Yang Universal dan Yang Partikular

Yang Universal dan Yang Partikular

Ajaran universal syariat (kulliyyat as-syari’ah) adalah ajaran mendasar, tak dapat diganggu gugat (qath’iyy) dan berlaku selamanya yang didukung oleh argumentasi syariat sendiri serta dikuatkan oleh akal sehat. Sedangkan ajaran partikular (juz’iyyat as-syariah) adalah ajaran-ajaran yang bersifat rinci, teknis, kontekstual dan cenderung dinamis. Ajaran-ajaran universal adalah akar atau wadah bagi ajaran-ajaran partikularnya.

Bagaimana kalau ternyata benar-benar ada ajaran khusus yang diduga kuat berasal dari Nabi, tetapi jika direnungkan seolah-olah melenceng dari akar ajaran universalnya? Mana yang harus didahulukan? Apakah yang universal, ataukah yang partikular? Apakah yang seolah melenceng itu adalah pengecualian dari yang universal? Ataukah ada hal lain yang harus diperhatikan?

Misalnya, terdapat hadis yang menyatakan bahwa orang yang murtad harus dibunuh (من بدل دينه فاقتلوه). Hadis tersebut digunakan oleh sebagian ulama sebagai dasar dalam menetapkan hadd ar-riddah. Jadi, menurut mereka, berdasarkan hadis tersebut dan hadis-hadis lain yang senada, orang yang pindah dari agama Islam ke agama lain harus dibunuh!

Tidak heran, sekian banyak kitab fikih klasik, semisal Fathul Muin menarasikan orang yang sengaja tidak salat karena malas atau bahkan mengingkari kewajibannya boleh dibunuh.

Sementara itu, Islam didaku sebagai agama yang menjunjung tinggi kebebasan beragama. La ikraaha fi ad-din (tidak ada paksaan dalam agama). Menurut Ibn ‘Asyur, ini adalah ungkapan tegas al-Qur’an yang menegasi sekaligus melarang seluruh bentuk paksaan dalam beragama dan dengan begitu Islam meneguhkan prinsip kebebasan beragama. Seseorang tidak bisa dipaksa memeluk agama tertentu. Kebenaran yang dimiliki oleh agama tidak bisa dimengerti jika ia dipaksakan.

Kebebasan beragama adalah ajaran universal yang diusung Islam. Tetapi, di sisi lain terdapat ajaran partikular yang seolah menafikan ajaran universal tersebut, yaitu hukuman bagi orang yang murtad. Hal itu adalah secuil contoh ketegangan antara universalitas dan partikularitas ajaran Islam. Bagaimana mendialogkannya?

Sebagaimana dipaparkan di atas, bahwa ajaran partikular itu cenderung kontekstual. Artinya, ajaran tersebut tidak lepas dari konteks waktu, kondisi dan lokasi di mana ia hadir. Begitu pula, ia tidak bisa dipukul rata ke seluruh situasi dan kondisi. Oleh karena terkait dengan konteks, maka pemahaman atas ajaran parsial tak bisa dilepaskan dari konteksnya.

Terkait hukuman murtad, apakah benar orang murtad dibunuh hanya karena ia berpindah keyakinan? Ataukan terdapat variabel lain yang mengharuskannya dihukum pancung?

Taha Jabir al-Alwani dalam buku Laa Ikraaha fi ad-Diin mencurigai infiltrasi ajaran politik Yahudi di Hijaz yang menyebut bahwa wajib membunuh orang yang keluar dari Yahudi. Hal yang bersifat politis kemudian merasuk ke dalam Islam sebagai ajaran agama dan terkanonisasi dalam hadis.

Mengenai hadis tersebut, al-Alwani menilai mayoritas riwayat yang menjadi landasan hukum pancung bagi murtad adalah hadis ahad. Aneh kiranya jika sebuah perkara serius dan melibatkan banyak orang diriwayatkan oleh satu atau dua orang saja. Rasanya ada kejanggalan dari riwayat ahad yang menceritakan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Talib membunuh orang-orang murtad dan membuang mayat mereka ke dalam api.

Selain itu, hadis-hadis yang menjadi landasan hadd ar-riddah ini banyak menimbulkan keraguan dari sisi tranmisi riwayatnya (sanad), matan (konten hadis), makna dan maksudnya. Kalaupun hadis itu diterima, harus disadari bahwa redaksinya beragam. Dalam kitab Shahih Muslim disebutkan seperti berikut:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ الثَّيِّبُ الزَّانِ وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ

“Rasulullah bersabda: Tak halal menumpahkan darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah kecuali sebab salah satu di antara mereka yang tiga: Orang yang sudah berpasangan tapi berzina, membunuh, dan meningglakan agamanya lagi memporak-porandakan jamaah (komunitas).”

Dalam hadis di atas disebut at-tarik li dinihi al-mufariq li al-jamaah. Di sini jelas bahwa keluar dari Islam bukan faktor utama untuk mengeksekusi pelaku murtad. Hukum tersebut bukan karena konversi agama melainkan desersi (pembangkangan) terhadap kuasa politik yang sah. Begitu pula, apa yang dilakukan Khalifah Abu Bakar dalam memerangi orang yang enggan membayar zakat -meskipun ini juga diperselisihkan oleh sahabat yang lain- juga harus dibaca dalam konteks ini.

Fakta sejarah pun membuktikan, ternyata Nabi Muhammad sendiri tidak pernah membunuh seorang murtad pun sepanjang hayatnya. Hal ini dikuatkan oleh Imam Syafii yang mengisahkan bahwa pada masa Rasulullah, ada sebagian orang Islam yang memilih murtad, kemudian masuk Islam kembali. Rasulullah tidak membunuh mereka.

Jadi, tidak sah kalau beberapa buah hadis yang ahad dan diperselisihkan sanad, matan, makna dan maksudnya, digunakan melampaui ayat-ayat al-Qur’an yang jelas dan hampir mencapai jumlah dua ratus ayat yang mendukung prinsip kebebasan berkeyakinan. Sesuatu yang diyakini tentu tidak dapat dikalahkan oleh sesuatu yang masih diragukan.

Dari pembahasan di atas, hal penting yang dapat dipelajari adalah, kita harus bisa mengidentifikasi mana ajaran Islam yang bersifat universal (kulliyyah) dan mana yang bersifat partikular (juz’iyyah). Jika ada ajaran yang partikular yang nampak kontraproduktif dengan ajaran universal, maka ia harus “dicurigai” terlebih dahulu sehingga jelas konteksnya.

Kalaupun antara yang universal dan partikular ini tidak bisa disatukan, maka dalam konteks ini ajaran yang bersifat universal harus lebih diutamakan dibanding yang partikular. Terakhir, ditutup dengan statemen as-Syatibi dalam al-Muwafaqat:

والقاعدة المقررة فى موضعها أنه إذا تعارض أمر كلي وأمر جزئي فالكلي مقدم لأن الجزئي يقتضي مصلحة جزئية والكلي يقتضي مصلحة كلية ولا ينخرم نظام فى العالم بانخرام المصلحة الجزئية بخلاف ما إذا قدم اعتبار المصلحة الجزئية فإن المصلحة الكلية ينخرم نظام كليتها

“Menurut kaidah yang telah ditetapkan, bahwa apabila terjadi kontradiksi antara perkara yang bersifat universal dan urusan yang bersifat partikular, maka yang didahulukan adalah yang universal. Sebab, perkara yang bersifat partikular menghendaki kemaslahatan yang khusus partikular, sedangkan perihal yang bersifat universal menghendaki kemaslahatan umum. Keteraturan alam tidak akan rusak sebab tidak terwujudnya kemaslahatan khusus. Berbeda halnya jika yang diutamakan adalah kemaslahatan yang khusus, maka keteraturan maslahat universal akan rusak.” [Aham]

Tulisan ini disarikan dari buku “Ushul Fikih Milenial” karya M. Riskil Azizi, M.H.I.

Add a Comment

Your email address will not be published.

Pin It on Pinterest