Fikih Siyasah : Ikhtiyar Menumbuhkan Iklim Politik Persatuan Bukan Politik Perpecahan

Fikih Siyasah : Ikhtiyar Menumbuhkan Iklim Politik Persatuan Bukan Politik Perpecahan

Oleh: Muhammad Ahdanal Khalim
(Alumni Ma’had Aly Situbondo)

Tepatnya sudah 6 tahun lalu saya membaca buku tentang fikih siyasah. Bacaan yang terpaksa dibaca demi menyelesaikan tugas akademik dan tulisan sajian utama di majalah tercinta, Tanwirul Afkar.

Buku pertama yang “harus” saya khatamkan adalah sebuah karya dari Syekh Yusuf Qardlawi yang berjudul “Min Fiqh al-Daulah” yang kemudian diterjemahkan dengan fikih tata-negara.

Dalam buku tersebut (sekalipun ada beberapa hal yang perlu dikontekstualisasikan dengan kehidupan berbangsa di Indonesia), ada sebuah maqalah yang menarik bagi saya. Maqalah yang seketika terlintas ketika melihat dinamika perpolitikan akhir-akhir ini. Maqalah tersebut berbunyi :

الأحزاب مذاهب في السياسة والمذاهب أحزاب في الفقه

“Partai-partai adalah madzhab dalam berpolitik sementara madzhab adalah partai-partai dalam fikih.”

Dalam maqalah tersebut dijelaskan bahwa perbedaan dalam memilih partai (sebagaimana dewasa ini) tak ubahnya seperti memilih pendapat dalam fikih. Tidak ada kewajiban untuk senantiasa berpegang teguh dalam satu partai, demikian pula tak ada yang melarang untuk berpindah dari satu partai ke partai yang lainnya.

Tidak apa-apa seseorang masuk partai ini ataupun partai itu, memilih partai ini ataupun partai itu. Hal ini karena partai ibarat ranting-ranting dari satu batang yang besar yakni terciptanya kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran bagi suatu bangsa.

Perbedaan partai dalam konteks ini selayaknya dimaknai dengan perbedaan keanekaragaman bukan perbedaan permusuhan. Atau dalam istilah Syekh Yusuf Qardlawi dinamakan sebagai ikhtilaf tanawwu’ (اختلاف تنوع) bukan ikhtilaf tadladl (اختلاف تضاد) .

Perbedaan dalam memilih partai maupun calon pemimpin tidak boleh menjadi dasar permusuhan antar tetangga, terlebih antar anak bangsa dan antar umat beragama.

Dalam buku tersebut, sekurang-kurangnya ada tiga hal yang perlu dihindari dalam perpolitikan elektoral, sehingga tercipta iklim politik persatuan bukan politik perpecahan.

Pertama, taklid buta (التقليد الغبي). Sikap seseorang yang hanya ikut-ikutan saja dalam berpolitik, sehingga ia akan mudah diombang-ambingkan oleh kampanye-kampanye para politikus. Ia tidak tahu tentang kapabilitas dan kredibilitas seseorang atau partai yang akan dipilihnya. Taklid buta ini akan menyebabkan orang mudah diadu domba oleh oknum-oknum politikus terlebih mereka yang tidak bertanggung jawab.

Kedua, fanatisme golongan ( العصبية العمياء). Sikap yang menganggap bahwa kelompok atau partai inilah yang benar, sedangkan yang lainnya salah. Termasuk salah satu caranya melalui politisasi agama. Yakni menjadikan dalil-dalil agama sebagai dalih politik untuk membenarkan kelompoknya. Semisal, kelompok ini adalah representasi dari islam sedangkan yang lainnya tidak. Fanatisme ini akan menimbulkan perpecahan diantara kelompok masyarakat dikarenakan kepentingan golongan lebih didahulukan daripada kepentingan persatuan maupun kemanusiaan sebuah bangsa.

Dan ketiga, menganggap sakral seorang pemimpin seolah-olah mereka adalah para nabi (القداسة على بعض الزعامات كأنهم أنبياء). Para pemimpin politik bukanlah orang yang pasti benar. Kata-kata mereka bukanlah wahyu yang harus diikuti dan dibela mati-matian. Mereka adalah manusia biasa yang juga berpotensi salah. Ketika masing-masing kelompok mengkultuskan pemimpinnya maka akan timbul perpecahan diantara satu pendukung dan pendukung lainnya.

Ketiga hal ini merupakan sumber dari kejahatan dan kerusakan bagi peradaban sebuah bangsa. Bangsa yang beradab akan menjadikan persatuan, keadilan, dan kesejahteraan bersama sebagai tujuan utama. Bukan malah saling menfitnah dan menjatuhkan apalagi tonjok-tonjokan dalam hal politik praktis yang hanya lima tahunan.

Walhasil, perbedaan pandangan politik tidak boleh diartikan sebagai perbedaan permusuhan melainkan perbedaan keanekaragaman, sebagai ikhtiyar mewujudkan negara yang aman, gemah ripah loh jinawi, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

تعدد في وجوه السياسة ليس من تعدد تعارض و تناقض كما في العقيدة بل هو تعدد تنوع وتخصص لصلاح الأخوة والمعيشة والإنسانية

Wallahu a’lam bis showab

Image by Freepik

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest

Exit mobile version