Catatan Ngaji Bersama Kiai Afifuddin

Catatan Ngaji Bersama Kiai Afifuddin

Oleh: Maulana Nur Rohman
(Santri Mahad Aly Situbondo)

KIAI Afifuddin Muhajir punya jadwal mengajar di Mahad Aly Situbondo dua kali dalam satu pekan, setiap hari Senin dan Kamis pagi. Beliau mengampu pengajian kitab babon Usul Fikih, Jam’ul Jawami’, karangan terkenal milik Imam Tajuddin al-Subki. Untuk mempermudah kami, Kiai Afif membacakan syarah (penjelasan) kitab tersebut, Al-Badr al-Thali’, kepunyaan Imam Al-Mahally, dan sesekali menyinggung hasyiyah (catatan pinggir) Imam Al-Banani.

Pengajian rutin Kiai Afif biasa disiarkan secara live di kanal Youtube dan Facebook Mahad Aly Situbondo. Menimbang tidak banyak masyarakat medsosiyin yang punya cukup waktu menyimak pengajian berdurasi satu jam ini, saya akhirnya mencoba mencatat dan merangkum pengajian bersama Kiai Afif.

USUL FIKIH DAN TEOREMA BAHASA

Seperti telah diketahui, Usul Fikih banyak membahas teori-teori bahasa. Hal itu tidak lain demi memenuhi fungsi utama ilmu satu ini, yaitu untuk menggali dan menyimpulkan hukum Islam dari sumber utamanya, Al-Quran dan Hadits. Salah satu teori bahasa dalam Usul Fikih yang tengah Kiai Afif jelaskan pagi tadi adalah sebagai berikut.

TEOREMA MAKNA DAN LAFADZ

Manusia saling berbicara menggunakan bahasa. Bahasa menjadi medium bagi pikiran-pikiran manusia. Apa yang dipikirkan manusia, yang hendak disampaikan melalui bahasa, disebut sebagai Makna. Sementara Lafadz adalah bahasa itu sendiri. Jadi Makna dan Lafadz (bisa juda disebut Arti dan Kata) punya relasi yang sama persis dengan Madlul dan Dalil (Petanda dan Tanda)

Dalam praktiknya, terdapat Makna-makna yang tidak mempunyai Lafadz. Bagaimana kita menyebut aroma dan wangi-wangian? Aroma dari pewangi ruangan yang harum yang dihasilkan dari ekstrak buah berwarna oranye kita sebut sebagai wangi jeruk. Di kali lain, maaf jika sedikit jorok, bau tidak enak dan busuk dari gas perut seseorang kita sebut sebagai bau kentut.

Jadi, untuk menyebut macam-macam aroma dan wangi-wangian ini, manusia akan melakukan asosiasi terhadapnya (memberikan qoyyid), biasanya dengan mengidentifikasi dari mana aroma itu berasal (wangi jeruk dan bau kentut). Tindakan ini lebih mudah dan praktis. Tindakan serupa juga terjadi saat kita mengidentifikasi macam-macam rasa sakit (sakit perut, sakit gigi, dan sakit hati?).

Selanjutnya, yang penting dipahami ialah: Apabila terdapat Makna-makna yang tidak mempunyai Lafadz karena alasan praktis tadi, maka Makna-makna yang memiliki Lafadz hanyalah Makna yang benar-benar membutuhkan Lafadz. Tidak ada cara lain memberitahukan Makna itu kecuali dengan membuat suatu Lafadz. Identifikasi terhadap macam-macam aroma cukup dengan menyebut asosiasinya (qoyyid). Namun, bagaimana cara kita menyebut sebuah ibadah umat muslim yang dilakukan lima kali sehari, padahal ibadah ini juga yang akan banyak dibahas dalam Al-Quran dan Hadits? Praktis sebuah Lafadz (nama/istilah) untuk menyebut ibadah ini mutlak dibutuhkan. Maka dibuatlah sebuah Lafadz yang disebut “Salat”.

APA ITU MUHKAM DAN MUTASYABIH?

Imam Tajuddin al-Subki (dan Imam al-Mahally) menulis begini,

Muhkam, sebagai salah satu Lafadz, adalah yang punya kejelasan Makna. Termasuk Muhkam adalah Nash dan Dzohir. Adapun Mutasyabih adalah Lafadz yang  hanya Allah swt. yang mengetahui Makna sesungguhnya dari Lafadz itu. Kita tidak pernah secara terang memahami Mutasyabih. Akan tetapi, terkadang, dan ini tidak masalah, Allah swt. menerangkan makna dan arti dari Lafadz Mustasyabih itu kepada orang-orang yang Allah swt. pilih.

Di antara contoh-contoh Mutasyabih adalah ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad saw. yang membicarakan sifat-sifat Allah swt. yang musykil (membingungkan). Sifat-sifat Musykil Allah swt. ini (seperti Allah bersemayam di atas ‘Arsy), menurut pendapat ulama Salaf, dipasrahkan sepenuhnya kepada Allah apa arti dan maksud di baliknya. Sementara ulama Khalaf memilih untuk mentakwil Sifat-sifat Musykil ini.

Takwil adalah mengalihkan pemaknaan lahiriah suatu ayat kepada pemaknaan lain yang relevan. Sejatinya, ungkap Kiai Afif, generasa Salaf dan Khalaf sama-sama melakukan Takwil pada Sifat-sifat Musykil Allah swt. Sementara generasi Khalaf mentakwil Sifat-sifat Musykil dengan terperinci (Ta’wil Tafshili), generasi Salaf hanya mentakwil Sifat-sifat Musykil itu secara pendek (Ta’wil Ijmaly). Generasi Salaf berpendapat bahwa ayat-ayat Sifat Musykil Allah tidak dan bukan bermakna seperti lahiriah ayat. Hanya seperti apa arti dan makna ayat Sifat Musykil Allah itu, generasi Salaf menyerahkan wilayah ini kepada Allah. Inilah Takwil Ijmaly.

Istilah Muhkam dan Mutasyabih secara langsung diambil dari ayat Al-Quran berikut.

مِنْهُ ءَايَٰتٌ مُّحْكَمَٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلْكِتَٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَٰبِهَٰتٌ

“Di antara ayat-ayatnya ada yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat.”

Senada dengan ayat di atas, Kiai Afif memberikan catatan penting: Bahwa Muhkamat adalah yang pokok, sementara Mutasyabihat adalah yang sekunder. Berdasarkan itu, dalam merumuskan teori-teori akidah atau fikih Islam, Muhkamat wajib didahulukan daripada Mutasyabihat. Terang di atas gelap. Atau dalam bentuk kaidah, seperti disebutkan Kiai Afif,

رد المتشابهات الى المحكمات

“Mengembalikan pengartian yang Mutasyabihat kepada yang Muhkamat.”

Ambil satu contoh ayat Mutasyabihat, “Allah Yang Maha Penyayang istiwa’ (bersemayam) pada ‘arsy” (Q.S.Thaha-5). Pendek kata, kata “bersemayam” seolah mengatakan bahwa Allah swt. memiliki tubuh atau jasad. Menanggapi ini, ulama Islam banyak berbeda pendapat.

Namun, sesuai penjelasan Kiai Afif di atas, pemahaman atas ayat Mutasyabihat ini mesti disesuaikan dengan ayat Muhkamat, Asy-Syuro ayat 11, yang menengasikan segala bentuk penyamaan dan penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Sehingga betul bahwa Allah swt. “bersemayam” di atas ‘Arsy, namun itu tidak berarti penyerupaanya-Nya dengan makhluk. Bagaimana Allah swt. bersemayam, hanya Allah swt. yang tahu.

لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengannya.”

LAFADZ POPULER TIDAK BISA DIMAKNAI SAMAR      

Fakhruddin al-Razi, dalam kitab al-Mahshul, berpendapat bahwa Lafadz yang populer digunakan, baik oleh masyarakat awam atau kaum intelektual, sedari awal tidak pernah dibuat untuk sebuah Makna yang samar-samar (hanya dipahami kaum intelektual).

Alasannya jelas. Lafadz populer yang secara umum digunakan oleh seluruh kelas masyarakat, seperti lafadz Salat, Puasa, dan Zakat, sejak awal memang dimaksudkan untuk membangun komunikasi dan pada gilirannya kesepahaman atas istilah-istilah tersebut.

Salat, Puasa dan Zakat yang disebut dalam Al-Quran dan Hadits selalu merujuk pada Makna yang mudah dipahami seluruh orang. Mudah dipahami, mudah pula melakukan aksi. Jika ketiga istilah ibadah ini hanya bisa dipahami oleh kalangan khusus saja, bagaimana khitab dan dakwah Islam menjadi ajaran yang universal dan menyeluruh? Islam adalah agama terakhir, diperuntukkan untuk seluruh manusia, dan berlaku sampai Hari Akhir.

Kamis, 02 Mei 2024.

(Dalam catatan ini, terdapat sisi subjektifitas penulis. Jika terdapat kesalahan, koreksi dari semua pihak sangat dibutuhkan.”

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest