Syekh Dhofir; Guru Besar Sukorejo

Syekh Dhofir; Guru Besar Sukorejo

Saat acara webinar bertajuk, “kisah-kenang K.H. Dhofir Munawwar Sebagai Arsitek Keilmuan PP Sukorejo” kemarin, ada banyak kisah menarik disampaikan oleh para narasumber. Setiap narasumber menyampaikan kesaksian “berkelasnya” tentang sosok Syekh Dhofir. Acara kemarin menghadirkan empat alumni senior yang pernah mengaji langsung kepada menantu kesayangan Kiai As’ad ini. Kiai Afif misalkan, beliau memiliki pengalaman pernah mendapat koreksi perihal gramatikal Bahasa Arab. Mulanya, beliau menduga bahwa yang menasabkan maf’ul ma’ah adalah wawu maiyahnya, namun menurut Syekh Dhofir tidak begitu. Syekh Dhofir spontan membaca salah bait nadham alfiyah ibn Malik sebagai rujukannya.Yang mengagumkan Kiai Afif, ayahanda K.H. Ach. Azaim ini ingat betul bunyi nadhomnya. Padahal usianya sudah sepuh. Walau terkenal alim, setidaknya usia yang sudah sepuh akan mengganggu hafalannya, tetapi nyatanya tidak. Hafalan beliau masih fresh dalam ingatan.Kiai Syarifuddin Damanhuri Bangkalan mengenang cara mengajar Syekh Dhofir. Cara mengajarnya sama seperti Abuya Sayyid Muhammad bin Alwi almaliki. Waktu melaksanakan ibadah haji tahun 1979, di Babul Fatah, Kiai Syarif pernah mengikuti dan menyimak pengajian Abuya. Dari sana, beliau menyimpulkan bahwa gaya mengajar Syekh Dofir sama seperti Abuya. Membahas satu atau dua hadis saja, namun elaborasinya luas dan mendalam dengan multiperspektif. Maklum, Syekh Dhofir tidak hanya tersohor sebagai kiai yang alim satu fan ilmu, namun banyak ilmu.Sebagaimana Kiai Afif, Kiai Syarif juga pernah mendapatkan koreksi dari Syekh Dhofir. Sekitar Tahun 1973, saat baru boyong dari Sukorejo, kepda masyarakat Kiai Syarif lantang melarang praktik magadhuh sapeh/ paroan sapeh (Madura) atau ngadas sampi (Lombok) akad mura’i dalam istilah fiqh. Hemat Kiai Syarif, praktik semacam ini fasid. Sontak saja, fatwa ini membuat gaduh seantore Bangkalan.Menurut Syekh Dhofir, tidak demikian cara dakwah di Masyarakat. Pendekatannya harus personal dan sosial karena itu berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak. Kalau muta’aqidain sudah saling ridho maka yang perlu diperbaiki adalah akadnya, demikian koreksi Syekh Dhofir kepada Kiai Syarif waktu itu.Dari Kiai Syakirshonhaji Jember, peserta webinar disajikan cerita bahwa Syekh Dofir tidak hanya alim, namun juga tajam secara spiritual. Walau saat pengajian Kiai Syakir lelap dalam tidur, namun kata demi kata yang keluar dari Syekh Dofir terdengar jelas. Setelah pengajian usai, Kiai Syakir terperanjat dari tidur. Dan ternyata, ia dengan mudah bisa memaknai kitabnya persis seperti yang telah disampaikan Syekh Dofir tadi. Kalau bukan karena ketajaman spiritual, agak sulit bisa melakukan hal demikian ini. Kisah kenang trakhir disampaikan Oleh Bupati Bondowoso. Saat di pesantren dulu, Kiai Salwa terkenal sebagai salah satu santri yang alim. Sebagaimana kesaksian para santri lainnya, Kiai Salwa juga menyaksikan sosok Syekh Dhofir sebagai salah satu guru yang betah berlama-lama di majlis pengajian. Durasi mengajinya bisa sampai 6 atau 8 jam lamanya. Syekh Dofir tidak banyak membaca teks kitab, namun elaborasinya luas dan mendalam.Gaya baca Syekh Dhofir dalam istilah modern disebut intensif reading (qiraah mukatsafah). Gaya berbeda disampaikan oleh Syekh Toha. Syekh Toha banyak membaca kitab, lafzan wa makna dengan sedikit penjelasan. Dalam teori modern disebut ekstensif reading. (qiraah muassa’ah).Menurut Kiai Afif, Dua model pengajian ini sama-sama dibutuhkan di Pondok Sukorejo. Duo model ini saling melengkapi, wajar saja jika dari dua syekh ini banyak lahir santri yang alim seperti yang kita saksikan saat ini.Menurut Kiai Salwa, Syekh Dofir layak disebut sebagai Guru besar pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah. Kini 37 tahun lamanya beliau meninggalkan kita, meninggal lumbung-lumbung keilmuan sebagai bekal mengarungi bahtera kehidupan, amin.Lahul fatihah….

Oleh Doni Ekasaputra

Dosen Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest