Hari Asyura: Dianjurkan Menyantuni, Bukan Mengonteni!

Hari Asyura: Dianjurkan Menyantuni, Bukan Mengonteni!

Oleh: Holis Andika
(Santri Mahad Aly Marhalah Tsaniyah)

Banyak peristiwa penting terjadi pada hari Asyura atau tanggal 10 Muharram. Peristiwa itu sekaligus menjadi pembeda antara hari Asyura dengan hari-hari yang lain. Misalnya, peristiwa Nabi Adam alaihissalam diciptakan oleh Allah swt. di surga, Nabi Yunus alahissalam dikeluarkan dari perut ikan besar dan beberapa peristiwa penting lainnya. Oleh karena itu, hari Asyura ini menjadi salah-satu hari yang sangat dimuliakan oleh Allah swt. dan dianjurkan untuk melakukan beberapa amal kebaikan.

Di antara beberapa amalan tersebut adalah mengusap kepala anak yatim, sebagaimana disebutkan dalam hadis:

مَنْ صَامَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ مِنَ الْمُحَرَّمِ أَعْطَاهُ اللَّهُ تَعَالَى ثَوَابَ عَشْرَةِ آلافِ مَلَكٍ ، وَمَنْ صَامَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ مِنَ الْمُحَرَّمِ أُعْطِيَ ثَوَابَ عَشْرَةِ آلَافِ حَاجٍّ وَمُعْتَمِرٍ وَعَشْرَةِ آلافِ شَهِيدٍ ، وَمَنْ مَسَحَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِ يَتِيمٍ يَوْمَ عَاشُورَاءَ رَفَعَ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ دَرَجَةً.

Barangsiapa berpuasa para hari Asyura (tanggal 10) Muharran, niscaya Allah akan memberikan seribu pahala malaikat dan pahala 10.000 pahala syuhada’. Dan barangsiapa mengusap kepala anak yatim pada hari Asyura, niscaya Allah mengangkat derajatnya pada setiap rambut yang diusapnya.” (Abu al-Laits al-Samarqandi, Tanbih al-Ghafilin bi Ahaditsi Sayyidi al-Anbiya wa al-Mursalin).

Mengenai hal ini, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan juga dalam kitabnya Fathu al-Bari sebagai berikut:

وَوَرَدَ فِيْ فَضْلِ مَسْحِ رَأْسِ الْيَتِيْمِ حَدِيْثٌ أَخْرَجَهُ اَحْمَدُ وَالطَّبْرَانِي عَنْ أَبِيْ اُمَامَةَ بِلَفْظِ مَنْ مَسَحَ رَأْسَ يَتِيْمٍ لَا يَمْسَحُهُ اِلَّا للهَ كَانَ لَهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ تَمُرُّ يَدُهُ عَلَيْهَا حَسَنَةٌ وَسَنَدُهُ ضَعِيْفٌ وَلِأَحْمَدَ مِنْ حَدِيْثِ أَبِيْ هُرَيْرَةَ اَنَّ رَجُلًا شَكَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَسْوَةَ قَلْبِهِ فَقَالَ اَطْعِمْ الْمِسْكِيْنَ وَامْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيْمِ وَسَنَدُهُ حَسَنٌ.

Ada riwayat hadits yang menjelaskan keutamaan mengusap kepala anak yatim, hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan al-Thabrani dari Abu Umamah dengan redaksi : ‘Barangsiapa mengusap kepala anak yatim semata karena mengharap ridla Allah Swt. maka disetiap rambut yang diusap, akan diberikan kebaikan oleh Allah Swt.’ sanad hadits ini lemah (dha’if). Ada juga hadits riwayat Abu Hurairah bahwa ‘Suatu  ketika ada seorang lelaki mengadu kepada Nabi Muhammad shalla allahu alaihi wa sallam tentang hatinya keras, lalu Nabi bersabda ‘Berikanlah makanan pada orang miskin dan usaplah kepala anak yatim’ hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan sanadnya bagus (hasan)”.

Kemudian hadis ini dan hadis lain yang menjelaskan tentang keutamaan mengusap kepala anak yatim dikomentari oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab al-Fatawa al-Haditsiyyah, beliau berpendapat bahwa yang dimaksud kata “mengusap kepala anak yatim” adalah arti hakikat (arti yang sebenarnya atau tekstual):

وَالْمُرَادُ مِنَ الْمَسْحِ فِيْ الْحَدِيْثِ الثَّانِيْ حَقِيْقَتُهُ كَمَا بَيَّنَهُ آخِرَ الْحَدِيْثِ وَهُوَ ( مَنْ مَسَحَ رَأْسَ يَتِيْمٍ لَمْ يَمْسَحْهُ إِلَّا للهَ كَانَ لَهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ تَمُرُّ عَلَيْهَا يَدُهُ عَشْرُ حَسَنَاتٍ وَمَنْ أَحْسَنَ إِلَى يَتِيْمَةٍ أَوْ يَتِيْمٍ عِنْدَهُ كُنْتُ أَنَا وَهُوَ فِيْ الْجَنَّةِ كَهَاتَيْنِ وَقَرَنَ بَيْنَ أُصْبُعَيْهِ ). (الفتاوى الحديثية لابن حجر الهيتمي: 1/43)

Maksud kata ‘mengusap’ dalam hadits kedua diatas adalah arti sebenarnya (makna hakikat) seperti dijelaskan pada bagian akhir hadits ‘Barangsiapa mengusap kepala anak yatim yang semata karena mengharap ridla Allah Swt. disetiap rambut yang diusap, maka Allah Swt. akan memberikan sepuluh kebaikan kepadanya dan barangsiapa berbuat baik terhadap anak yatim perempuan atau laki-laki yang ada disekitarnya maka aku (Rasulullah shalla allahu alaihi wa sallam) dan dia akan bersanding disurga sebagaimana ini (Nabi menggandengkan dua jemarinya)’.”

Pendapat berbeda disampaikan oleh Imam al-Thayyi dalam Marqaah al-Mafaatiih Syarhu Misykaat al-Mashabih karya Syaikh Ali bin Sulthan Muhammad al-Qari, disana Imam al-Thayyi menjelaskan bahwa yang dimaksud kata “mengusap kepala anak yatim” dalam hadits adalah makna kinayah (bukan arti sebenarnya atau arti kontekstual), meskipun beliau juga memberikan solusi dengan penggabungan dua arti hakikat dan kinayah. Redaksi lengkapnya sebagai berikut:

قَالَ الْطَّيِّبيْ مَسْحُ رَأْسِ الْيَتِيْمِ كِنَايَةٌ عَنِ الشَّفَقَةِ وَالتَّلَطُّفِ إِلَيْهِ وَلَمَّا لَمْ تَكُنِ الْكِنَايَةُ مُنَافِيَةً لِإِرَادَةِ الْحَقِيْقَةِ لِإِمْكَانِ الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا كَمَا تَقُوْلُ فُلِانٌ طَوِيْلٌ النَّجَادِ وَتُرِيْدُ طُوْلَ قَامَتِهِ مَعَ طُوْلِ عَلَاقَةِ سَيْفِهِ رتب عَلَيْهِ.

Imam al-Thayyi berpendapat bahwa kata ‘mengusap kepala anak yatim’ maksudnya adalah memberikan kasih sayang terhadap anak yatim dan memperlakukan anak yatim dengan lemah lembut. Namun, bukan berarti kata tersebut tidak bisa diartikan dengan makna hakikatnya, karena bisa saja kedua arti tersebut (arti hakikat dan kinayah) digabungkan, yakni selain mengusap kepalanya ia juga harus memberikan kasih sayang sekaligus memperlakukan anak yatim dengan lembut. Penggabungan arti tersebut juga terjadi dalam beberapa contoh, misalnya dalam perkataan seseorang terhadap orang yang berpostur tinggi: ‘orang itu panjang sarung pedangnya’, kata ini bisa diartikan yang punya pedang posturnya tinggi sekaligus mempunyai sarung pedang yang panjang”.

Untuk zaman yang serba postang posting seperti sekarang ini, mungkin lebih relevan menggunakan arti yang kedua, arti kinayah atau kontekstual karena sering kita saksikan dibeberapa daerah yang mengadakan acara santunan anak yatim, terutama pada tanggal 10 Muharram, anak yatim disiapkan tempat khusus di depan khalayak umum lalu diberi uang, diusap kepalanya, difoto atau divideo dan diposting di medsos menjadi konten. Alih-alih bisa membuat mereka bahagia justru yang demikian berpotensi membuatnya tampak seperti anak yang sedang “nelongso“.

Atau bisa juga dengan menggabungkan kedua arti hadits (tekstual dan kontekstual) sebagaimana keterangan Imam al-Thayyi di atas, dengan mengusap kepala anak yatim dan sekaligus memberikan rasa belas kasih yang diwujudkan dengan pemberian sesuatu yang bisa membuatnya bahagia tanpa harus memajang mereka di depan umum, apalagi sampai dijadikan konten dan diposting ke medsos.

Ala kulli hal, posting foto sebagai bukti bahwa amanatnya para donatur telah tersampaikan atau dalam rangka dijadikan syiar agar yang lain ikut mendonasikan hartanya itu tidak mengapa, tapi alangkah lebih baiknya tidak menampakkan wajah anak yatim, bisa dengan cara di blur atau sebagainya. Agar potensi anggapan negatif tersebut tidak terjadi.

Atau bisa dengan mengirim foto dan video secara pribadi melalui WhatsApp dan sejenisnya, bukankah Allah Swt. telah berfirman:

إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ.

Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah Swt. akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Baqarah: 271).

Rasulullah shalla allahu alaihi wa sallam juga pernah bersabda:

صَنَائِعُ المَعْرُوفِ تَقِي مَصَارِعَ السُّوءِ، وَالصَّدَقَةُ خَفِيّاً تُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ، وَصِلَةُ الرَّحِمِ زِيَادَةٌ فِي العُمُر.

Perbuatan-perbuatan baik akan melindungi kita dari berbagai keburukan dan sedekah yang dilakukan sembunyi-sembunyi akan menghindarkan diri kita dari siksa Tuhan”. (HR al-Thabarani)

Wallahu a’lam

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest