Relasi Imam-Makmum dalam Pernikahan

Relasi Imam-Makmum dalam Pernikahan

Oleh: Nur Kholilah Mannan
(Alumni Ma’had Aly Situbondo)

Terkadang, untuk menjelaskan suatu hal butuh mencari padanan dengan hal lain. Selain membantu mendefinisikan, berfungsi pula untuk memperjelas persamaan keduanya. Adalah pernikahan, sebuah istilah yang memiliki ragam padanan (analogi). Suatu waktu disamakan dengan mahligai ketika menjelaskannya sebagai pasangan raja dan ratu, dua orang yang memiliki kuasa (kerajaan) di dalam rumah tangganya. Di saat yang lain, pernikahan diserupakan mengarungi perahu di mana suami sebagai nahkoda dan istri mitranya. Tak jarang, bahkan ini kerap kita dengar, bahwa pernikahan ibarat ibadah salat jamaah, di mana istri dan semua anggota keluarga harus patuh pada ‘gerakan’ suami sebagai imam.

Khasanah ilmu Ushul Fikih (dasar-dasar hukum Islam, Red.) menyebut istilah padanan atau analogi ini dengan Qiyās. Abdul Wahhāb Khallāf menjelaskan Qiyās adalah menyamakan dua kejadian yang tertera dalam teks dengan kejadian yang tidak termaktub di dalamnya, yakni sesuatu yang memiliki illat (sifat) serupa kemudian disamakan hukum keduanya.

Misalnya menyamakan khamr dengan narkoba karena sama-sama memabukkan, menghilangkan akal, atau membuat orang yang mengonsumsinya tidak sadar pada apa yang dilakukan dan diucapkan. Khamr disebut dalam ayat Alquran (QS. Al-Maidah; 90), namun narkoba tidak. Oleh karena itu, hukum narkoba disamakan dengan hukum khamr, yakni haram.

Kembali pada analogi pernikahan sebagai imam dan makmum sebagaimana dalam salat jamaah. Mayoritas orang menyamakan (memberi status, Red.) suami sebagai imam dan istri sebagai makmum dalam rumah tangga. Selama pernikahan istri harus mengikuti semua gerakan suami, tanpa bantah atau aksi-reaksi istri.

Mari kita lihat persamaan sifat antara pernikahan dan berjamaah. Pertama, niat (dalam salat berjamaah). Seorang imam harus memiliki tekad/niat menjadi pemimpin untuk mendapatkan pahala jamaah (membangun tumah tangga), jika tidak maka imam tidak akan dinilai sebagai imam, ia terhitung salat sendiri saja. Sebagai seorang suami mestinya juga demikian, tertanam tekad yang kuat untuk menjalankan rumah tangga bahkan sejak sebelum ikrar suci itu diucapkan (ijab-kabul).

Kedua, dari niat itu muncullah tanggung jawab menanggung kelalaian makmum seperti tidak nutut membaca fatihah, lupa rakaat, lupa sunah-sunah salat, tidak nututi gerakan salat, dan hal-hal serupa. Sejak suami mengucap “kabul” setelah wali istri mengucap “ijab”, ia bertanggungjawab penuh terhadap istri dan seluruh anggota keluarga. Di sinilah letak dan fungsi suami yang paling fundamen; bertanggungjawab atas keilmuan, spiritual, dan ekonomi keluarga. Seorang lelaki harus punya (setidaknya tidak berhenti berusaha membangun) sikap rujūlah “kekokohan, kemandirian” agar bisa memimpin rumah tangga. Lalu istri apakah hanya sebagai konco wingking (teman di belakang)? Tentu saja tidak.

Ketiga, makmum juga punya peran sama dalam menciptakan jamaah yang kondusif, ideal, dan mendapatkan pahala purna 27 derajat. Jika imam menunjukkan tanda-tanda berbuat salah, baik itu dalam sunah apalagi rukun, makmum memiliki keharusan mengingatkan dengan cara tasbīh (mengucap subhānallah jika makmumnya laki-laki) dan tafīq (tepuk punggung tangan jika makmumnya perempuan). Hal ini menampakkan adanya aksi dan reaksi aktif antara imam dan makmum. Jika kesalahannya di tingkatan sunah maka makmum harus toleransi karena manusia tidak akan luput dari salah, namun jika itu terkait rukun salat maka makmum diberi pilihan, mufāraqah (niat keluar dari salat jamaah) atau menunggu tanpa mengikuti gerakan imam yang salah. Dalam pernikahan pun demikian. Istri yang berposisi sebagai makmum artinya harus “aktif”, bukan sebatas konco wingking yang hanya di belakang dan tidak berfungsi.

Keempat, memilih imam berkompeten memang sulit tapi ada gradualisasi (tata urutan/berangsur-angsur, Red.) yang disuguhkan fikih di sini, yaitu afqah (lebih alim fikih), aqra’ (lebih bisa-benar dalam baca Alquran), dan asannu (lebih tua). Akan tetapi, poin ini tidak seluruhnya bisa direalisasikan dalam kehidupan rumah tangga, yakni pada kriteria seorang suami. Tidak setiap lelaki memiliki kapasitas seperti ini. Namun poin terpenting adalah suami/imam harus mampu membimbing anggota keluarga, apapun kapasitas yang dimiliki. Begitu juga dengan istri, harus sejalan dengan misi suami. Agar aksi dan reaksi tercipta aktif antara suami istri.

Terakhir, merapatkan barisan antara satu dan lainnya. Di dalam salat jamaah ada banyak fadhilah atau keutamaan, di antaranya saf/barisan, jika ada kerenggangan antara anggota jamaah maka kobonglah pahala fadhilah itu (dengan pengecualian masa pandemi Covid-19 sekarang, Red.). Dengan demikian, setiap komponen keluarga bertugas merapatkan diri bukan menjaga jarak yang berpotensi melahirkan kebekuan dan perpecahan.

Dari uraian persamaan di atas maka menjadi salah kaprah jika istri hanya diposisikan sebagai anggota jamaah yang pasif. Istri bukan konco wingking yang harus manut seluruh gerak suami tanpa ada diskusi, musyawarah, dan saling tegur di dalam pernikahan. Bahkan, istri diberi pilihan keluar dari barisan jika suami tidak mau diingatkan mengenai kesalahannya. Istri adalah mitra sejati untuk bersama-sama melakukan peran aktif dalam mewujudkan rumah tangga.

*Tulisan ini sudah pernah di muat di Neswa.id
*Sumber Gambar: Freepik.com

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest

Exit mobile version