Mungkinkah Menggagas Fikih Lingkungan?

Mungkinkah Menggagas Fikih Lingkungan?

Tak dapat disangkal, manusia berkaitan erat dengan lingkungan. Dari lingkungan yang mengitari itulah manusia memenuhi kebutuhannya dan terus menjaga kehidupannya. Dari lingkungannya pula ia bisa beribadah dengan tenang. Sebab, berhubungan dengan Tuhan membutuhkan prasyarat dari lingkungannya. Misalnya, air untuk bersuci, tetumbuhan (setelah diolah) menutupi auratnya dll.

Salah satu pakar Geografi Indonesia, Bintarto, menyatakan bahwa lingkungan adalah sesuatu yang ada di sekitar kehidupan manusia, dan lingkungan bisa dipengaruhi atau mempengaruhi terhadap tindakan manusia. Lingkungan itu bisa mencakup benda maupun non materi.

Sementara jika merujuk dalam UU. No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yaitu didefinisikan sebagai kesatuan  ruang  dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk  manusia  dan  perilakunya  yang bisa mempengaruhi  ala,  kelangsungan-perikehidupan  dan  kesejahteraan manusia  serta makhluk hidup lain.

Adapun fikih menurut K.H. Afifuddin Muhajir setidaknya memiliki dua pengertian. Pengertian spesifik dan general. Secara general, fikih adalah syariat yang memuat tiga ajaran: akidah, akhlak-tasawuf, dan fikih dengan makna spesifik.

Fikih secara spesifik sering kali didefinisikan oleh yuris muslim, sebagaimana tertera dalam kitab Jam’ul Jawami, yakni;

العِلْمُ بِالأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ العَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبِ مِنْ أَدِلَتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ

“lmu tentang hukum-hukum syariat yang bersifat oprasional, yang digali dari dalil-dalilnya yang terperinci” (al-Subki, Jam’ul Jwami’: 1/17)

Selain itu, beliau juga menandaskan bahwa objek dari hukum (fikih) adalah segala tindak-tanduk manusia, baik berkaitan dengan Tuhan, sesama dan dirinya sendiri, termasuk lingkungannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa fikih lingkungan adalah suatu diktum-diktum hukum yang mengatur tangkah-laku manusia yang berkaitan dengan lingkungannya: misalnya tanaman, air, dan udara.

Tentu, gagasan tentang fikih lingkungan sudah banyak dibincangkan terlebih saat ini di mana isu lingkungan termasuk problem global yang membutuhkan solusi, dan narasi-narasi keagamaan yang secara spesifik adalah ilmu fikih.

Jika kita mengkaji kitab-kitab fikih maka akan kita temukan beberapa nilai yang mengindakasikan bahwa hukum Islam sudah mengatur bagaimana manusia berinteraksi dengan lingkungannya. Hanya saja, nilai-nilai tersebut masih berserakan dalam berbagai pembahasan kitab-kitab klasik yang tidak terrumuskan secara sistematis. Misalnya, bab musyaqah, mukhabarah, tanggung jawab (mengganti) pemilik hewan tatkala lalai menjaganya dan merusak tanaman orang lain dan lain-lain.

Kenapa tidak terumuskan secara sistematis di era kodifikasi fikih (era imam mazhab dan seterusnya)? Sebab, kitab-kitab klasik tersebut disusun sebagai panduan manusia dalam menjalani kehidupannya. oleh sebab itu, fikih secara pragmatis hanya merumuskan konsep-konsep yang dibutuhkan saat itu, sebagaimana menjadi karakteristik fikih itu sendiri yaitu operasional.

Dengan kata lain, di zaman Nabi dan para sahabat serta imam mazhab problem lingkungan tidak terlalu genting sedemikian rupa sebagaimana sekarang. Karena dulu fasilitas kehidupan masih relatif ramah lingkungan, baik produksi maupun komoditi semisal tempat tinggal dan alat transportasi.

Berbeda dengan beberapa dasawarsa belakangan ini; pasca industrialisasi dengan ditemukannya berbagai teknologi canggih yang membawa dampak negatif tersendiri terhadap lingkungan. Oleh sebab itu, membutuhkan kesadaran dari manusia sendiri yang telah memanfaatkan dunia bukan lagi dalam batas memakmurkan sebagaimana perintah Islam (atau agama lainnya) namun dalam tataran mengeksploitasi.

Sudah barang tentu, menggagas fikih lingkungan harus kembali kepada dalil otoritatif dalam Islam. Yaitu Alquran dan hadis, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kembali secara langsung dengan cara merujuk kepada teks Alquran dan hadis, berikut tafsirnya. Sementara kembali tidak langsung dengan cara melalui jalur dalil lainnya seperti ijma, kiyas, maslahah mursalah dan lain semacamnya.

Kembali pada Alquran dan Hadis tidak secara bulat-bulat namun juga disertai dengan seperangkat alat bantu yang bisa meminimalisir kesalahan sehingga lebih dekat dalam kebenaran seperti usul fikih dan ilmu-ilmu lain yang berkembang: sosiologi, ekologi, dan lainnya.

Tidak hanya itu, namun juga bisa menghimpun produk-produk fikih yang masih tercecer. Tidak ketinggalan pula, Maqasidus Syariah sebagai pisau analisis hukum yang dinamis diikutsertakan dalam mencari solusi sehingga mampu menjawab problem ekologi dan lingkungan.

Pada dasarnya, wacana fikih lingkungan sudah banyak disemarakkan. Di antaranya adalah karya monumental Syekh Ali Jum’ah yang berjudul البيئة والحفاظ عليها من منظور إسلامي.  Syekh Ali Jum’ah melontarkan statemen tentang relasi lingkungan dan manusia,

“Relasi manusia dengan alam terjalin dalam hubungan al-musawah (kesetaraan). Manusia dengaan alam adalah sama-sama makhluk Tuhan yang dituntut untuk tunduk dan menyembah-Nya (meskipun manusia terkadang sering membangkang dengan aturan tersebut karena kezalimannya). Ketika kita bisa menjadikan alam sebagai mitra dalam mengabdikan diri kepada Tuhan, maka akan tumbuh rasa sayang dan penghormatan penuh terhadap alam raya. Pada akhirnya, kita akan merasa segan untuk bertindak destruktif akan alam, (syaikh ali jumah, al-bi’ah wa al-hifadz alaiha min mandhur islamiy, (Mesir: al-wabil al-shayyib 2009, hlm. 25).

Ringkasnya, dalam konsepsi beliau antara manusia dan alam (baca: lingkungan) adalah bersifat simbioisis-mutualisme. Keduanya saling membutuhkan satu sama lain. Sehingga tidak dibenarkan manusia mengeksploitasi alam dengan dalih memakmurkan. Ada banyak nas-nas yang membicarakan larangan eksploitasi berlebihan (merusak).

ﵟوَإِذَا قِيلَ لَهُمۡ لَا تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ قَالُوٓاْ إِنَّمَا نَحۡنُ مُصۡلِحُونَ ١١ أَلَآ إِنَّهُمۡ هُمُ ٱلۡمُفۡسِدُونَ وَلَٰكِن لَّا يَشۡعُرُونَ ١٢ﵞ [البقرة: 11-12] 

“Dan bila dikatakan pada mereka, “janganlah merusak bumi” mereka akan menjawab, “Sungguh kami orang-orang yang melakukan perbaikan”. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan tetapi mereka tidak sadar” (al-Baqarah: 11-12).

Dalam ayat yang lain, Allah dengan tegas memerintahkan untuk tidak merusak bumi sebagaimana termaktub dalam surah al-A’raf ayat 56.

ﵟوَلَا تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ بَعۡدَ إِصۡلَٰحِهَا …ﵞ [الأعراف: 56] 

“Janganlah berbuat kerusakan di muka bumi setelah diperbaikinya…” (al-A’raf: 56)

Dari kedua ayat tersebut cukup kiranya untuk menyadarkan kita yang hidup di era carut marutnya lingkungan bahwasanya Allah sangat mengecam tindakan-tindakan yang merusak dunia walaupun dengan alasan memanfaatkan. Bahkan, ayat kedua itu jika dianalisis dari kaca mata usul fikih menunjukkan haram. Sebab, redaksi La Tufsidṻ merupakan bentuk dari frasa nahi (larangan) yang mengindikasikan makan haram.

Alakulli hal, gagasan fikih lingkungan mutlak dibutuhkan, namun tulisan ringkas ini tidak mungkin memuatnya. Akan tetapi, setidaknya tulisan ini sebagai geliat agar narasi-narasi fikih lingkungan cepat dirumuskan secara sistematis, (M Soleh Shofier).

<a href=”http://Image by Freepik</a>

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest

Exit mobile version