Versi Lain Filosofi Tongkat dan Tasbih Sebagai Isyarat Lahirnya NU

Versi Lain Filosofi Tongkat dan Tasbih Sebagai Isyarat Lahirnya NU

Syahdan, di tengah materi ke-NU -an, Ust. Khoiruddin Habziz, sebagai pemateri memberikan tugas kepada peserta untuk menulis tema yang berkaitan dengan NU. Hal itu beliau sampaikan kala pergelaran Tamhidiyah Calon Alumni (TCA).

TCA merupakan kegiatan yang bertujuan menguatkan nilai-nilai kepesantrenan dan NU bagi santri Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo yang hendak boyong dari pesantren. Dan tanggal 5 Mei 2024, kegiatan TCA terselenggara sebagaimana biasa.

Salah satu materi dalam kegiatan tersebut adalah penguatan tentang ke-NU-an yang disampaikan langsung oleh Ketua Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Banyuputih, Ust. Khoiruddin Habziz. Di tengah penyampaian materi, beliau memberikan tugas kepada masing-masing kelompok untuk menuliskan tema berkaitan dengan NU, lalu para delegasi kelompok itu mempresentasikannya.

Dan aku adalah delegasi kelompok pertama yang mendapatkan tugas menuliskan tema filosofis tentang ke-NU-an. Setelah aku berembuk dengan kawan kelompok satu, jatuhlah tongkat dan tasbih sebagai objek tulisan yang akan dipresentasikannya – tema-tema lainnya ada yang ciri khas NU, Struktural NU, dan sebab musabab dan sejarah lahirnya NU.

Sebagaimana maklum, tongkat adalah isyarat pertama dari lahirnya NU yang diterima Hadratussekh KH. Hasyim As’ari dari gurunda-nya Syaikhona Kholil Bangkalan melalui perantara santri Muda, As’ad – pengasuh kedua pondok Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo yang masyhur dengan nama KHR. As’ad Syamsul Arifin.

Selain tongkat, tasbih juga menjadi isyarat kedua yang, melalui perantara KHR. As’ad tasbih itu, diterima oleh KH. Hasyim As’ari dari Syaikhona Kholil Bangkalan. Disertai dua zikir yang menggelegar, Ya Jabbar… Ya Qahhar...

Bila tasbih dibarengkan dengan zikir; Ya Jabbar… Ya Qahhar… maka tongkatpun juga disertai dengan ayat Alquran yang dibacakan melalui bibir mulia sang murid – As’ad – dari bibir guru yang basah dengan lantunan asma suci, Syaikhona Kholil Bangkalan.

وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى (١٧) قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى (١٨) قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى (١٩) فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى (٢٠) قَالَ خُذْهَا وَلا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الأولَى (٢١) وَاضْمُمْ يَدَكَ إِلَى جَنَاحِكَ تَخْرُجْ بَيْضَاءَ مِنْ غَيْرِ سُوءٍ آيَةً أُخْرَى (٢٢) لِنُرِيَكَ مِنْ آيَاتِنَا الْكُبْرَى (٢٣)

Makna Filosofis Tongkat Versi Kelompok Satu

Tongkat, kataku mempresentasikan hasilnya, merupakan simbol dari nilai perjuangan berupa keadilan. Tegaknya tongkat adalah penegasan kepada seluruh masyarakat NU, baik yang struktural maupun kultural untuk senantiasa menegakkan keadilan, di mana dan kapan pun.

Keadilan inilah yang merupakan perjuangan fundamen dari NU sebagai miniatur dari sebuah “agama-negara”. Mulai dari keadilan dalam ranah sosial-ekonomi, keadilan antara melestarikan kearifan lokal dan mengakulturasi nilai-nilai yang sesuai zaman, keadilan antara ibadah sosial dan ritual.

Pepatah arab mengatakan:

إن الدولة العادلة تبقى وإن كانت كافرة، وإن الدولة الظالمة تفنى وإن كانت مسلمة،

“Sesungguhnya negara yang adil maka eksistensinya akan berlangsung kendatipun kafir. Sesungguhnya negara yang zalim maka akan runtuh sekalipun muslim”.

Poin penting dari itu adalah, keharusan warga NU untuk senantiasa menjaga dan melindungi tongkat yang berdiri menjulang tinggi dan mengakar kuat ke dasar bumi yang ditegakkan oleh para muassis NU. Dalam arti, senantiasa memperjuangkan nilai keadilan dalam segala lini kehidupan. Bila tidak, bahkan berusaha memporak-porandakan nilai-nilai NU yang telah tegak dan menggoyangkan tongkat yang sudah tegak berdiri lurus maka cemas-cemaslah akan kehancurannya sendiri.

Makna Filosofis Tasbih Versi Kelompok 1

Sedangkan tasbih, masih menurut saya yang menuturkannya, adalah simbol dari lingkaran persatuan yang diikat kuat Ya Jabbar… Ya Qahhar…

Butir demi butir tasbih laksana warga NU yang senantiasa merapatkan barisan serta menjaga keutuhan dan persatuan. Muara dari lingkaran tasbih adalah butir yang terbesar di ujungnya, yang merupakan ilustrasi dari muassis NU.

Dengan kata lain, jangan sampai warga NU bercerai berai walau dihantam badai perkembangan zaman dan musuh-musuh yang terus mengintainya. Warga NU harus selalu bergandengan tangan; memberikan koneksi dari sat ke warga lainnya layaknya butiran tasbih yang akhirnya tersambung ke Muassi sebagai ujungnya.

Dalam Alquran tidak sedikit mengecam Tindakan perpecahan. Dalam Surah Ali Imran Allah berfirman;

وَٱعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُواْ

“Berpegang teguhlah kalian semua dengan tali Allah dan jangan bercerai berai!” (QS Ali Imran: 103).

Mantuq ayat ini menegaskan (1) untuk berpegang teguh kepada tali Allah, (2) melarang berpecah belah. Mafhumnya, (1) Tuhan melarang melepaskan pegangan dari tali Allah, (2) Tuhan menganjurkan persatuan.

Dalam konteks tasbih dan warga NU, maka warga NU wajib hukumnya berpegang teguh kepada “tali-tali Allah” yang tiada lain adalah para ulama dan muassis, serta haram mencerai-beraikan butiran tasbih dari rantai pengikatnya persatuan warga NU. Allahu A’lam. Terimakasih.

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest