Perempuan Bercadar Bukan NU?

Perempuan Bercadar Bukan NU?

Oleh: Kholis Andika
(Santri Mahad Aly Marhalah Tsaniyah)

Akhir-akhir ini ada sebagian “oknum” dari kalangan NU yang mengklaim bahwa kalau ada perempuan bercadar berarti ia bukan NU. Bukankah pola bermadzhab Aswaja (ahli sunnah wal jamaah) yang dianut oleh NU dalam bidang syariah/fiqih adalah mengkuti pendapat imam madzhab yang empat; Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal?

Para imam madzhab yang empat berbeda pendapat mengenai hukum penggunaan cadar. Ada yang berpendapat mubah, makruh dan sunnah bahkan ada yang mewajibkan. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan mereka dalam menentukan batasan aurat bagi perempuan. Beberapa pendapat tersebut telah diringkas dalam Kitab Ensiklopedia Fikih Kuwait.

Mayoritas ulama dari kalangan madzhab Hanafi, ulama mazhab Maliki, sebagian besar ulama mazhab Syafi’i, dan ulama mazhab Hanbali berpendapat bahwa wajah perempuan tidak termasuk aurat, sehingga tidak wajib ditutupi. Namun meski demikian, ulama Hanafiyah menambahkan bahwa untuk perempuan muda di zaman sekarang tetap tidak diperbolehkan memperlihatkan wajahnya kepada laki-laki yang bukan mahram, tujuannya agar terhindari dari fitnah:

فَذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ ( الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ ) إِلَى أَنَّ الْوَجْهَ لَيْسَ بِعَوْرَةٍ ، وَإِذَا لَمْ يَكُنْ عَوْرَةً فَإِنَّهُ يَجُوزُ لَهَا أَنْ تَسْتُرَهُ فَتَنْتَقِبَ ، وَلَهَا أَنْ تَكْشِفَهُ فَلاَ تَنْتَقِبَ .قَال الْحَنَفِيَّةُ : تُمْنَعُ الْمَرْأَةُ الشَّابَّةُ مِنْ كَشْفِ وَجْهِهَا بَيْنَ الرِّجَال فِي زَمَانِنَا ، لاَ لِأَنَّهُ عَوْرَةٌ ، بَل لِخَوْفِ الْفِتْنَةِ

Artinya: “Mayoritas fuqaha (baik dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) berpendapat bahwa wajah bukan termasuk aurat. Jika demikian, wanita boleh menutupinya dengan cadar dan boleh membukanya. Menurut madzhab Hanafi, di zaman kita sekarang wanita muda (al-mar`ah asy-syabbah) dilarang memperlihatkan wajah di antara laki-laki. Bukan karena wajah itu sendiri adalah aurat tetapi lebih karena untuk mengindari fitnah.” (Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz XLI, halaman 134).

Sebagian ulama yang lain, seperti sebagian ulama Syafi’i berpendapat bahwa wajah perempuan termasuk aurat sehingga hukumnya wajib ditutupi.:

أَمَّا عَوْرَتُهَا خَارِجَ الصَّلَاةِ بِالنِّسْبَةِ لِنَظَرِ الْأَجْنَبِيِّ إِلَيْهَا فَجَمِيْعُ بَدَنِهَا حَتَّى الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ  

Artinya: “Adapun aurat perempuan di luar shalat dari sisi pandangan laki-laki lain terhadap dirinya adalah seluruh badannya, sampai wajah dan kedua telapak tangan.” (Hasyiyatus Syarqawi Ala Tuhfathit Tullab, 174).

Bahkan sebagian madzhab Maliki yang lain berpendapat bahwa perempuan menggunakan cadar hukumnya makruh karena termasuk perbuatan yang berlebih-lebihan (ghuluw). Namun meski demikian, mereka berpendapat bahwa perempuan muda yang terlihat cantik wajib menutupi wajah dan telapak tangannya jika khawatir dapat menimbulkan fitnah dan berada dalam situasi yang banyak terjadi kebejatan atau kerusakan moral. Keterangan ini juga dapat ditemukan dalam al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah sebagai berikut:

وَقَال الْمَالِكِيَّةُ : يُكْرَهُ انْتِقَابُ الْمَرْأَةِ – أَيْ : تَغْطِيَةُ وَجْهِهَا ،وَهُوَ مَا يَصِل لِلْعُيُونِ – سَوَاءٌ كَانَتْ فِي صَلاَةٍ أَوْ فِي غَيْرِهَا ، كَانَ الاِنْتِقَابُ فِيهَا لِأجْلِهَا أَوْ لاَ ، لِأَنَّهُ مِنَ الْغُلُوِّ.وَيُكْرَهُ النِّقَابُ لِلرِّجَال مِنْ بَابِ أَوْلَى إِلاَّ إِذَا كَانَ ذَلِكَ مِنْ عَادَةِ قَوْمِهِ ، فَلاَ يُكْرَهُ إِذَا كَانَ فِي غَيْرِ صَلاَةٍ ، وَأَمَّا فِي الصَّلاَةِ فَيُكْرَهُ .وَقَالُوا : يَجِبُ عَلَى الشَّابَّةِ مَخْشِيَّةِ الْفِتْنَةِ سَتْرٌ حَتَّى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ إِذَا كَانَتْ جَمِيلَةً ، أَوْ يَكْثُرُ الْفَسَادُ.

Artinya: “Madzhab Maliki berpendapat bahwa dimakruhkan wanita memakai cadar—artinya menutupi wajahnya sampai mata—baik dalam shalat maupun di luar shalat atau karena melakukan shalat atau tidak karena hal itu termasuk berlebihan (ghuluw). Dan lebih utama cadar dimakruhkan bagi laki-laki kecuali ketika hal itu merupakan kebiasaan yang berlaku di masyarakatnya, maka tidak dimakruhkan ketika di luar shalat. Adapun dalam shalat maka dimakruhkan. Mereka menyatakan bahwa wajib menutupi kedua telapak tangan dan wajah bagi perempuan muda yang dikhawatirkan bisa menimbulkan fitnah, apabila ia adalah wanita yang cantik, atau maraknya kebejatan moral.” (al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz, XLI, halaman 134).

Mengingat begitu kompleksnya pendapat imam madzhab yang empat tentang hukum perempuan bercadar maka tidak seharusnya bagi muslim dan muslimah untuk mencaci dan mengolok-olok perempuan yang bercadar. Apalagi olok-olok itu datang dari kalangan Nahdliyin, pengikut organisasi Nahdlatul Ulama yang notabene merupakan organisasi yang mangakui eksistensi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Tidak pantas!

Semoga bermanfaat.

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest