Kiai Afifuddin: Mungkinkah Konsensus Setelah Khilaf?

Kiai Afifuddin: Mungkinkah Konsensus Setelah Khilaf?

Perdebatan masih terjadi di antara Imam al-Ghazali dan ulama yang mensyaratkan ijmak harus habis masa. Kali ini tema perdebatannya tentang ‘ijmak setelah khilaf.’ Seperti biasa, ada yang menolak dan di seberang sana, ada ulama yang mengakui. al-Ghazali menolak, sedang lawan debatnya mengakui. Tapi baik menolak atau mengakui, tiap-tiap pendapat sama-sama memiliki kemusykilan. Berikut ini cerita lengkapnya:

Semua Akan City pada Akhirnya

Sebuah problematika umat memecah para mujtahid seluruh dunia menjadi dua kelompok. Biar lebih mudah kita sebut saja dua kelompok itu City dan Emyu. City berpandangan hukum persoalan itu adalah A, sementara Emyu menentangnya dengan menyodorkan hukum yang berlainan, yakni B. Dua pendapat ini memiliki landasan dalil yang sangat kuat, sehingga sulit salah satunya digugurkan. Akhirnya, semua mujtahid dunia sepakat bila persoalan itu memiliki dua hukum, yaitu A dan B.

Kesepakatan para mujtahid tersebut sangat mengikat. Umat hanya boleh memilih di antara dua pendapat itu. Pendapat di luar dua itu terlarang diikuti. Artinya, dalam persoalan itu umat jika tidak mengikuti City, berarti harus menjadi fans Emyu. Chelsea atau Liverpool misalnya, dengan arogan, mengutarakan pendapat lain. Pendapat mereka ini tidak boleh diikuti, karena artinya mereka telah menyalahi ijmak. Menyalahi ijmak berarti menyalahi kandungan hadis Rasulullah (memang agak lain lah dua klub ini, ‘canda bang’).

Tak dinyana, di kemudian hari Emyu meralat pendapatnya. Mereka menarik kembali pendapatnya. Berbondong-bondong setelah itu mereka memihak kepada Ulama City. Dengan demikian, pendapat Ulama City disepakati oleh semua mujtahid seluruh dunia. Untuk kedua kalinya ijmak telah terjadi. Kali ini semua mujtahid sepakat untuk menjadikan pendapat Ulama City sebagai satu-satunya pendapat dalam persoalan itu. Semua mujtahid sepakat kalau ‘Manchester is Blue’. Semua memang akan City pada akhirnya.

Kumusykilan Setelah Ijmak yang Kedua

Berdasarkan cerita di atas, problematika umat melahirkan dua ijmak. Ijmak pertama berisi kesepakatan mujtahid bahwa probelamatika itu memiliki dua hukum: A dan B. Ulama masih khilaf, tidak satu suara, tapi mereka menyepakati perbedaan pendapat hanya antara A dan B, tidak di luar itu. Ijmak kedua terjadi setelahnya, ketika mujtahid yang khilaf menarik kembali pendapatnya, lantas menyatu dengan lawannya. Ijmak kedua berisi kesepakatan mujtahid bahwa hanya ada satu pendapat dalam persoalan itu.

Mereka yang mensyaratkan ‘habisnya masa’ tidak menjumpai problem setelah munculnya ijmak yang kedua. Bagi mereka, ijmak masih belum selesai. Selama anggota ijmak masih hidup, ijmak masih belum bisa menjadi dalil syar’i, sehingga sah-sah saja bila di kemudian hari mereka menarik kembali pendapatnya.

Problem baru muncul di pendapat al-Ghazali. Keengganannya mensyaratkan habisnya masa membuat pendapatnya disergap kemusykilan. Menurut al-Ghazali, sekali semua umat bersepakat meskipun hanya berlangsung dalam waktu yang singkat, ijmak sudah terbentuk, kuat dan mengikat. Kesepatan umat yang pertama atas dua pendapat telah purna. Sebagai konsekuensinya umat boleh mengikuti salah satu dari dua pendapat tersebut.

Kesepakatan kedua atas satu pendapat juga telah absah. Ketika sebagian mujtahid menarik kembali pendapatnya lalu berkoalisi dengan lawannya, artinya semua umat telah bersepakat atas pendapat lawannya tersebut. al-Ghazali menambahkan, tidak bisa dikatakan kesepakatan kedua tidak terjadi karena hanya disepakati oleh sebagian mujtahid saja (ijmak menjadi bulat satu suara karena mereka meralat pendapatnya dan mau menyatu dengan lawannya). Mau tidak mau, kesepakatan kedua harus diakui sudah purna, karena semua mujtahid sudah satu suara. Sebagai konsekuensinya umat hanya boleh mengikuti pendapat yang disepakati, pendapat yang diralat tidak lagi boleh menjadi pegangan.

Kedua ijmak ini dengan demikian saling bertentangan. Ijmak pertama memperbolehkan mengikuti pendapat Emyu, sedang ijmak kedua melarangnya. Hanya pendapat City lah yang boleh diikuti. Apakah ijmak kedua dapat menggugurkan ijmak yang pertama? Kiai Afif menjelaskan ijmak tidak dapat menganulir ijmak yang lain. Oleh Sebab itu, ijmak pertama seharusnya dapat diamalkan. Di sini lah letak kemusykilannya. Pendapat Emyu yang diperbolehkan menurut ijmak pertama, ternyata dilarang menurut ijmak kedua, sementara kedua ijmak tersebut secara teori sama-sama absah.

Demi menghilngkan kemusykilan tersebut, Imam al-Ghazali memberikan jalan keluar. Beliau menyebut tujuh jalan keluar. Tapi jalan keluar itu nyatanya tidak memberikan harapan banyak. Justru jalan keluar itu melahirkan kemusykilan berikutnya. Berikut ini jalan keluarnya:

Lima Jalan Keluar dari Kemusykilan

Pertama, kasus di atas tidak mungkin terjadi. Al-Ghazali memustahilkan terjadinya dua ijmak semacam itu. Menurutnya, kasus itu sama dengan kasus ketika semua mujtahid menarik kembali semua pendapatnya yang sebelumnya telah disepakati bersama atau ketika para tabi’in yang menyepakati pendapat yang berlainan dengan kesepakatan para sahabat sebelumnya. Dengan demikian, menurut al-Ghazali mustahil terjadi dua ijmak yang saling bertentangan. Hal itu tidak dapat dibayangkan.

Ulama yang mensyaratkan ‘habis masa’ melihat permasalahan ini sebagai bukti kuat keabsahan pendapatnya. Konsensus masih berlangsung, maka wajar bila ada yang menarik kembali pendapatnya. Lihatlah, tidak ada kemusykilan bila al-Ghazali seandainya mengikuti pendapat ini. Mereka pun melontarkan sebuah pertanyaan. Begini pertanyaannya:

“Para mujtahid khilaf dalam soal hukum nikah tanpa wali. Mereka ada yang menghukumi sah dan ada juga yang menghukumi sebaliknya. Mereka yang memilih tidak sah, tentu akan ngotot mempertahankan pendapatnya.

Lantas bagaimana dengan mereka yang menghukumi sah saat telah tahu dalil tentang kebatalan nikah tanpa wali, apakah mereka tidak boleh menarik kembali pendapatnya lalu bergabung dengan ulama lain yang menghukumi tidak sah? Bagaimana bisa seorang mujtahid dihalangi mengubah hasil ijtihadnya?”

Jawaban atas pertanyaan ini akan kami sampaikan di tulisan berikutnya. Pembaca harus tahu, tulisan yang sudah mencapai delapan ratus kata lebih ini hanya dijelaskan oleh al-Ghazali dalam 12 baris. Ini menunjukkan dua hal: kehebatan al-Ghazali dalam memeras materi ushul fiqh yang rumit dengan bahasa yang singkat, dan kemampuan penulis mengurai pendapat al-Ghazali tersebut. Aminn.

*Catatan pengajian Mustashfa al-Ghazali bersama Kiai Afifuddin Muhajir, tanggal 28 Mei 2024.

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest