Meninggal Sebelum Shalat, Bayar Fidyah atau Qadha?

Meninggal Sebelum Shalat, Bayar Fidyah atau Qadha?

Diakui atau tidak bahwa kewajiban pada dasarnya adalah beban yang harus dipenuhi –tentu ini berat dan membutuhkan kesabaran tinggi untuk menunaikannya– betapapun di baliknya terkandung banyak rewadr (ganjaran dan hikmah) atas ketaatannya. Seorang mukallaf baru akan terbebas dari beban kewajiban (taklif) ketika ia meninggal dunia.

Seseorang berkepercayaan (terutama umat Islam) idealnya menginginkan kematian tanpa meninggalkan tanggungan dunia yang masih belum tertunaikan se masa hidupnya. Baik tanggungan se masa hidup kepada tuhan ataupun kepada sesame manusia.

Mukallaf (melalui pandangan Islam) dituntut ini dan itu di masa hidup, semisal menjalani ibadah salat lima waktu dan lain-lain. Pada bahasan ini akan tertuju pada kewajiban salat lima waktu, dimana tidak ada tawar-menawar bagi mukallaf untuk melakukan salat atau tidak. Selama mukallaf masih berdaya akalnya, wajib baginya melakukan salat lima waktu.

Akan tetapi, manusia memiliki sekian kesibukan duniawi yang membuatnya kadang-kadang lalai, atau dalam keadaan-keadaan tertentu manusia mengalami beragam ujian dan cobaan seperti sakit berkepanjangan sehingga memaksanya untuk menangguhkan kewajiban sholat. Dan pada akhirnya, sakit yang dialami mengakibatkan kematian  padahal tidak sempat meng-qadha’ shalat yang tertinggal pada saat sakitnya tersebut.

Kasus semacam ini adalah soal dimana memerlukan jawaban yang solutif tetapi berpihak. Jalan keluar yang ditawarkan syariat yang dimuat dan diatur melalui undang-undangnya fiqh adalah hutang dan tanggungan shalat tersebut dilimpahkan sepenuhnya kepada keluarga mayit dalam hal ini ahli waris. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat disimpulkan dari deskripsi diatas adalah sebagai berikut. Benarkah sebagaimana yang telah lama dipahami halayak masyarakat umum bahwa hutang shalat tersebut beralih menjadi tanggungan ahli waris untuk mengganti shalat muwarrits nya? Mana yang dipilih mengganti shalat dengan membayar fidyah atau mengqadha’? Apakah kedua tawaran itu sebuah kewajiban atau sunah? Berapa besaran nilai yang dibayar jika dibayar fidyah?

Pada dasarnya, ibadah ritual seperti shalat adalah hukumnya fardhu ‘ain, kewajiban individual-personal setiap orang islam sehingga tak ada ceritanya shalat itu diwakilkan. Kewajiban itu sendiri sifatnya adalah mengikat dan mengharuskan. Hanya saja kewajiban itu sewaktu-waktu bisa berubah sesuai keadaan setiap individu mukallaf tersebut. Misalnya mati, hukum fiqh mengatur dan menetapkan bagi mereka yang mempunyai hutang shalat maka ulama masih berbeda pendapat, apakah sholatnya wajib diqadha’ atau tidak, atau membyar fidyah?.

Pertama, Ahli waris tidak wajib melakukan qadha sholat atau membayar fidyah secara bersamaan atau salah satunya.

Kedua, sebagaimana pendapat dari kalangan imam-imam mujtahid memilih shalat yang tertinggal tersebut di Qadha’. Pendapat mereka ini didasarkan atas hadits riwayat imam Bukhari dan riwayat lain dan pendapat inilah yang diambil oleh imam-imam yang kita ikuti. Bahkan Imam Al-Subkiy salah seorang imam pengikut mazhab Syafi’i pernah memperaktikkan hal demikian atas kerabat dari keluarganya.[1] Apa yang pernah dilakukan Imam Al-Subki merupakan bukti boleh nya mengikuti pendapat yang dhaif (lemah).[2] Sedangkan Ibn Burhan menukil dari qaul qodim, mengatakan ahli waris wajib meng-Qadha’ shalat atas nama mayit jika (muwarrits) yang mati tersebut meninggalkan harta.

Ketiga, Pendapat lain juga ditawarkan dan ini banyak diamini oleh kalangan sahabat yaitu hutang shalat diganti dengan cara membayar fidyah sebanyak satu mud makanan dari setiap satu shalat fardu yang ditinggalkan.[3] Mengikuti pendapat terakhir ini maka bila ahli waris ingin mengganti shalat muwarrits nya dengan cara membayar fidyah berikut dibawah ini kadar ketentuan yang wajib di keluarkan. Ukuran satu mud beras putih bila dikonfersi kedalam hitungan indonesia kurang lebih 679,79 gr.[4] Dengan demikian berarti besaran yang dikeluarkan sebagai bayaran shalat yang ditinggal dikali sebanyak sejumlah shalatnya.

Oleh:

Lalu Nurul Muhtadin
(Alumni Mahad Aly Marhlah Ula)


Refrensi:
[1] Syekh Abi bakr Syatho al-Dimyathi, I’anah at-thalibin (suarabaya: al-harmain), juz.1, 24 [2] Hasyiyah bujairamiy ala-al-minhaj,  (dar al-fikr) juz, 2. 84 [3] Ibid, 24 [4] Khairuddin Habziz, mushthalahat wa ta’rifat fi al-fiqh wa ushulihi (sukorejo: tanwirul afkar, 1439 H),

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest