Wajah Pesimis Fikih Melihat Pengelolaan Tambang oleh PBNU

Wajah Pesimis Fikih Melihat Pengelolaan Tambang oleh PBNU

Oleh: Ust. Abd. Wahid
(Dosen Mantik Mahad Aly Situbondo)

Tulisan ini akan melanjutkan kembali diskusi soal ‘fikih pertambangan’ PBNU yang dipantik oleh Gus Ulil beberapa waktu lalu. Sebagaimana Beliau, saya tidak ada pretensi memaksakan pendapat, menang-menangan, apalagi berlagak jago dalam diskusi ini. Saya memosisikan diri sebagai santri yang tengah bergairah menyambut pengajian kiainya dengan sejumlah pertanyaan dan kritik.

Postingan ini dipandu oleh ruh Bahtsul Masail. Forum diskusi fikih ala santri ini dimulakan dengan deskripsi dan pertanyaan. Deskripsi masalah dan rumusan pertanyaan yang baik berarti sudah separuh putusan hukum yang baik. Al-hukm ‘ala al-syai’ hukm ‘an tashawwurihi. Untuk ini, saya kembali memancangkan, mahall al-nizā’, pokok kontroversi topik kita saat ini, adalah: apakah PBNU sebaiknya ikut menambang batu bara? Supaya diskusi langsung menyasar jantung persoalan, realistis, konkret, dan definitif, fikih harus wāqi’iyah, dhāhir, dan mundlabith.

Tanpa deskripsi yang baik, rentan diskusi mengalami intisyār, gagal fokus, dan disusupi argumen retoris yang buruk. Sebagai misal, ada beberapa pembaca postingan Gus Ulil yang gagal paham menyimpulkan kalau keputusan untuk menerima izin konsesi tambang sama dengan keputusan PBNU menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Dicaci pada masanya, tapi dipuji di kemudian hari. Mereka ini harus diingatkan kalau kesamaan antara keduanya adalah sama-sama jadi sasaran perisakan. Itu saja. Penerimaan Pancasila itu hasil resmi muktamar, sementara pengajuan izin konsesi tambang itu sebentar setelah muktamar merekomendasikan pengurangan produksi batu bara. Bahkan analogi tersebut tidak pantas disebut al-Qiyās ma’a al-Fāriq yang invalid itu.

Mari kita mulai diskusi. Jika perlu, siapkan kopi!

Kaidahnya Sama, Tapi Produk Hukumnya Beda

Salah satu dimensi eksotis fikih adalah keserbamungkinan yang sepertinya tidak terbatas. Anda bisa merasakan ini, misalnya, dalam bab menstruasi. Saking banyak penjabaran hukum dan kemungkinan permutasinya, konon ada ahli fikih yang lebih memilih memanggul gunung Rinjani daripada menjawab pertanyaan Mbak Anjani yang mengalami perdarahan istihadah.

Keserbamungkinan juga bisa terjadi dalam relasi peranti kaidah dan produk fikih. Peranti yang sama bisa menghasilkan hukum yang berbeda. Atau peranti yang berbeda bisa menghasilkan hukum yang sama. Jadi kaidah yang sama tidak selalu menghasilkan putusan yang identik, bergantung pada siapa dan bagaimana mengoperasikannya. Bagnaia dan Enea memakai motor dari pabrikan yang sama tapi hasil balapan mereka sering berbeda jauh.

Sementara pihak menilai bangunan argumentasi fikih Gus Ulil kuat dan mapan meskipun sebetulnya postingannya membawa tidak lebih dari dua kaidah. Dua kaidah tersebut “dieksploitasi” untuk menambang putusan fikih yang agaknya sudah dirumuskan sebelum menyusun premis-premisnya. Benar, Gus Ulil memang berhasil menampilkan wajah fikih yang optimis. Demi menepis euforia optimisme itu, saya ingin menampilkan wajah fikih yang pesimis juga melalui kaidah yang sama.

Kaidah pertama, menghindari bahaya harus diutamakan ketimbang memburu maslahat. Cobalah anda membaca postingan Gus Ulil sekali lagi dengan cermat. Kaidah ini dipasangnya sebagai pemanis tulisan belaka; bak karangan bunga di pemakaman, indah tapi tidak melipur lara apalagi menghidupkan mayat. Tidak ada elaborasi serius. Saya bersangka baik mungkin beliau lupa. Padahal kaidah ini tidak kalah krusialnya dibandingkan kaidah kedua menyangkut topik kita.

Kaidah ini oleh al-Suyuthi dibahas secara intens dalam konteks syarh atas hadis (الضرر يزال), hindarilah bahaya. ‘Izzuddin bin Abdussalam menyusun petunjuk operasional kaidah ini dengan gamblang. Tulisnya, jika tidak mungkin menghindarkan bahaya sekaligus mencapai manfaat, maka kemungkinannya tiga: manfaatnya kecil/asumtif sedang bahayanya besar/nyata; manfaatnya besar/nyata dan bahayanya kecil/asumtif, maka ambil manfaat sambil berdamai dengan bahayanya; dan atau baik manfaat maupun bahayanya sepadan, maka lakukan kajian ulang. Nah, kaidah pertama ini menyasar kemungkinan pertama sehingga bunyi persisnya: menolak bahaya yang besar/nyata lebih diprioritaskan daripada memburu manfaat yang kecil/imajinatif.

Jika topik kita adalah soal keterlibatan PBNU dalam pertambangan batu baru (ingat mahall al-nizā ya!), alih-alih mendukung Gus Ulil (dalīl lah), kaidah tersebut justru menjadi senjata makan tuan (dalīlun ‘alaih). Sebab, itu berarti menghasilkan nalar berikut: PBNU menambang batu bara itu manfaatnya kecil/asumtif, sedang bahayanya besar/nyata, maka menolak bahaya harus diprioritaskan daripada memburu manfaat. Ya, demikianlah keniscayaan logisnya.

Anda mungkin bertanya, “Bagaimana kalau keterlibatan PBNU dalam tambang batu bara membawa pada manfaat yang besar nan nyata sedang bahayanya kecil nan khayali; atau menimal sepadan?” Jawabannya gampang, andai benar begitu maka Gus Ulil berarti tidak paham kaidah pertama yang dikutipnya. Gus Ulil tidak paham? Saya menolak kemungkinan ini. Beliau paham kaidah tersebut, maka muncullah takwil operasional berikut: Menolak kekacauan akibat tidak lagi memakai listrik sama sekali lebih baik daripada memburu manfaat dari penghentian tambang secara mendadak.

Ya benar, takwil ini berakar pada asumsi berlebihan (dan keliru) bahwa menolak PBNU terlibat dalam tambang batu bara berarti menolak pertambangan sama sekali hari ini. Namun, jika takwil ini diterima, berarti benar dugaan kalau kaidah pertama tidak lebih dari bunga-bunga argumen, sebab, takwil tersebut lebih tepat ditampung kaidah kedua.

Kaidah kedua, menyangkut pertentangan dua mafsadat salah satunya kecil dan lainnya besar (اذا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما بارتكاب أخفهما), sengaja saya tuliskan teks arabnya karena sudah ada dua postingan keliru mengutip bunyi kaidah ini,—saya tidak perlu mengulang kembali postingan pertama tentang kesilapan nalar Gus Ulil dalam poin ini. Lantas, bagaimana kalau kaidah ini dioperasikan secara berbeda dengan operasi Gus Ulil?

Jika PBNU menambang batu bara, maka ia terlibat aktif dalam penambahan akumulasi emisi karbon dan pencemaran lingkungan. Sebaliknya, jika tidak menambang, maka ia tidak mendapatkan sumber revenue. Diketahui mafsadat yang pertama itu real dan meluas, sedangkan mafsadat kedua itu potensial dan terbatas. Dengan demikian, kita menempuh pilihan kedua. Bandingkan dengan operasi Gus Ulil mana yang tampak masuk akal?

Baiklah, anda mungkin teguh pada dan lebih suka dengan operasi beliau dan karenanya saya tidak bisa memaksakan operasi lain untuk anda terima. Di sini kita berdiri di azas toleransi berkaidah: bagimu operasi kaidahmu dan bagiku operasi kaidahku. Tetapi kalau demikian, tersisa satu simpulan niscaya, yaitu kaidah fikih tidak bisa digunakan sebagai pemecahan masalah hukum aktual. Memang demikianlah mayoritas pakar fikih berpendapat, bahwa kaidah fikih bukan peranti istinbāth. Ia tidak lebih dari semacam katalog bagi sekumpulan produk fikih yang memiliki karakter dan hukum yang sama atau mirip-mirip (ingat judul buku al-Suyuthi kan? Iya, al-Asybāh wa al-Nādhair).

Meletakkan kaidah fikih sebagai sistem katalog buku berarti menolak peranannya dalam formulasi hukum aktual. Sampai sini, saya kutip satu bukan ayat supaya kita tidak lupa lagi,

Perumpamaan orang-orang yang menggunakan kaidah fikih semata-mata dalam beristinbāth adalah sama dengan ibu-ibu yang lebih memilih santan kemasan daripada memarut sebiji kelapa lalu memeras saripatinya. Maka, apakah sama mereka yang menempuh jalan serba instan dengan mereka yang menapaki jalan terjal. Afalā tatafakkarūn, apakah kamu tidak memikirkannya?

Memeras santan Kelapa Maslahat-Mafsadat

Bagaimana kita dapat menepis bujuk-rayu kaidah fikih yang menawarkan keserbainstanan dan berpotensi “suka-suka gue”? Kita harus mengembalikannya kepada kaidah ushūl al-fiqh, bidan yang membantu persalinan produk fikih dari rahimnya, wahyu dan sabda. Tanpa itu, operasi kaidah fikih rentan menampilkan pesan galat, yaitu kegagalan operasi yang sedang dijalankan.

Sejumlah kaidah fikih bertema dilema maslahat-mafsadat dapat didudukkan secara proporsional jika dipandu oleh kajian maqāshid. Banyak tokoh yang belakangan mengembangkan kajian ini, antara lain ‘Allal al-Fasi, Thahir bin Asyur, dan yang sedang popular Jasser Audah dengan mega proyeknya Maqāshid holistik melalui teori sistem. Tapi saya cuma menyebut mereka dan demi alasan kesederhaan, saya memilih metode ‘peras santan’ maslahat yang lebih jadul, ya benar, formulasi Abu Ishaq al-Syatibiy, Suar Maqāshid Modern.

Al-Syatibi merancang klasifikasi yang kompleks tentang hukum mengunduh maslahat dan menghapus mafsadat. Sepenghitunganku ditemukan setidaknya tujuh lapis taqsīmāt, dengan pembahasan yang intensif terutama pada genus dan spesies yang status hukumnya dilematis. Harapannya ulasanku tidak simplistis karena pertimbangan ruang yang terbatas. Faqāla, maka berkata lah beliau,

Subyek hukum atau mukallaf dalam setiap tindakannya tentu mengupayakan pencapaian hak, manfaat, maslahat, dan di saat yang sama juga menghindari risiko, bahaya, dan mafsadat. Ambil yang enak-enak dan hindari yang tidak enak. Berhubung semua manusia begitu, benturan kepentingan menjadi tidak terelakkan. Ada orang yang maunya semua manusia mendapatkan enak, tapi ada juga orang yang maunya enak sendiri. Yah, memang tidak semua orang adalah manusia karena ada juga yang namanya orang utan.

Fikih, demikian juga sistem hukum lain, hadir untuk mengatur benturan kepentingan supaya semuanya mendapatkan enak. Cita luhur fikih mengupayakan semua manusia merasa enak di dunia hingga akhirat. Misi minimalnya, jangan sampai ada manusia yang tidak enak gara-gara ulah manusia yang seenaknya sendiri.

Sebelum tindakan hukum itu sendiri, fikih serius memberikan perhatian kepada niat, maksud, atau intensi subyek tindakan karena Nabi saw. bersabda innamā al-a’mālu binniyāt, semua amal bergantung pada niatnya. Tidak peduli apakah suatu tindakan benar-benar berdampak bahaya atau tidak, tapi dengan intensi jahat dari pelakunya, fikih secara tunai menghukuminya haram.

Sebaliknya, tanpa intensi sama sekali atau bahkan berintensi mulia sekalipun, fikih masih menjeda diri untuk melihat apakah suatu tindakan pasti berdampak bahaya atau tidak. Tindakan yang tidak berdampak bahaya jelas diperbolehkan, misalnya buang kotoran di jamban milik sendiri.

Sedangkan tindakan yang pasti berdampak bahaya, memiliki tingkat intensitas kepastian yang berjenjang, mulai yang sangat kuat sampai yang paling lemah. Al-Syathibi menjenjang dalam urutan berikut: niscaya bahaya, diduga kuat berbahaya, sering berbahaya, tidak jarang berbahaya, dan jarang berbahaya. Dalam klasemen ini di mana bahaya dari penambangan PBNU mengambil tempat? Di peringkat berapa sehingga kita optimis PBNU sudah menemukan win-win solution?

Tidak lupa, al-Syathibi menginput dalam intensitas bahaya barusan entri perihal apakah bahaya itu menimpa masyarakat luas (‘āmm) atau masyarakat terbatas (khāshsh). Apakah bahaya pertambangan batu bara menyebar luas atau sekadar terbatas bagi kelompok warga tertentu?

Bersabarlah, saya akan mensimulasikan maslahat-mafsadat penambangan PBNU dalam klasifikasi yang tersusun dalam tujuh lapis ini. Simulasi hanya untuk kategori di mana saya nilai lumayan relevan dengan konteks masalah kita. (Kalau tidak puas, silakan rujuk kitabnya dan lakukan simulasi sendiri!)

Kategori “Subyek hukum akan ditimpa bahaya sekiranya tidak mengklaim haknya padahal ia membutuhkannya di satu sisi, tapi membahayakan orang lain sekiranya dia mengklaimnya di sisi lain. “

Umpama, kelak terjadi krisis darurat pangan. Dilemanya, kalau engkau membeli persedian pangan yang tandas itu berarti engkau membuat orang lain kelaparan, tapi kalau kautunda membeli engkau sendiri yang kelaparan. Mesti ada yang mati kelaparan: kita atau mereka. Toh, pasti ada yang mati, naluri mengambil keputusan biarkan mereka saja yang mati. Bagaimana kalau mahall al-nizā’ kita masukkan ke dalam bentuk ini? PBNU akan ditimpa bahaya karena tidak mengklaim haknya mengelola tambang, yaitu kegiatan dakwahnya terganggu atau macet total, tapi sekiranya mengelola berarti perusahaan atau ormas lain tidak kebagian cuan atau kegiatan dakwah mereka terganggu. Apakah ini maksa? Jawabannya mungkin lebih banyak ditentukan oleh selera masing-masing. Tapi kita tahu, NU berhasil bertahan lebih dari seratus tahun dengan pesta perayaan ultah seabad yang tidak bisa disebut sederhana. Lagi pula contoh al-Syathibi itu darurat pangan (dlarūriy), dan contoh nominasi kita soal revenue dan pertumbuhan ekonomi (hājiy).

Ada banyak kategori di sana, pembaca bisa membuat simulasinya sendiri. Kepentingan mengutipkan klasifikasi al-Syathibi sekadar menunjukkan bahwa satu atau dua buah kaidah fikih yang digunakan untuk memutus dilema hukum terkait maslahat-mafsadat merupakan tindakan gegabah yang membuat kaidah itu sendiri begitu elastis, liar, dan memuat makna tambahan dari makna yang dimilikinya. Inilah yang saya maksud dengan “eksploitasi kaidah” di awal tulisan.

Klasifikasi al-Syathibi memang penting dilibatkan dalam diskusi tarik-ulur maslahat dan mafsadat. Tetapi, tetap saja ia belum cukup. Ia hanya semacam premis mayor dalam silogisme yang mesti dilengkapi dengan premis minor. Ia juga separuh pertama dari jalan panjang ijtihad yang disebut dengan fiqh al-nushūsh. Separuh sisanya, tidak kalah krusial, kita sebut fiqh al-wāqi’.

Tahap pertama ini mengurusi pemahaman wahyu, sedang bagaimana menerapkan teks suci tersebut dalam realitas menjadi bagian tahap kedua. Ijtihad yang baik itu tidak berhenti begitu perebutan tafsir atas wahyu berakhir, tapi harus dilanjutkan ke seluk-beluk penerapannya. Sekadar ilustrasi, hukum potong tangan atas pencuri tidak bisa ditawar-tawar, tetapi apakah Budi si pencuri lampu petromax pertambangan harus dikenakan potongan tangan? Belum tentu.

Tidak ayal kita memerlukan laporan-laporan lapangan pertambangan batu bara untuk merumuskan premis-premis minor sebagai pelengkap bagi klasifikasi al-Syathibi. Tanpa itu, baik pihak pro maupun kontra, bisa-bisa menggunakan peranti yang sama untuk menjustifikasi pilihan sikap masing-masing.

Kita membutuhkan kajian dari sejumlah pakar dalam berbagai disiplin, mulai dari ekonomi pertambangan sub batu bara, laporan-laporan terkini dari aktivis pelestarian lingkungan (jangan yang ekstrem—saran Gus Ulil), sosiologi, antropologi, histori dan medis (saran Mbak Gayatri dengan Ayub-nya sebagai korban keserakahan pertambangan timah), kajian ekofeminis (mungkin ini maksud dari Kang Faqih), dan disiplin-disiplin lain yang relevan. Jangan lupa, kita juga perlu menyimak nalar fikih mutakhir PBNU, berikut analisis SWOT menyangkut rencana penambangannya.

Alpa kajian mereka semua, mujtahid hanya seperti dosen logika yang mantap dengan premis mayornya, tapi gamang merumuskan premis minornya. Kisahnya, pak dosen itu membuat proposisi “semua suami pasti ingin poligami,” satu mahasiswi feminis ekstrem menghardik, “Apakah bapak ingin poligami juga?” Setelah terdiam sejenak, pak dosen berkata, “Aku bilang semua suami. Titik.” dan ia tidak pernah berani melanjutkan ke premis minor, sesuatu yang ditanya oleh mahasiswinya.

Kalau Kamu Boleh, Mengapa Aku Tidak?

Jujurly, dilema ini menipisikan visi pesimisku menyangkut kontroversi pengelolaan tambang batu bara oleh PBNU. Ia dibangun di atas premis-premis yang tidak mudah dibantah: bahwa tambang itu halal dan tidak najis, bahwa bahaya penambangan batu bara tidak terelakkan siapapun pengelolannya (PBNU atau bukan), bahwa ada harapan yang dapat dipercaya kalau PBNU sebagai pengawal moral bangsa mampu menjadi pengelola yang baik. Menyimak rententan “bahwa” ini, kita perlu mendengar argumen kaum optimis,

“Kalau mereka bisa mengelola, mengapa aku di-bully bahkan saat izin pengelolaan belum diteken?” Meminjam Pram, kaum pesimis tidak adil semenjak dalam pikiran. Dengan visi optimis, Gus Yahya misalnya, seolah menunggang argumen, “Kami berkomitmen pengelolaan kami lebih baik dari yang sudah-sudah. Halal sudah. Tinggal thayyiban-nya kita upayakan dengan maksimal. Atau kalau ini terdengar gombal, setidaknya kami tidak lebih buruk dari yang sudah-sudah.”

Argumen ini lebih “soft” dalam kacamata fikih daripada membuat dilema bombastis antara mafsadat dengan cara menghentikan batu bara secara mendadak hari ini juga dengan mafsadat dari pertambangan batu bara. Demi ini, mari bersimpati dan jangan tergesa menampik. Sebab, argumen ini memang bisa dibenarkan oleh, setidaknya, khazanah fikih klasik.

Fikih membolehkan kita menyogok untuk mengambil hak meskipun menyebabkan pihak lain tidak mendapat hak serupa, itu boleh jika ada proyeksi kita lebih baik daripada pihak lain itu. Proyeksi lebih baik ini juga berlaku dalam kasus pagar makan tanaman. Budi Baik tega merebut Dara dari tangan tunangannya yang bernama Begundal Jahat, demi menyelamatkannya dari KDRT kelak. Ada lho pandangan Fikih yang membenarkan tindakan Budi Baik ini, meskipun engkau mencibir, “Kebaikan macam apa yang menghempaskan seseorang dari cintanya?”

Proyeksi “kita lebih baik” ini juga agaknya yang menjadi basis moral bagi “orang-orang saleh” yang mengambil bagian dalam praktik politik uang karena kadung kecebur dalam kontestasi politik praktis. Dalil mereka, “Baik saya ikut atau tidak, toh bagi-bagi duit terus tumbuh subur. Nah, kalau saya terpilih saya akan menjadi wakil rakyat yang baik, atau setidaknya saya tidak lebih buruk dari yang ada saat ini.”

Sudah lama saya risau dengan argumen macam ini. Bertanya-tanya, apakah “orang-orang saleh itu” lupa kalau salah satu misi dakwah mereka adalah menghapuskan praktik yang dalam sabda Baginda Rasul, pelakunya bakal dipanggang di lubang batu bara khas neraka? Apakah mereka frustasi seperti nabi Yunus as., dan haruskah ikan hiu menelan mereka hidup-hidup agar kembali sadar? Atau…jangan-jangan itu wujud kecerdikan seperti dalam dongeng seorang juru dakwah yang ikut-ikutan dalam sabung ayam untuk memberantas perjudian dalam penyiksaan unggas kesukaan Upin-Ipin ini? Mungkin pilihan kita lebih ditentukan oleh selera. Dan, obat bagi selera murahan adalah logika yang dipantau nurani.

Lapis ketujuh dari klasifikasi dilema maslahat-mafsadat al-Syathibi kiranya dapat menjadi panduan bagaimana kita selamat dari selera murahan. Penting dicatat, dengan memasukkan lapis terakhir ini saya menurunkan intensitas risiko bahaya pertambangan batu bara dari “pasti” atau “sering” ke level “tidak jarang”. Fa qāla, maka berkata siapa ké Mushannif,

وأمَّا القِسْمُ الْخَامِسُ وَهُوَ اَنْ لَا يَلْحَقَ الْجَالِبَ أَوِ الدَّافِعَ ضَرَرٌ وَلكِنْ أَدَاؤُه إِلى الْمَفْسَدَةِ قَطْعِيٌّ عَادَةً، فَلَه نَظَرَانِ.

Teks ini, lebih-kurang berbunyi, di satu sisi jika PBNU ikut atau tidak menambang ia tidak ditimpa suatu bahaya, tapi di sisi lain kalau menambang ia hampir pasti membahayakan pihak lain. Dalam dilema ini, ada dua sudut pandang berikut.

  1. Ditinjau dari aspek PBNU bermaksud mengambil jatahnya (haknya) yang legal menurut syariat, tanpa ada intensi membahayakan pihak lain dengan penambangannya, dari aspek ini, PBNU menambang ya boleh-boleh saja.
  2. Ditinjau dari aspek PBNU mengetahui kepastian bahaya dari penambangan yang dilakukannya, maka ada dua situasi yang niscaya. Adakalanya PBNU memang memiliki intensi membahayakan pihak lain. Atau adakalanya PBNU tidak melakukan kajian yang matang (taqshīr fi al-nadhar). Dalam dua situasi ini, haram hukumnya PBNU ikut-ikutan menambang.

فَيَلْزَمُ اَنْ يَكُونَ مَمْنُوعا مِنْ ذلِكَ الفِعْلِ لكِنْ إذا فَعَلَه فَيُعَدُّ مُتَعَدِّيا بِفِعْله وَيَضْمَنُ ضَمانَ الْمُتَعَدِّي عَلى الْجُمْلَةِ ويُنْظَرُ فِي الضَّمَانِ بِحَسَبِ النُّفُوسِ وَالأَمْوَالِ عَلى مَا يَلِيْقُ بِكُلِّ نَازِلَةٍ.

Terjemah bebasnya, “PBNU harus dihalangi mengelola tambang batu bara. Umpama kelak kadung menambang berarti ia melampaui batas dan harus bertanggung-jawab untuk setiap kerugian, misalnya penduduk sekitar yang hilang mata pencahariannya, atau anak-anak mereka mati tenggelam di lubang galian tambang.

Bung, kan ada sudut pandang pertama yang optimis? Ingat, pandangan yang terlalu pesimis memang melihat ulat bulu sebagai harimau lapar yang hendak merobek perut dengan taringnya. Aku melanjutkan, “Dan pandangan yang over optimis bisa melihat si kuning mengambang di sungai bak emas 24 karat.”

Kaum optimis mengingatkan saya kalau karakter fikih adalah realistis, bahkan sesekali pragmatis. Aku mengingatkan mereka, jangan alpakan fikih juga memiliki karakter idealis. Tanpa karakter terakhir ini, fikih hanya menjadi pelayan yang menyuplai dalil-dali suci bagi setiap tindakan kotor. Hīlah. Fiqh al-Dunya, tuding Algazali.

Tulisan ini sudah pernah dimuat di WazanMedia.com dengan judul yang sama.


Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest