Membingkai Teori Perubahan Hukum Karena Perkembangan Masyarakat

Membingkai Teori Perubahan Hukum Karena Perkembangan Masyarakat

  • Facebook
  • Twitter
  • Pinterest

Oleh: Prof. Dr. Abu Yasid, M.A., LL.M
(Pengajar Maqashidus Syari’ah Ma’had Aly Salafiyyah Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo)

Teks wahyu, baik Alquran maupun Hadis, lahir bukan dalam ruang yang vakum. Sebaliknya ia hadir untuk meneta-kelola kehidupan umat manusia dan alam sekitar menjadi tertib dan ber-mashlahah. Sudah barang tentu teks wahyu dalam konteks ini memiliki pemaknaan luas menyangkut teks yang terintegrasi dengan konteks pengalaman sejarah umat manusia. Integrasi teks dan konteks ini perlu dielaborasi secara sistematik dan konkret karena sejatinya hukum tidak lahir kecuali untuk konteks kesejahteraan dan kemaslahatan ummat manusia sepanjang sejarahnya. Hal ini sesuai dengan prinsip maqashidus syari’ah (tujuan syariat) dalam ilmu ushul fiqh.

Begitu sentralnya posisi konteks realitas sampai-sampai Imam al-Qarafi (w. 1285 M), seorang Ulama’ terkemuka dalam mazhab Maliki, pernah mengharamkan pemberian fatwa bilamana materinya bertentangan dengan adat istiadat setempat. Lebih jauh al-Qarafi menengarai bahwa fatwa yang tidak mencerminkan realitas masyarakat yang sudah melembaga dapat meruntuhkan tatanan konsensus (ijma’) yang secara susah payah sudah dibangun bersama oleh para Ulama’.[1] Tentu realitas maupun tradisi yang dimaksud dan menjadi perhatian al-Qarafi adalah sesuatu yang berkemaslahatan dan tidak bertentangan dengan norma syariat.

 Dalam filsafat hukum Islam, kebaikan dan kemaslahatan telah diyakini menjadi tujuan sayariat (maqashidus syari’ah). Sebagai destinasi akhir dari rangkaian proses disyariatkannya Islam, kemaslahatan (mashlahah) dengan kadar intensitas cukup tinggi selalu menjadi perdebatan di kalangan Yuris Islam. Diskursus mashlahah pada intinya melahirkan paradigma tekstual atau harfiyyah di satu pihak dan paradigma kontekstual atau manawiyyah di pihak lain. Paradigma pertama dicirikan oleh cita rasa keberagamaan ortodoks yang dengan segala upaya berusaha menaklukkan realitas di bawah otoritas teks wahyu. Berseberangan dengan ini, paradigma kedua menganggap realitas sebagai acuan yang mesti dicermati dalam menyikapi setiap peristiwa hukum.

Perbedaan kedua paradigma tersebut sesungguhnya bukan pada tataran substansi melainkan persepsi atau sudut pandang. Paradigma pertama menganggap hukum sebagai institusi final dan absolut sehingga produk apa pun yang dihasilakan besifat mengikat dan tidak bisa diganggu gugat. Paradigma kedua mengatakan sebaliknya, hukum bukanlah institusi yang absolut dan final melainkan bergantung pada manusia sebagai user. Dalam konteks ini, hukum sangat ditentukan oleh pertanyaan bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Konteks realitas tentunya menjadi perhatian besar bagi paradigma ini dalam menyusun argumentasi hukum.

Pada kenyataannya, beragam teori hukum yang berkembang selama ini bertumpu pada kedua faktor ini, hukum dan manusia. Jika sebuah bandul teori banyak bergeser ke arah hukum maka teori tersebut akan menganggap hukum sebagai sesuatu yang mutlak, otonom dan final. Sebaliknya, jika bandul teori hukum lebih banyak bergeser ke arah manusia maka teori tersebut bergerak secara kontekstual dan lebih berorientasi pada dimensi kemaslahatan bagi manusia. Penganut teori pertama lalu seringkali diasosiasikan dengan mazhab pemikiaran tekstual, sedangkan teori kedua dinisbatkan pada mazhab kontekstual atau mazhab mashlahi. Tentu objek perdebatan kedua mazhab ini berada pada ranah hukum-hukum muamalah yang mempunyai watak berkembang dan mutable, bukan fikih ibadah yang bersifat konstan dan immutable.

Wacana mazhab tekstual-kontekstual di atas dapat membingkai teori perubahan hukum karena perubahan masyarakat. Dalam kaitan inilah, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 1350 M), seorang Ulama’ Mazhab Hanabilah, pernah membuat statement amat populer: “perubahan fatwa dapat terjadi disebabkan adanya perubahan waktu, tempat dan keadaan”. Lebih jauh lagi, Ulama’ ternama ini berkata:

“Tidak sedikit orang yang karena minusnya keilmuan yang dimiliki terjerembab ke dalam lembah kekeliruan mendasar mengenai ajaran syariat. Mereka menjerumuskan diri ke dalam kesempitan dan kesukaran serta bersikeras memaksakan untuk menerapkan hukum yang semestinya tidak ada akses untuk diterapkan. Syariat Islam berdiri di atas fondasi kebijaksanaan dan kepentingan hidup umat manusia di dunia dan akhirat. Secara keseluruhan, syariat Islam bercirikan keadilan, rahmah, mashlahah dan hikmah. Karena itu, setiap masalah yang menyimpang dari sifat keadilan menuju kedzaliman, dari rahmah menuju adzab, dari mashlahah menuju mafsadah, dari hikmah menuju kesia-siaan, maka masalah tersebut tidaklah termasuk dalam lingkaran syariat Islam walaupun dipaksa-paksakan untuk dimasukkannya dengan jalan takwil”[2].

Terjadinya perubahan hukum menurut teori ini sebenarnya bukan pada tataran substansinya. Sebalinya, terjadinya perubahan lebih disebabkan tidak sebangunnya pengamatan Mujtahid dalam mengapresiasi kandungan mashlahah sebagai tujuan hukum dalam setiap peristiwa yang terjadi. Perbedaan seperti ini bukan saja disebabkan tingkat kemampuan Mujtahid yang tidak sama antara yang satu dengan yang lain dalam bergumul dengan proses pencarian makna teks, tetapi juga amat dipengaruhi konteks perbedaan ruang dan waktu. Faktanya, mashlahah sebagai tumpuan dibangunnya hukum melekat pada ruang dan waktu yang terus mengalami dinamaika.

Pada setiap peristiwa dan kejadian di masyarakat sebenarnya terkandung beberapa struktur hukum yang mengacu pada garis besar tujuan-tujuan disyariatkannya Islam yang mempunyai watak eternal. Dengan begitu, sesungguhnya terjadi pluralisme hukum dalam setiap kasus atau peristiwa yang mengemuka di masyarakat. Dari ketentuan hukum yang tidak tunggal itu kemudian Mujtahid memilih salah satu hukum yang dianggap sesuai prinsip mashlahah untuk diterapkannya dalam peristiwa tertentu. Karena itu, perubahan hukum yang sesungguhnya terjadi pada tataran penerapan (tathbiq), bukan substansinya.

Dengan postulasi seperti itu maka yang mengalami perubahan sebenarnya mashlahah yang melekat pada setiap peristiwa hukum yang bergerak dinamis. Dari dinamika dan pergeseran ruang mashlahah ini kemudian Mujtahid harus memperhatikan kaitan hukum yang aka dirumuskan dengan aspek kemaslahatan yang terus berkembang sesuai pergerakan waktu. Pada titik inilah kemudian muncul kesan terjadinya perubahan hukum karena perupahan tempat, waktu dan keadaan seperti dikatakan Imam Ibnu Qayyim di atas .

Faktanya, perubahan hukum yang disebabkan pergeseran mashlahah sebenarnya tidak lain adalah diferensiasi pengamatan para Mujtahid terhadap dialektiaka teks wahyu yang kebanyakan mengungkapkan persoalan secara global dan multi-interpretasi dengan pergeseran mashlahah yang melekat pada setiap peristiwa hukum. Karena itu, fikih sebagai preskripsi hukum produk ijtihad menjelma menjadi sebuah epistemologi dan disiplin ilmu dalam Islam yang paling kaya akan perbedaan pendapat. Pada akhirnya, disiplin ilmu ini amat subur akan pemunculan mazhab-mazhab pemikiran, termasuk paradigma tekstual dan kontekstual seperti dijabarkan di atas.

Menyikapi teori perubahan hukum ini, al-Syathibi (w. 1388 M), Ulama’ Malikiyyah yang dikenal dengan Bapak Maqashidus Syari’ah, menandaskan bahwa perubahan hukum yang terjadi karena perubahan situasi bukanlah perubahan dalam maknanya yang substantif. Sebab, pada hakikatnya perubahan tersebut dilandaskan pada pokok-pokok ajara syariat yang abadi.[3] Ungkapan al-Syatibi ini dapat dicontohkan dalam banyak kasus fikih dari berbagaai mazhabnya. Di antaranya adalah kasus hukum talak tiga yang memantik banyak pendapat hukum.

Talak tiga yang diucapkan sekaligus dalam satu kesempatan oleh seorang suami dihukumi jatuh talak satu sebagaimana diisyaratkan dalam sebuah hadits Nabi. Hukum tersebut terus diberlakukan sejak Rasulullah SAW masih hidup hingga masa Khalifah Abu Bakar RA dan permulaan Khalifah Umar bin al-Khatthab RA. Akan tetapi, ketika kandungan mashlahah pada hukum tersebut mengalami pergeseran, manusia saat itu menganggap remeh-temeh dan menghambur-hamburkan kata talak, khalifah Umar dengan penuh tanggap dan cekatan menangkap sinyal tersebut. Lalu digulirkanlah sebuah fatwa hukum bahwa talak tiga yang diucapkan sekaligus dalam satu majlis mempunyai ketetapan hukum jatuh talak tiga dengan segala implikasi yang dimiliki.[4]

Dari contoh tersebut dapat ditangkap terjadinya perubahan hukum talak tiga antara masa Nabi hingga Abu Bakar RA dengan masa kekhilafahan Umar bin al-Khatthab RA. Perubahan tersebut disebabkan bergesernya mashlahah yang melekat pada peristiwa hukum talak tiga antara yang terjadi pada masa Nabi hingga Abu bakar dengan yang terjadi pada masa Umar bin al-Khatthab. Dalam kasus fikih lain, Khalifah Umar bin al-Khatthab RA enggan memberikan jatah zakat kaum muallaf, yaitu orang yang kometmen agamanya masih lemah lantaran baru memeluk Islam. Dalam QS Al-Tawbah (9): 60.

Dalam ayat tersebut diuraikan bahwa muallaf mendapatkan bagian zakat dengan pertimbangan untuk meluluhkan hati mereka terhadap Islam mengingat posisi Islam yang masih lemah saat itu. Akan tetapi pada masa Khalifah Umar bin al-Khatthab RA, beliau melihat posisi Islam sudah sedemikian kuat, tidak seperti pada masa Rasulullah SAW masih hidup dan masa kekhalifahan Abu Bakar sebelumnya. Atas dasar pertimbangan ini Khalifah Umar menghapus bagian zakat muallaf mengingat illat (reason) hukumnya sudah tidak memadai lagi.[5]

Contoh lain, Khalifah Umar bin Abdul Aziz (w. 720 M) ketika menjabat Gubernur di Madinah bersedia memberi keputusan hukum bagi gugatan seseorang bila ia dapat mengajukan dua orang saksi atau seorang saksi disertai sumpah Penggugat. Sumpah tersebut dimaksudkan sebagai ganti dari kedudukan seorang saksi yang lain. Akan tetapi setelah menjabat khalifah yang berkedudukan di ibu kota negara saat itu, yaitu Syam, beliau enggan memberikan ketetapan hukum atas pengajuan formula saksi yang sama. Ketika ditanya tentang pendiriannya tersebut, beliau menjawab: “kami melihat realitas dan integritas orang Syam berbeda dengan orang Madinah, khususnya dalam kejujuran persaksian melalui sumpah”.[6]

Imam Abu Hanifah (w. 767 M), Pendiri madzhab Hanafi, membolehkan mengambil keputusan hukum dengan pengajuan saksi yang tidak diketahui identitasnya. Beliau memandang segi keadilan seorang saksi menurut lahirnya saja. Akan tetapi fatwa yang muncul pada masa dua orang murid binaannya, tidak boleh memberikan putusan hukum dengan persaksian orang seperti di atas. Yang menjadi pertimbangan hukum adalah realitas masyarakat berupa merajalelanya kebohongan pada masa kedua muridnya tersebut. Imam al-Syafi’i dalam pengembaraan ilmunya pernah meninggalkan pendapat lamanya (qawl qadim) yang dengan susah payah beliau bangun sewaktu tinggal di Baghdad, Irak. Beliau lalu hijrah ke Mesir dengan membangun paradigma fiqh barunya yang kemudian lazim disebut qawl jadid. Perbedaan kedua paradigma fiqh ini tidak lepas dari pengaruh pengamatan al-Syafi’i terhadap realitas hidup masyarakat Irak dan Mesir.[7]


[1] Al-Qarafi, Syihab al-Din,  al-Furuq (Beirut: ‘Alam al-Kutub, tt.), juz 1, hlm. 45.

[2] Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, A’lam Al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991), juz 3, hlm. 11.

[3] Al-Syathibi, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari’ah (Mesir: Dar Ibn ‘Affan, 1421 H.), juz 2, hlm. 285.

[4] Muhammad Mushthafa Syalabi, Ta’lil al-Ahkam (Beirut: Dar al-Nahdlah al-Arabiyyah, tt.), hlm. 316.

[5] Abu Yasid, Islam Akomodatif: Rekonstruksi Pemahaman Islam Sebagai Agama Universal (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 118 – 119.

[6] Ibid.

[7] Ibid.

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest