Imam al-Ghazali: Terjadinya Ijmak Tidak Harus Menunggu Habisnya Era, kok! Bag. 2

Imam al-Ghazali: Terjadinya Ijmak Tidak Harus Menunggu Habisnya Era, kok! Bag. 2

Oleh: Ali Ahmad Syaifuddin
(Santri Mahad Aly Situbondo Marhalah Tsaniyah)

Kesangsian yang dialami oleh sejumlah ulama membuat mereka berkeyakinan bahwa ijmak harus memenuhi syarat habisnya era mujtahid konsensus agar dapat menjadi argumen syariat (hujjah). Sebelumnya al-Ghazali sudah memaparkan kesangsian yang pertama. Tulisan ini akan meyebutkan kesangsian berikutnya sampai habis.

Kesangsian yang kedua, mungkin saja mujtahid berpendapat berlandaskan ijtihad yang masih belum pasti kebenarannya (dzann). Wajar bila kemudian mujtahid melakukan kekeliruan, dan saat itu terjadi ia bisa saja menarik kembali pendapatnya. Tidak ada larangan soal itu. Nah, bukankah dengan demikian menunjukkan ijmak belum purna?

al-Ghazali menepis kesangsian itu. Seorang mujtahid memang wajar melakukan kekeliruan, dan boleh menarik kembali pendapatnya. Tapi, kebolehan itu hanya berlaku ketika mujtahid sendirian saat berijtihad, tidak ada yang membersamainya. Apabila putusan hukum yang dihasilkan ijtihadnya ternyata sesuai dengan hasil ijtihad seluruh umat, kebenarannya tidak usah diragukan lagi, putusan hukum itu tidak mungkin salah.

Kiai Afifuddin menjelaskan, “Kalau mujtahid melakukan ijtihad sendiri memang bisa salah, akan tetapi kalau hasil ijtihadnya sesuai dengan hasil ijtihad umat secara keselurahan, ya tidak mungkin salah.” Ketika itu terjadi, mujtahid tersebut tidak boleh menarik kembali pendapatnya, karena menarik diri dari kebenaran tidak diperbolehkan.

Ketiga, kematian mujtahid yang menyalahi konsensus tidak menyebabkan ijmak atas putusan hukum sebuah persoalan menjadi bulat. Meski kematian mujtahid yang “membelot” membuat mujtahid sisanya (yang masih hidup) dapat disebut seluruh umat, akan tetapi sebutan “seluruh umat” hanya berlaku pada masa tertentu. Oleh sebab itu, pendapat mujtahid yang tidak sependapat tidak dapat diabaikan begitu saja. Ini adalah konsekwensi ketika sebutan kullul umat masih disematkan kepada mereka, meski hanya di sebagian masa.

Keberadaan mujtahid di sebuah masa tidak bisa diabaikan begitu saja. Ia menjadi bagian dari umat, ikut andil dalam membentuk kata “seluruh umat.” Sekali saja mujtahid itu tidak sepakat lalu wafat, rusak sudah kata “seluruh umat.” Ini menunjukkan masa menjadi bagian terpenting yang harus diperhatikan. Oleh karena itu, bila masa tidak perlu diperhatikan, pendapat mujtahid yang menyalahi konsensus itu seharusnya dibatalkan, sehingga ijmak bisa terjadi. Namun, kenyataannya tidaklah demikian.

Kesangsian ini kemudian dijawab oleh al-Ghazali, bahwa para mujtahid yang masih hidup itu tidak dapat disebut kullul umat dalam masalah yang difatwakan berbeda oleh mujtahid yang sudah meninggal. Kematian tidak membuat pendapat mujtahid menjadi terputus. Pendapatnya tidak bisa diabaikan. Dengan demikian, pengertian kullul umat atau seluruh umat tidak berkaitan dengan masa, tapi terhadap masalah yang dihadapi.

Siapapun yang mencurahkan pemikirannya di dalam sebuah persoalan, maka ia terhitung ke dalam kullul umat. Meski ulama besar tapi tidak ikut membuahkan pemikiran dalam masalah itu, maka ia bukan bagian dari kullul umat. Begitulah kesimpulan penulis setelah mendengar Kiai Afifuddin Muhajir menjelaskan teks al-Ghazali yang sedikit membuat kerut di dahi (kata Kiai ini sudah beberapa kali dijelaskan di depan oleh al-Ghazali).

Pada intinya, al-Ghazali ingin menegaskan bahwa masa tidak membawa pengaruh apapun terhadap pembentukan ijmak.

Keempat, kesangsian dari kisah Sayyidina Ali. Alkisah, Sayyidina Ali pernah memiliki pendapat yang sama dengan Sayyidina Umar tentang budak ummu walad, yakni budak yang melahirkan anak dari tuannya. Menurut mereka berdua budak ummu walad tidak boleh dijual. Pada waktu berikutnya Sayyidina Ali berpendapat bahwa budak ummu walad boleh dijual. Abidah as-Salmani lalu menegur Sayyidina Ali. Ia berkata: “pendapatmu saat kita masih bersatu dalam satu jamaah dulu lebih aku sukai daripada pendapatmu sekarang, saat umat Islam tercerai berai sekarang.”

al-Ghazali menjawab kesangsian ini, bahwa kalau memang ijmak sahabat terjadi saat itu, tidak lain itu hanya menunjukkan pendapat Sayyidina Ali yang memberikan syarat kehujjahan ijmak harus habis era. “Berhubung (anggota ijmak) masih ada yang hidup, maka Sayyidina Ali mengubah pendapatnya dari apa yang telah menjadi kesepakatan.” Kiai Afifuddin menjelaskan.

Kiai Afifuddin melanjutkan penjelasannya, “Kalaupun Sayyidina Ali punya pendapat seperti ini dengan terus terang, tetap kita tidak wajib bertaklid kepadanya.” Hal ini karena kesepakatan hanya terjadi pada Sayyidina Ali dan Sayyidina Umar, bukan keseluruhan umat.

Menanggapi perkataan Abidah, menurut al-Ghazali beliau tidak bermaksud bahwa kesepakatan jamaah sebagai ijmak. Beliau hanya menyayangkan perbedaan pendapat yang diutarakan Sayyidina Ali pada saat umat sedang bersatu dan saat umat mulai terpecah belah. Yang lebih disenangi oleh beliau dari dua pendapat Sayyidina Ali adalah pendapat saat umat masih bersatu padu. Pendapat yang sekarang karena disampaikan ketika umat sudah terpecah belah bisa memunculkan tuduhan bahwa Sayyidina Ali barangkali tengah membelot dari Sayyidina Abu Bakar dan Umar.

“Pendapat yang pertama dulu disampaikan saat umat masih bersatu tidak ada perpecahan, sedangkan pendapat yang sekarang disampaikan saat umat sedang pecah.” Kata Kiai Afifuddin, menjelaskan alasan mengapa Abidah menyukai pendapat Sayyidina Ali yang pertama.

Jawaban atas kesangsian itu seharusnya membuat “pihak penolak” menjadi sadar bahwa memang kehujjahan ijmak tidak terkait dengan masa. Ijmak sudah bisa diamalkan meski para anggota konsensus belum wafat semuanya. Wallahu’alam.

*Catatan pengajian Mustashfa al-Ghazali kepada Kiai Afifuddin Muhajir tanggal 18-19 Mei 2024

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest