al- al-Mu’tamad karya Husain al-Bashri al-Mu’tazili (436 H), al-Burhan karya Imam Haramain (478 H), Mustashfa karya Abu Hamid al-Ghazali (505 H). Ketiganya adalah kitab induk ushul fikih mazhab mutakallimin menempatkan teori mantik di dalam karyanya tersebut, bahkan al-Ghazali mengatakan dalam pengantarnya “Siapa saja yang tidak memahami ilmu mantik keilmuannya belum dianggap kredibel”.

Telah jamak di kalangan pelajar pesantren, dalam kitab-kitab ushul fiqih setelah pembahasan hukum, ada pembahasan baik dan buruk (al-husnu wa al-Qubh), lalu di sisipkan pembahasan bersyukur kepada Allah Swt. (Syukrul-Mun’im).

Di dalam menganalisis kebaikan dan keburukan yang dilakukan manusia itu terjadi dualisme perbedaan pendapat. Pertama, mereka mengandalkan akal atau nalar dalam analisis-analisisnya, sehingga sebagian di antara mereka terkesan mengutamakan nalar dari pada teks-teks keagamaan, kelompok ini dikenal kelompok rasionalis yang populer dengan nama Mu’tazilah.

Kedua, mereka yang mendahulukan teks-teks keagamaan, bahkan tanpa mempertimbangkan aspek nalar dalam mempertimbangkan pandangannya, kelompok kedua ini menekankan bahwa yang baik itu adalah apa yang sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasulnya. Hanya melalui tuntunan agama sesuatu itu bisa dinilai baik dan buruk. Pandangan ini didasarkan bahwa akal masih berpotensi memberikan penilaian yang keliru. Kelompok ini populer dengan kelompok Asy’ariyah.

Sebagian santri bertanya-tanya apa kaitannya menyertakan pembahasan perbuatan baik dan perbuatan buruk, dan bersyukur kepada Allah Swt. dalam pembahasan ushul fikih.

Syaikh Abu al-Husain al-Bashri al-Mu’tazili dalam karyanya al-Mu’tamad fi ushul fiqh sangat apik dalam merasionalisasikan hubungan al-hukmu dan al-husnu wa al-Qubh. beliau mengatakan bahwa hukum adalah titah Allah Swt. yang dikaitkan dengan perilaku mukallaf, sementara diakui atau tidak perbuatan dan perilaku manusia ada dua, perilaku yang statusnya baik sehingga dipuji atau perilaku yang buruk lalu dicela.

Lalu apa kepentingannya?

Kepentingannya ada dua. Pertama, pembaca yang budiman akan memahami apa yang dimaksud dengan hukum dan apa yang dimaksud dengan fikih. Kedua, para pembaca yang budiman bisa merumuskan kaidah-kaidah ushul fiqih seperti al-amru li al-wujub awi al-nadb Setelah merasionalisasikan dua pembahasan di atas (al-husnu wa al-Qubh) dan hukum (titah Allah Swt).

itulah sekilas peran mantik dalam usull fikih bahkan permainan mantik seperti di atas tidak seberapa, semakin dalam pembahasan ushul fiqih dalam mazhab mutakallimin ini mengajak para pembacanya untuk mengotak-atik otak. 

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest