Diskusi Buku: The Sosiology of Shari’a (Case Studies from Around the World)

Diskusi Buku: The Sosiology of Shari’a (Case Studies from Around the World)

Kamis malam (30/04), Ma’had Aly menggelar diskusi buku secara daring via zoom. Buku yang didiskusikan kali ini berjudul The Sosiology of Shari’a (Case Studies from Around the World). Buku ini memotret penerapan syariah dari kacamata sosiologis dengan studi kasus di beberapa negara, diedit oleh sarjana terkemuka, Adam Possamai, James T. Richardson dan Bryan S. Turner. Hadir sebagai pengulas, Imam Malik Ph.D. dan Dr. Moh. Isfironi Fajri. Sementara Ust. Abd. Wahid M.H.I memandu jalannya diskusi sebagai moderator.

Setelah para peserta bergabung, moderator segera mempersilakan pengulas pertama, Imam Malik (alumnus Ma’had Aly Situbondo yang melanjutkan studi doktoral Western Sydney University, Australia) untuk memulai diskusi.

Cak Malik, sapaan akrab beliau, mengaku bahwa mulanya ia terinspirasi oleh situasi penerapan syariah dan akad-akad syariah yang ada di Indonesia. Ia mengungkapkan, mayoritas lembaga-lembaga finansial berlabel syariah di Indonesia tidak dipimpin oleh orang-orang yang menekuni hukum Islam (fikih).

“orang alim yang hanya dijadikan sebagai lembaga konsultasi, ternyata konsultasinya tidak sepenuhnya didengar, tidak selalu didengar atau bahkan dalam hal-hal krusial penentunya bukan mereka. Ada apa?!”, kata Cak Malik.

Menurut Cak Malik, buku ini memberikan jawabannya, bahwa kenyataan tersebut berangkat dari gagasan modernisasi hukum yang berkiblat ke Eropa dan Amerika. Di hadapan hukum modern ini, hukum-hukum yang lain, termasuk hukum adat dan hukum Islam diposisikan sebagai sub-ordinat. Artinya, agar hukum Islam dan sejenisnya dapat diterima sebagai hukum yang ditaati publik, ia harus dimodernkan terlebih dahulu.

Di sinilah kemudian terjadi apa yang disebut multiple modernity. Dalam konteks penerapan hukum, multiple modernity dapat dipahami sebagai keanekaragaman cara suatu negara atau bangsa dalam memodernisasi suatu hukum, termasuk dalam hal mengadopsi hukum syariah.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa syariat diadopsi? Menurutnya, selain karena ada pasar yang sangat besar dalam komunitas Islam, juga karena adanya tekanan dari prinsip-prinsip global semisal HAM, demokrasi, kesetaraan, dan lain sebagainya. Ketika syariat diadopsi, sejatinya ia sedang mendistrupsi gagasan modernisasi dalam hal ini globalisasi Hukum Barat.

Dalam pandangan Cak Malik, buku ini membawa semacam gugatan kepada negara-negara barat khususnya, Seberapa demokratis Anda dalam berhukum?. Buku ini menolak gagasan westernisasi hukum dengan membawa semangat untuk lebih menghargai keanekaragaman hukum (legal pluralism).

“Buku ini mengkritik gagasan keseragaman hukum dengan argumen bahwa modern itu bagus tapi being modern itu mesti berbeda-beda,” ungkap Cak Malik.

Sementara Pak Isfironi memulai ulasannya dengan memaparkan sejarah hukum dalam konteks keindonesiaan sejak era kolonial. “Setelah tahun 1800, pemerintah kolonial menempatkan pejabat-pejabatnya sebagai hakim di pengadilan-pengadilan yang tersebar di ‘negara-negara’ Hindia-Belanda dengan tujuan kolonialisme.”, terang Pak Isfi, sapaan akrabnya.

Pak Isfi juga mengungkapkan bagaimana kolonial Belanda memandang rendah orang-orang pribumi (inlander). Bagi mereka, indikator keberadaban suatu bangsa adalah adanya hukum yang tertulis. Dengan demikian, dalam kacamata mereka, masyarakat pribumi adalah bangsa yang tidak berperadaban (uncivilized) lantaran tidak memiliki hukum tertulis dalam pengertian hukum sebagaimana di Barat.

Kemudian tentang pluralisme hukum, Pak Isfi menyampaikan bahwa melihat Indonesia sebagai negara yang majemuk tentu sangat penting.

“pluralisme hukum ini menjadi penting, karena faktanya di Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, terdiri dari berbagai macam agama, dan masing-masing agama memiliki pengaruhnya masing-masing,” terang Pak Isfi.

Akan tetapi jika pluralisme hukum benar-benar dibuka, bukan tidak mungkin justru akan menimbulkan kekacauan dalam hal ini adalah ketidakpastian hukum. Menurut Pak Isfi, nikah sirri adalah salah satu contoh dari dilema ini.

“sesungguhnya nikah sirri adalah contoh dilematis penerapan pluralisme hukum di hadapan hukum negara”, terangnya.

Diskusi yang dimulai dari pukul 19.30 diikuti oleh sekitar 65 peserta. Tampak hadir beberapa alumni dan dosen Ma’had Aly Situbondo di antaranya, Dr. Imam Nakha’ dan Dr. Muhammad Khalil Abdul Jalil. Semua peserta tampak antusias dan menikmati hingga tak terasa diskusi ini telah berlangsung selama 130 menit.

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest

Exit mobile version