RITUAL TOLAK BALAK (MUSIBAH) DI RABU WEKASAN, BOLEHKAH?

RITUAL TOLAK BALAK (MUSIBAH) DI RABU WEKASAN, BOLEHKAH?

Oleh: Solihen
(Mahasantri Ma’had Aly Situbondo)

Dalam kalender Islam, setiap bulan memiliki kehususan tertentu yang tidak terdapat pada bulan lain. Semisal Dzulhijjah, disana terdapat waktu khusus untuk melaksanakan ibadah haji, Muharrom yang memiliki tanggal 10 istimewa yang disebut ‘Asyuro dengan banyak keutamannya, Rabiul awal sebagai bulan kelahiran sang baginda Nabi Muhammad Saw dan begitu pun bulan-bulan hijriyah lain yang tak kosong dari khususiyahnya masing-masing. 

Termasuk diantara khususiyah yang dimaksud adalah yang terdapat pada bulan shofar. Bulan pasca Muharram ini memeliki hari unik yang dikenal dengan istilah rabu wekasan, teparnya berada pada rabu terakhir bulan shofar. Diantara yang beredar di masyarakat tentang hari tersebut adalah bahwa Rabu wekasan merupakan hari nahas atau hari celaka. Oleh karena itu orang-orang banyak membatasi aktifitas pada hari ini; seperti anak-anak dilarang keluar rumah, tidak memulai berdagang, tidak melakukan akad pernikahan dan lain semacamnya.

Selain dikenal sebagai hari nahas oleh kebanyakan orang, fenomena yang dapat kita jumpai di tengah masyarakat bahkan dapat diasumsikan sebagai adat yang tak bisa dilepaskan semenjak dahulu hingga saat ini; yaitu tradisi meminum air rajhe’en –bahasa madura-. Di dalam air itu terdapat sebuah kertas yang telah ditulisi oleh seorang tokoh tertentu yang telah dipercaya oleh masyarakat setempat. Tulisan yang dimaksud biasanya berupa ayat-ayat keselamatan untuk para nabi seperti salamun qoulan min robbir rohim dan seterusnya.

Selain upaya tolak musibah dengan meminum air rajhe’en, ikhtiyar menghindari musibah di hari ini juga banyak dilakukan oleh masyarakat dengan melaksanakan salat rabu wekasan. semuanya mereka lakukan dengan sangat yakin sebagai upaya dan doa untuk menolak musibah yang entah benar atau tidak berdasarkan keyakinan masyarakat turun pada rabu wekasan ini.

Begitulah yang terjadi di tengah masyarakat, sementara dalam Islam sendiri sebenarnya tidak mengenal adanya perbedaan mengenai hal tersebut. Bahwa semua hari itu baik dan tidak ada hari yang mengandung musibah atau malapetaka dan lain lain. kendatipun islam tetap menganjurkan tafa’ul dengan sebagian hari, misal memulai belajar di hari Rabu atau bepergian di hari Senin dan Kamis. Namun merupakan sebuah kesalahan besar jika beranggapan adanya hari yang menyebabkan seseorang tertimpa musibah atau kesialan terntentu. Agama islam mengajarkan hanya Allah swt semata yang mengatur baik-buruknya suatu takdir atau nasib bagi mahluknya.

Dalam sebuah riwayat, sebenarnya memang ada hadist nabi yang membahas secara khusus tentang adanya hari nahas tersebut. Dalam Mu’jam Al-Wasith juz 1 halaman 243 dengan redaksi demikian:

يَوْمُ الْأَرْبِعَاءِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ

 (Hari rabu adalah hari nahas yang berkelanjutan)

Namun hadis diatas telah dinasakh hukumnya dan tidak lagi dapat diamalkan atau paling tidak nasakh ini berlaku kepada seseorang yang meyakini bahwa yang mendatangkan musibah adalah hari yang dimaksud bukan dari Allah swt. Akan tetapi masih ada ulama yang menyandarkan sebuah atsar kepada Abdullah Ibn Abbas tentang adanya hari nahas ini, kendatipun ulama hadis mengatakan bahwa hadis yang dimaksud adalah dhaif bukan maudhu’

Dalam kasus salat menolak musibah yang dilakukan pada Rabu Wekasan, secara khusus tidak ada hadis sohih yang berbicara mengenai salat ini. Anjuran salat Rabu Wekasan sebenarnya datangnya dari sebagian ulama tasawuf dengan konsep istihsan (menganggap baik) dengan segala ketentuannya tanpa ditopang oleh teks-teks syariat secara sorih. Sementara kalangan ahli fikih tidak memperbolehkan melakukan ibadah tanpa ada dalil secara khusus; sebagaimana kaidah yang masyhur,

الأَصْلُ فِي الِعبَادَة التَّحْرِيم حَتّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلى إِبَاحَتِهِ

pada dasarnya, perkara ibadah adalah tidak boleh, sehingga ada dalil untuk untuk boleh melakukannya”

Dengan demkian ulama fiqh mengatakan salat ini tidak boleh dilakukan, pun seandainya tetap dilakukan maka salatnya tidak sah jika diniati sebagai penolak musibah saja. Oleh karenanya, jika diniati salat sunah muthlaq kemudian disusul dengan doa setelahnya maka tidaklah menjadi persoalan untuk dilakukan.

Kaitannya dengan fenomena air rajhe’en yang diyakini menolak musibah diatas sebenarnya adalah keyakinan yang keliru serta harus dihindari. Namun bukan masalah ketika orang-orang meminumnya dengan catatan tetap berkeyakinan bahwa yang mendatangkan musibah serta menghentikannya hanyalah Tuhan semata. Praktik meminum air tersebut dapat dilakukan hanya sebatas tawassul dan tabarruk tanpa ada keyakinan bahwa air itulah yang menolak musibah. Walhasil, semua musibah datang dari Allah Swt semata bukan berdasarkan pada benda atau waktu tertentu. Meskipun ditemukan di sebagian keterangan  bahwa pada biasanya Allah swt memang menurunkan musibah pada Rabu akhir bulan Shofar, akan tetapi sejatinya tetap murni dari Allah SWT. Kita sebagai umat yang beriman hendaknya memiliki keyakinan kuat mengenai hal ini, disamping Islam juga menganjurkan ikhtiyar untuk menghindari semua musibah dan petaka yang akan datang, dengan tetap berdoa dan memohon lindungan kepada allah yang mengatur segala urusan mahluknya, wallahu a’lam. [Solihen]

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest

Exit mobile version