Apakah orang yang berijtihad harus laki-laki?

Apakah orang yang berijtihad harus laki-laki?

Oleh: Hefni
(Alumnus Ma’had Aly Situbondo)

Mujtahid adalah seorang yang mengerahkan kemampuannya dalam melahirkan hukum Islam melalui dalil-dalil baik berasal dari al-Qur’an, Hadis ijma’ dan lain sebagainya. Lantas apakah seorang yang meformulasi hukum Islam itu harus laki-laki?Bisakah kaum perempuan melakukan ijtihad?Lantas apakah ada bukti sejarah bahwa wanita melakukan ijtihad?

Oleh karena itu, penulis mungkin sedikit mau merespon kegelisahan ini. Ibnu Hazem al-Andalusi, Ibnu Rush dan Imam al-Ghazali tidak pernah menyinggung-nyinggung di dalam kitabnya, apakah berijtihad itu disyaratkan harus laki-laki.

Selain itu, di dalam beberapa kitab disebutkan bahwa untuk menjadi mufti itu tidak disyaratkan harus laki-laki. Diantaranya di dalam kitab al-Bahrul Muhid fi Ushulil Fiqhi Imam Badruddin Muhammad bin Muhammad Abdullah az-Zarkasy berpendapat bahwa laki-laki itu tidak menjadi persyaratan dalam menjadi mufti.

Hal ini juga selaras dengan pendapatnya Imam al-Juwaini di dalam kitabnya al-Burhan fi Ushulil Fiqhi menyatakan bahwa laki-laki bukannlah menjadi persyaratan untuk menjadi seorang mufti, sehingga boleh bagi seorang perempuan untuk menjadi mufti. Selain itu imam Nawawi di dalam kitab al-Majmu’-nya, beliau berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan sama saja kedudukannya ketika memberikan fatwa.

Dari pemahaman ini mungkin kita bisa mengambil kesimpulan bahwa wanita juga bisa melakukan ijtihad sebagaimana laki-laki, sehingga dia mempunyai peluang untuk menjadi seorang mujtahid.

Dalam kitab Jawami’u Siyasah Afllaton Ibnu Rush bekomentar bahwa mereka para wanita kompeten juga dalam segala sesuatu yang bisa dilakukan oleh kalangan lelaki, berupa berperang, berfilsafat, maupun lainnya, namun pada tingkat yang lebih rendah dari tingkatan laki-laki, dan terkadang para wanita menjadi penyempurna pada suatu waktu, seperti dalam musik, meskipun kesempurnaan industri ini digubah oleh seorang pria dan dinyanyikan oleh seorang wanita.

Sependek penelusuran penulis, masih belum ditemukan kalau syarat mujtahid harus berupa laki-laki, justru yang menjadi persyaratan seseorang bisa menjadi mujtahid bukan mengacu kepada jenis kelamin melainkan kepada kemampuan yang dia miliki (kapasitasnya).

Orang yang sudah dapat mengaitkan antara kitab, sunnah, ijma’ qiyas dan lainnya, mengetahui terhadap uslub bahasa Arab, mengetahui terhadap maqasidus syariah dan masih banyak syarat-syarat yang lain ini lah yang bisa dikatakan orang yang punya kapasitas sebagai mujtahid.

Dari sekian syarat yang diajukan ulama, tidak satupun yang menyinggung bahwa syarat menjadi mujtahid adalah laki-laki. Hal ini terbukti juga dalam kitab Ghayatul Ushul karangan Imam Zakariyya al-Anshari beliau secara gamblang menyebutkan bahwa wanita juga bisa menjadi seorang mujtahid:

أنه لا يشترط في الاجتهاد الذكورة “لجواز أن يكون للنساء قوة الاجتهاد وإن كن ناقصات عقل

“Untuk menjadi mujtahid tidak disyaratkan harus laki laki, beliau berpendapat bahwa wanita juga memiliki peran dalam melakukan ijtihad sekalipun wanita memiliki kekurangan didalam akalnya”

Karena yang mejadi acuannya adalah kemampuan dia untuk mengekstraksi suatu hukum bukan permasalahan jenis kelamin. Selain itu bukti sejarah banyak mencatat bahwa tidak sedikit dari kalangan wanita yang mempuni dalam melakukan ijtihad, sebut saja Sayyidah Aisyah yang cukup kredible untuk menghasilkan hukum dan bahkan banyak dari golongan laki-laki yang belajar menimba ilmu dari beliau.

baca juga:p https://maalysitubondo.ac.id/apakah-kita-sudah-merdeka-refleksi-dari-perempuan/

Selain itu juga ada Khadijah binti Khuwailid, Zainab dll. Di dalam kitab Taysirut Tahrir karangan Muhammad Amin juga selaras dengan kitab Lubbul Ushul beliau tidak mensyaratkan kalau untuk menjadi mujtahid harus terdiri dari laki-laki:

ولا يشترط أيضا الحرية ولا الذكورة

“Tidak disyaratkan pula untuk menjadi mujtahid itu harus merdeka dan laki-laki”.

Nazirah Zainuddin seorang feminis Muslim Mesir menyatakan bahwa perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam menafsirkan al-Qur’an dan menulis fikih beliau mengatakan:

 أجل إنه كما كان للمرأة أن تشترك فى الحكم الشرعي، أن لها الحق الصريح أن تشترك فى الاجتهاد الشرعي تفسيرا وتأويلا. بل إنها أولى من الرجل بتفسير الايات القائم فيها واجبها وحقها لأن صاحب الحق والواجب أهدى اليهما من غيره سبيلا.

“Tentu, jika perempuan punya hak untuk terlibat dalam hukum-hukum syariat, dia juga berhak dalam berkicamuk dalam berijtihad baik melalui cara tafsir (pemahaman eksoterik) maupun takwil (pemahaman esoterik). Bahkan perempuan lebih utama dalam menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan hak dan kewajibannya, karena dia lebih mengerti tentang persoalan dirinya daripada orang lain”.

Oleh karena itu, bisa kita simpulkan bahwa untuk menjadi seorang mujtahid tidaklah harus laki-laki melainkan kaum perempuan juga berpeluang untuk menjadi mujtahid sebagaimana laki-laki. Karena yang menjadi persyaratan untuk menjadi seorang mujtahid bukan diukur dari jenis kelaminnya, seberapa maskulinnya dirimu melainkan dari kapasitas seseorang itu mapu atau tidaknya dia mengekstrak suatu hukum.

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest