Refleksi Cinta Qais & Laila

Refleksi Cinta Qais & Laila

Kisah cinta Qays dan Laila, sebuah perjalanan mengharukan dan berakhir tidak menyenangkan. Nasib sepasang kekasih yang lebur dalam cinta, Qays perindu Laila telah kehilangan dunia bahkan kehilangan dirinya, karena yang ada bagi sang perindu hanya seorang Laila. Pun Laila seperti Qays, hatinya telah menyatu pada rindunya.

Tidak dapat dituturkan kekuatan cinta mereka, namun mata siapapun yang peka akan membaca banyak hikmah pada kisah Qays dan Laila. Hikmah Qays dan Laila akan mengajak setiap mata untuk memandang kejernihan cinta; cinta sang pecinta; cinta sang pencipta.

Al-Rumi bersaksi bahwa pernah mengungkapkan cinta lalu menjadi ragu terhadap ungkapannya. Mungkin dapat dikatakan, cinta adalah kecendrungan hati seseorang. Sebuah perasaan di luar kendali, yang tiba-tiba hadir menguasai hati. Namun al-Ghazali menyatakan alasan logis penyebab cinta, bahwa cinta ada karena dzat yang dicinta; karena yang dicinta elok nan indah; karena yang dicinta bernilai istimewa; dst.

Keindahan akan menjarah pandangan dalam kenikmatan, sehingga pecinta tidak akan berpaling demi kenikmatan itu terjaga. Hanyut memandang keindahan, pecinta melebur dalam batin rasa. Nikmat, hanyut dan lebur membentuk rasa cinta, sehingga bila keindahan tiada maka cinta akan merasa rindu untuk berjumpa.

Al-Ghazali juga bertutur bahwa mungkin saja sesorang mencintai sesuatu yang belum pernah dilihatnya. Agaknya, cukup masuk akal apabila seseorang cinta dan rindu kepada yang belum pernah ada di hadapannya layaknya para arif mencintai Tuhan; ia tidak pernah berjumpa dengan-Nya namun sepenuhnya merasakan-Nya.

Pecinta benar-benar lebur dalam rasa kenikmatan, itulah mengapa kekasih Tuhan sering hilang kesadaran namun sebenarnya ia lebur di dalam merasakan Tuhan. Banyak pecinta merindukan cintanya, dan demi rindunya ia rela melakukan apapun agar segera berjumpa. Dalam taraf kerinduan, kekasih Tuhan akan merasa bahagia tatkala memahami ajal akan segera tiba, karena tidak ada kesempurnaan berjumpa tuhan kecuali dunia ditinggalkan (mati).

Kerinduan juga dirasa oleh Qays ibn Mulawwah. Tak peduli apa yang terjadi, yang terpenting adalah pertemuan dengan kekasih. Tinta Nizami bercerita momentum luar biasa sang perindu kepada Laila. Suatu ketika Qays yang rindu, tak tau hendak berbuat apa agar dapat berjumpa kekasihnya. Lalu Qays melihat seorang pengembala dapat masuk ke dalam kompleks rumah Laila. Dan akhirnya Qays merangkak bersama kawanan kambing gembala, hanya untuk dapat menemui Laila. Bahkan Qays tidak sadar, sang pengembala tanpa sengaja mencambuk Qays bersama kawanan kambingnya.

Begitulah gambaran cinta, rasa yang hadir tanpa dimotori nafsu. Apapun akan dilakukan untuk kekasih. Keinginan kekasih seakan menjadi keharusan untuk dipenuhi. Mencintai kekasih juga berarti mencintai apapun yang dimiliki kekasih. Al-Ghazali mengatakan “Ketika seorang mukmin mencintai, niscaya juga akan mencintai anjing kekasihnya”. Mencintai tuhan juga berarti mencintai apapun yang tuhan miliki, mencintai semua makhluk dan semesta alam.Ungkapan dengan spirit yang sama pernah diuntaikan oleh Qays ketika mendatangi rumah Laila:

أمر على الديار ديار ليلى … أقبل ذا الجدار وذا الجدارا

وما حب الديار شغفن قلبي … ولكن حب من سكن الديارا

Aku berjalan menuju rumah, itu rumah Laila

Aku kecup dinding ini dan itu

Alasannya bukan karena rumah itu, hatiku mabuk kepayang

Tapi karena penghuni rumah-nya yang aku sayang

Qays mencium dinding rumah Laila; Qays mencintai rumah Laila; ini berarti betapa Qays begitu dalam mencintai Laila: mencintai dia berarti mencintai apapun yang ia miliki, apapun yang berkaitan dengannya.

Tuhan yang memiliki hak penuh atas hati manusia. Rasa pada hati sesorang tidak bisa divonis salah ketika mencintai sesuatu yang tidak selayaknya, karena itu adalah pemberian Tuhan. Sebagaimana iman dan ingkar, hanya tuhan yang punya kuasa untuk mengantarkan seseorang kepada salah satunya. Bahkan seorang rasul pembawa risalah tidak memiliki hak dan kemampuan untuk mengantarkan hati seseorang kepada iman. Disinilah dapat disimpulkan, hanya Tuhan yang memberikan rasa di dalam hati.

Walhasil, cinta merupakan anugerah Tuhan yang patut disyukuri dan diatur sesuai situasi dan kondisi, agar nafsu tidak menguasai. Dan yang harus benar-benar diperhatikan adalah bagaimana cinta tidak menabrak moral sosial dan agama. (fQh)

Oleh:
Sholihen
(Mahasantri Mahad Aly Marhalah Tsaniyah)

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest