<strong>Tafsir Progresif Kiai Afifuddin Muhajir: Bukti Mencintai Negara</strong>

Tafsir Progresif Kiai Afifuddin Muhajir: Bukti Mencintai Negara

Oleh: M Soleh Shofier
(Mahasantri Ma’had Aly Situbondo)

Tafsir Progresif Kiai Afifuddin Muhajir: Bukti Mencintai Negara –Beberapa bulan terakhir ini, pada bulan September 2022 lalu tepatnya tanggal 25 Kiai Afifuddin Muhajir menyatakan di akun FB pribadinya, “Mendoakan negara semoga aman dan tenteram salah satu tanda seseorang mencintai tanah air (negaranya)”.

Dari unggahan yang mendapat like 1.200 dan telah dibagikan sebanyak 54 kali itu membuat saya bertanya-tanya akan istidlal beliau. Hanya saja, sebagai santri yang tulen saya tidak berani bertanya langsung khawatir diklaim tidak sopan oleh sebagian muhibbin beliau yang lebih “tulen”. Oleh sebab itu, saya memilih diam dan setelah beberapa bulan kemudian akhirnya terjawab juga ketika Kiai Afif  mengunggah postingan pada tanggal 14 November 2022 di akun yang sama. Dalam postingan itu berbunyi, “Salah satu bukti bahwa seseorang cinta tanah air adalah doa kebaikan dan keamanan untuk tanah airnya”.

Baca Juga: Moderasi Beragama Adalah Karya Tuhan

Tafsir Progresif Kiai Afifuddin Muhajir

Dari unggahan kedua kalinya yang telah dibagikan 88 kali dan di like 1.600 kali tersebut, Guru Besar Fikih Ushul Fiqh itu juga mengutip salah satu ayat yang mewartakan kisah nabi Ibrahim saat mendoakan negaranya (Makkah) agar aman sentosa. Setelah ditelusuri ayat yang menceritakan doa nabi Ibrahim untuk negaranya tersebut setidaknya tertera dalam dua surah berbeda. Pertama, dalam surah al-Baqarah [2]: 126. Kedua, surah Ibrahim [14]: 35.

وَإِذۡ قَالَ إِبۡرَٰهِـۧمُ رَبِّ ٱجۡعَلۡ هَٰذَا بَلَدًا ءَامِنٗا وَٱرۡزُقۡ أَهۡلَهُۥ مِنَ ٱلثَّمَرَٰتِ مَنۡ ءَامَنَ مِنۡهُم بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ [البقرة: 126] 

“Dan ingatlah Ketika Nabi Ibrahim berdoa dengan berdoa, “Wahai Tuhanku! Jadikanlah negeri (Makkah) ini, negeri yang aman sentosa dan berikanlah rezeki dari jenis buah-buahan kepada penduduknya, yaitu orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat di antara mereka” (QS. Al-Baqarah [2]: 126).

وَإِذۡ قَالَ إِبۡرَٰهِيمُ رَبِّ ٱجۡعَلۡ هَٰذَا ٱلۡبَلَدَ ءَامِنٗا وَٱجۡنُبۡنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعۡبُدَ ٱلۡأَصۡنَامَ ٣٥  [إبراهيم: 35]

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Makkah) negeri yang aman dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari oada menyembah berhala-berhala” (QS. Ibrahim [14]: 35).

Secara umum, Fakhruddin al-Razi membedakan tujuan dari dua ayat tersebut kendatipun secara substansi adalah sama yaitu doa nabi Ibrahim demi keamanan negaranya. Menurut al-Razi, ayat pertama Ibrahim meminta untuk sejumlah negara agar masyarakatnya aman dan tidak merasakan ketakutan. Sedangkan pada ayat kedua, Ibrahim meminta untuk menghilangkan sifat ketakutan itu yang sudah ada di negara tersebut, yang mana hilangnya sifat ketakutan itu diperoleh ketika ada rasa aman. (Mafatih al-Ghaib, 19/100).

Baca Juga: Membingkai Perubahan Teori Hukum Karena Perubahan Masyarakat

Analisis Ushul Fiqh

Dalam kajian usul fikih ada konsep dalalah yang bersangkut paut dengan ketentuan istinbath (menggali) pemahaman dari suatu nas. Kajian dalalah tersebut hanya berkaitan dengan rangkaian teks secara utuh bukan di pandang dari kata per-kata. Dalam metode istinbath ini ada dua aliran yang mewarnai yaitu aliran jumhur/ Mutakllimin dan aliran Hanfiyah atau Fuqaha. Menurut aliran Mutakallimin dalam menggali suatu pemahaman dari teks bisa dilihat dari dua aspek; mantuq dan mafhum. Al-Jalal al-Mahally saat memberikan penjelasan terhadap kitab Jam’u al-Jawami’ mendefinisikan mantuq dan mafhum sebagai berikut.

«حاشية العطار على شرح الجلال المحلي على جمع الجوامع» (1/ 306):

«(الْمَنْطُوقُ مَا) أَيُّ مَعْنًى (دَلَّ عَلَيْهِ اللَّفْظُ فِي مَحَلِّ النُّطْقِ»

“Makna yang ditunjukkan oleh lafal di tempat pengucapan”

«حاشية العطار على شرح الجلال المحلي على جمع الجوامع» (1/ 316):

«(وَالْمَفْهُومُ مَا) أَيُّ مَعْنًى (دَلَّ عَلَيْهِ اللَّفْظُ لَا فِي مَحَلِّ النُّطْقِ)»

“Makna yang ditunjukkan oleh lafal tidak pada tempat pengucapan”.

Gampangnya, mantuq merupakan makna yang ditunjuk secara langsung oleh teks atau lafal sedangkan mafhum adalah sebaliknya. Dengan kata lain, mantuq adalah penunjukan teks secara eksplisit dan mafhum secara implisit. Selain itu, kalangan Mutakallimin juga mengklasifikasi Mantuq menjadi dua bagian yaitu (sharih) tegas dan (ghairu sharih) tidak tegas. Mantuq sharih adalah makna yang ditunjukkan oleh lafal menggunakan dalalah tadlammun dan muthabaqah. Sementara ghairu sharih adalah makna yang ditunjukkan lafal menggunakan dalalah iltizam. Dalalah iltizam (keniscayaan) yaitu lafal yang menunjukkan terhadap konsekuensi logis dari makna yang dikandung sebuah teks. Oleh sebab itu, kalangan Mutakallimin mengkategorikan dalalah iltizam sebagai dalalah ‘aqliyah sebab membutuhkan renungan untuk mencapai makna tersebut.

Berkaitan dengan QS. Al-Baqarah [2]: 126 dan QS. Ibrahim [14]: 35, Kiai Afifuddin Muhajir melihat bahwa ayat tersebut secara iltizam menunjukkan bahwa mendoakan keamanan negara merupakan bukti nyata yang terefleksikan dari kecintaan seseorang pada negaranya. hal itu, sebagaimana disampaikan oleh Kiai Afifuddin Muhajir.

دل على ذلك بالالتزام. أي الدعاء له يستلزم حبه كيف يدعو له بخير وهو لا يحبه بل يكرهه؟
“Ayat itu menunjukkan bahwa cinta pada negara secara niscaya. Artinya, mendoakan baik suatu negara meniscayakan bahwa orang itu mencintai negaranya. Sebab, bagaimana mungkin seseorang mendoakan akan kebaikan negaranya jika tidak mencintainya bahkan membencinya?”.

Kiai afifuddin Muhajir

Namun dalam kajian usul fikih, dalalah iltizam sendiri yang menjadi nau/bagian dari mantuq masih terbagi menjadi tiga. Pertama, dalalah iqtidla. Kedua, dalalah isyarah. Ketiga, dalalah ima’. Syekh Zakariya al-Anshari mendefinisikan dalalah iqtidla yaitu ketika kebenaran dan keabsahan untuk memahami mantuq masih membutuhkan terhadap lafal yang disimpan. Adapun dalalah isyarah adalah kebenaran dan keabsahan mantuq tidak menunggu terhadap lafal yang tersimpan. Hanya saja, lafal mantuq itu menunjukkan makna yang tidak dimaksudkan oleh lafal tersebut. Dan dalalah ima’ adalah lafal menunjukkan apa yang dimaksudkan dan tidak menunggu lafal lain yang disimpan.

Dari ketiga pembagian dalalah iltizam di atas, kemungkinan besar yang dimaksudkan oleh Kiai Afifuddin Muhajir adalah dalalah iltizam yang berupa isyarat. Dalam kitab-kitab usul fikih, dalalah isyarah sering kali dikasih contoh tentang keabsahan puasanya orang yang junub dan belum sempat mandi hingga siang hari. Dalilnya adalah QS. Al-Baqarah [2]: 187 yang membicarakan tentang kebolehan melakukan hubungan intim di malam hari pada bulan puasa. Konsekuensinya adalah orang yang melakukan hubungan intim dan tidak sempat mandi junub sampai siang hari maka puasanya tetap sah kendatipun ayat tersebut tidak bermaksud menunjukkan terhadap keabsahan puasanya orang junub secara langsung.

Jika menggunakan metode istinbath aliran Hanafiyah maka formulasi tafsir yang digunakan oleh Kiai Afifuddin Muhajir masuk dalam kategori dalalah isyarah, yaitu makna yang tidak bisa segera difahami dari lafal-lafalnya dan juga tidak dimaksudkan dari redaksinya. Akan tetapi, ia merupakan makna lazimnya atau konsekuensi logisnya bagi makna yang segera dipahami dari redaksi lafal tersebut. Dalam konteks mendoakan Negara sebagaimana ayat yang dikutip oleh Kiai Afifuddin Muhajir, maka makna yang langsung dipahami adalah Nabi Ibrahim berdoa untuk Negaranya agar diberi keamanan dan dihindari dari hal-hal yang membahayakan. Sementara itu, makna konsekuensi logisnya adalah Nabi Ibrahim mencintai Negaranya.

Dari penjelasan di atas, maka ayat yang mengisahkan Ibrahim tatkala berdoa untuk negaranya secara konsekuensi logis menunjukkan Ibrahim mencintai negaranya, yang kemudian oleh Kiai Afifuddin ayat itu dikontekstualkan serta dijadikan landasan filosofis bahwa bukti cinta negara adalah mendoakannya dengan yang baik-baik. Falyata’ammul

Gambar: Mubadalah.id

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest