Menelusuri Embrio Maqasidh Syariah dalam Kitab Al-Burhan fi Usul Al-Fiqh Imam Haramain Al-Juwaini

Menelusuri Embrio Maqasidh Syariah dalam Kitab Al-Burhan fi Usul Al-Fiqh Imam Haramain Al-Juwaini

Oleh: M. Yoeki Hendra
(Santri Marhalah Tsaniyah Semester 5)

Tulisan pendek ini, penulis buat untuk membuktikan tesis bahwa Imam Haramain dalam kitab al-Burhan fi Usul al-Fiqh telah memperkenalkan Ilmu Maqasid Syariah sebagaimana yang banyak disampaikan. Penulis merasa penasaran dan ingin mengetahui lebih jauh kebenaran tesis itu dengan langsung membaca dan meneliti kitab yang disebut-sebut sebagai salah satu kitab induk usul fikih tersebut.

Sekilah Tentang Al-Burhan

Latar belakangnya sebagai seorang faqih, usuli, ilmuan dan teolog sangat mempengaruhi proses dan isi kitab al-Burhan, sehingga tidak berlebihan salah seorang Mufti Mesir Syekh Usamah al-Azhari mengakui kitab tersebut benar-benar sangat rumit dan sulit dibaca.

Meskipun demikian, sanjungan ulama tentang kehebatan isinya menunjukkan bahwa maestro Imam Haramain ini sangat luar biasa. Ibnu Khaldun Misalnya, mengatakan:

وأحسن ما كتبه المتكلمون في الأصول كتاب البرهان إمام الحرمين

Bahwa diantara karya terbaik yang disusun oleh kalangan Mutakallimin adalah kitab al-Burhan milik Imam Haramain. Begitupun Imam as-Subki dalam Thabaqat-nya menyanjung kitab ini yang berhasil menyusun karya usul fikih dengan metode dan gaya yang sangat menarik.

Isi Al-Burhan

Imam Haramain dalam al-Burhan secara umum menulis delapan sub pembahasan yang meliputi: al-bayan, al-ijma’, al-qiyas, al-istidlal, at-tarjih, an-naskh, al-ijtihad, dan al-fatawa. Menurut Abd al-Adhim al-Dib, kitab al-Burhan termasuk salah satu kitab yang secara komprehensif menjelaskan berbagai pendapat ulama usul fikih yang hidup sebelum Imam Haramain. Beliau misalnya menyebutkan pendapat Imam Abu Bakar al-Baqillani, Ibnu Faurak, al-Qadhi al-Jabbar bahkan juga Abu ‘Ali al-Jubba’i yang kesemuanya merupakan ulama-ulama yang hidup digenarasi sebelum beliau.

Embrio Maqasid Syariah dalam Al-Burhan

Setelah membaca sekilas daftar isi kitab al-Burhan, penulis tahu bahwa Imam Haramain tidak membahas maqasid syariah secara khusus dalam sebuah sub pembahasan tertentu. Akan tetapi, pemikiran-pemikirannya tentang maqasid syariah dapat ditemukan dalam pembahasan-pembahasannya yang masih “berserakan”.

Penulis secara pribadi menemukan 4 indikasi penjelasan Imam Haramain yang mengarah kepada pembahasan maqashid syariah. Dengan semua penjelasan tersebut, menurut hemat penulis, Imam Haramain benar-benar telah memperkenalkan ilmu maqashid syariah jauh sebelum Imam as-Syathibi yang berhasil memperlihatkan wajah maqashid sebagai sebuah kajian yang sentral dalam hukum Islam.

  1. Konsep Mabadi’ as-Syariah

Dalam pembahasan taqasim al-‘ilal wa al-usul (pembagian ilat dan asal) Imam Haramain secara tidak langsung telah mengisyaratkan konsep dasar maqasid syariah yaitu pemetaan hukum syariat berdasarkan ilat yang dikandung serta pengaruhnya meliputi dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat.

Menurut Imam Haramain secara umum ketetapan hukum syariat dapat dibagi menjadi 5 macam. Pertama,

أحدها: ما يعقل معناه وهو أصل ويئول المعنى المعقول منه إلى أمر ضروري لا بد منه

Pertama hukum yang dapat dimengerti alasannya dan mengacu pada hal dharuri yang tidak mungkin dihindari. Dharuri yang dimaksud adalah kebutuhan primer setiap manusia yang tidak bisa ditawar sebagai modal hidup, seperti menjaga agama, jiwa, akal, harta keturunan dan kehormatan. Contohnya seperti:

وهذا بمنزلة قضاء الشرع بوجوب القصاص في أوانه فهو معلل بتحقق العصمة في الدماء المحقونة والزجر عن التهجم عليها

Seperti syariat kewajiban qisas (hukm al-ashl) yang ilatnya adalah melindungi darah (jiwa). Selain qisas, Imam Haramain juga mencontohkan seperti jual beli yang menurut beliau termasuk kebutuhan primer manusia yang menjadi modal seseorang untuk bisa tetap hidup.

Kedua adalah hukum yang alasannya mengacu kepada hajat al-‘ammah atau kebutuhan sekunder yang tidak sampai pada taraf kebutuhan primer atau dharuri. Beliau mencontohkan seperti hukum kebolehan akad sewa menyewa (ijarah) yang diperbolehkan karena kehidupan manusia menuntut untuk melakukan tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup. 

Ketiga adalah hukum yang alasannya tidak mengacu kepada dharuriyat, begitupun tidak hajiyat, namun mengarah kepada hal-hal yang disenangi dan mulia atau dapat disebut sebagai kebutuhan tersier. Contohnya adalah bersesuci dari hadas dan najis.

Keempat adalah hukum atau syariat yang hampir mirip dengan jenis ketiga, akan tetapi ia hanya berlaku secara khusus pada perkara-perkara yang disunnahkan. Contohnya adalah akad kitabah yang disyariatkan untuk memerdekakan seorang, sedangkan memerdekakan budak merupakan salah satu hal yang dianjurkan secara sharih.

Kelima adalah hukum atau syariat yang sama sekali tidak dapat diketahui alasan dan ilatnya dan hal ini banyak berlaku di dalam ibadah-ibadah murni seperti salat, ruku’, sujud dan lain sebagainya.  

  • Konsep Dharuriyat al-Khams


Imam Haramain secara tidak langsung juga telah memperkenalkan dharuriyat al-khams atau kebutuhan primer manusia. Beliau menulis:

فالشريعة متضمنها مأمور به ومنهي عنه ومباح. فأما المأمور به: فمعظمه العبادات فلينظر الناظر فيها وأما المنهيات فأثبت الشرع في الموبقات منها زواجر ولا يكاد يخفى احتياط كثير من الناس فيها وبالجملة الدم معصوم بالقصاص ومسألة المثقل يهدم حكمة الشرع فيه والفروج معصومة بالحدود ولا يخفى ما فيها من الاضطراب والأموال معصومة عن السراق بالقطع.[1]

Imam Haramain menjelaskan bahwa kandungan syariat terdiri dari dua macam. Pertama, perintah. Dan kedua larangan. Secara umum, semua syariat perintah berkaitan dengan ibabah seperti salat, puasa, dan ibadah-ibadah yang lain. Secara tidak langsung, Imam Haramain menegaskan bahwa syariat perintah merupakan manifestasi dari upaya menjaga agama (hifzu ad-din).

Sedangkan syariat larangan merupakan representasi dari menjaga jiwa, akal, harta, kehormatan dan juga keturunan. Jika kita perhatikan, Imam Haramain secara tidak langsung menyebutkan bahwa syariat qisas dibuat tidak lain untuk menjaga jiwa (hifzu an-nafs). Karena itu, jiwa atau darah sebagaimana yang beliau sebutkan dapat dilindungi dengan adanya syariat qisas. Demikian halnya bahwa syariat had dibuat oleh syari’ untuk menjaga kehormatan (hifz al-‘irdh) yang dengan adanya had tersebut orang akan takut merusak kehormatan orang lain dengan berbagai cara termasuk berzina. Kemudian yang ketiga adalah menjaga harta (hifz al-mal). Dengan ungkapan lain, pensyariatan potong tangan bagi para pencuri merupakan syariat yang dibuat untuk mencegah pencurian.

Dengan demikian, Imam Haramain sebenarnya telah memperkenalkan dharuriyat al-khams yang menjadi pilar dan pembahasan utama dalam maqasid syariah.

  • Istilah-Istilah Maqasid Syariah

Termasuk yang menunjukkan bahwa Imam Haramain dalam al-Burhan telah membahas maqasidh syariah adalah beberapa istilah-istilah yang beliau gunakan dalam berbagai pembahasan.

Pertama, istilah maqasid syariah. Sejauh penelusuran penulis beliau ternyata telah menggunakan istilah maqasid syariah meskipun hanya sekali seperti berikut:

والحالة هذه لا اثر لهذا الاختصاص وإنما هو أمر [وفاقي] فقد نادى على نفسه بالجهل بمقاصد الشريعة وقضايا مقاصد المخاطبين

Kedua, Imam Haramain juga telah menggunakan beberapa term-term yang dekat dengan pembahasan maqasid syariah, seperti istilah ad-dharurah, al-hajah, bahkan menurut Ar-Raisuni tidak berlebihan mengatakan bahwa Imam Haramainlah yang pertama kali memperkenalkan kaidah:

الحاجة تنزل منزلة الضرورة

البيع مستنده الضرورة أو الحاجة النازلة منزلة الضرورة[2]

ويقول: الحاجة العامة تنزل منزلة الضرورة الخاصة[3]

Ketiga, beliau juga menggunakan istilah istishlah seperti yang dapat dilihat pada teks berikut ini:

وقد بينا من كلى الشريعة أنها [مبنية] على الاستصلاح[4]

Keempat, penggunaan istilah mashalih antara lain dapat dilihat sebagai berikut:

وإنما يسوغ تعليق الأحكام بمصالح يراها شبهية بالمصالح المعتبرة وفاقا وبالمصالح المستندة إلى أحكام ثابتة الأصول قارة في الشريعة[5]

Berbagai istilah-istilah teknis yang digunakan oleh Imam Haramain ini dapat dianggap sebagai salah satu kontribusinya dalam ilmu maqasid syariah yang digunakan oleh generani-generasi berikutnya sebagaimana yang disebutkan oleh Ar-Raisuni.


[1] Abu Ma’ali al-Juwani, al-Burhan fi Usul al-Fiqh. Jilid 2 Hal. 179

[2] Abu Ma’ali al-Juwani, al-Burhan fi Usul al-Fiqh. Jilid 2 Hal. 83

[3] Abu Ma’ali al-Juwani, al-Burhan fi Usul al-Fiqh. Jilid 2 Hal. 82

[4] Abu Ma’ali al-Juwani, al-Burhan fi Usul al-Fiqh. Jilid 2 Hal. 217

[5] Abu Ma’ali al-Juwani, al-Burhan fi Usul al-Fiqh. Jilid 2 Hal. 161

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest